Kamis, 05 September 2013

Caleg Karbitan, Kemunduran Demokrasi

Caleg Karbitan, Kemunduran Demokrasi
Muhammad Najib ;  Aktivis Gepak (Gerakan Anti Korupsi), Peraih Beasiswa Unggulan di Monash Institute untuk IAIN Walisongo Semarang
SUARA KARYA, 04 September 2013


Waktu semakin dekat bagi pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2014, di mana segenap bangsa Indonesia akan menentukan nasib bangsa setidaknya untuk masa lima tahun berikutnya. Momen penting ini merupakan pertaruhan bagi masa depan bangsa Indonesia, apakah nantinya semakin membaik atau justru malah sebaliknya. Jangan sampai momen ini melahirkan pemimpin secara demokratis tetapi tanpa dilengkapi integritas, dan kapasitas tinggi.

Bukan hal asing menjelang perhelatan itu banyak kepentingan bermunculan. Gejolak politik pun lahir menghiasi dinamika perpolitikan dalam negeri. Hampir semua aspek kegiatan itu tak luput dari politik. Sehingga yang buruk sekalipun disulap menjadi baik, pencitraan, blusukan, mengulas figur idaman dan menyeru kebaikan adalah hal yang acapkali dilakukan terlebih bagi seseorang yang akan maju menjadi pemimpin di negeri ini.

Parpol yang notabenenya adalah sebagai mediator antara suara rakyat dengan pemerintahan, sudah barang tentu secara otomatis berusaha keras menyusun strategi untuk meraih suara sebanyak-banyaknya demi memenangkan pemilu. Cara instan merupakan suatu yang lazim terjadi, dan parpol abai dengan fungsinya untuk pendidikan politik, rekrutmen politik, penyelesaian konflik, komunikasi politik dan kaderisasi.

Tak heran jika berbagai jurus atau strategi pun dilakukan oleh berbagai parpol guna mendulang simpati rakyat, merekrut para artis dianggap paling "ampuh" untuk mendulang suara. Pasalnya, ketenaran sebagai publik figur seperti itu dianggap akan meningkatkan popularitas dan elektabilitas partai yang mengusungnya.

Memang dalam dunia perpolitikan taktik seperti ini sah-sah saja. Namun, berangkat dari fenomena itu tentunya akan melahirkan sebuah pertanyaan yang mendasar. Bagaimana tidak. Toh para artis sejatinya pekerjaannya memainkan sebuah film atau akting didepan layar kaca. Lantas, apakah mereka mampu memimpin dan menjadi wakil rakyat yang baik jika yang diandalkan hanyalah popularitas belaka? Ini bukan panggung akting seperti yang mereka geluti. Politik adalah dunia nyata dimana persoalan begitu kompleks sehingga memerlukan penanganan yang serius dan fokus.

Bercermin dari pada kinerja DPR 2009-20011 sudah memiliki potret buruk. Jangan sampai diperiode 2014-2019 dimana geliat artis nyaleg semakin tinggi sehingga akan memenuhi jabatan di parlemen, menjadikan kinerja DPR semakin buruk. Menjadi seorang pemimpin juga butuh ilmu dan pengalaman. Jadi, kalau artis menjadi politisi ibarat hewan hidup di darat masuk dan ikut hewan hidup dilautan. Dengan kata lain, mereka sudah keluar dari habitat aslinya.

Memang berdasarkan pengalaman pemilu 2009 dimana dalam pemilu itu fenomena artis sudah muncul. Itu memperlihatkan tidak semua legislator artis ini bisa bekerja dan berkinerja secara optimal yang notabenenya sebagai wakil rakyat yang memperoleh mandat dari pemilu. Hal ini bukan tidak mungkin disebabkan oleh minimmya basic ilmu politik dan kesibukan mereka di dunia akting. Jejak mereka tenggelam ditengah hiruk-pikuk politik demokrasi kita.

Hanya beberapa saja diantaranya yang sampai saat ini masih eksis. Sekadar contoh, sebut saja Rieke Diah Pitaloka (PDI-P) dan Nurul Arifin (Golkar). Harus diakui kinerja meraka baik selama mengemban tugas dari negara untuk rakyat. Meski demikian, semua itu tidak bisa dijadikan patokan mengingat mereka hanya minoritas saja.

Memang harus diakui, ada beberapa artis yang menonjol kinerjanya. Hal ini kerena sebelumnya mereka memang sudah terlihat fokus pada pengabdian kepada rakyat. Ghirah mereka berpolitik sudah muncul disanubari bukan mengincar posisi tertinggi sehingga dengan mudahnya melakukan tindak korupsi.

Kemrosotan Demokrasi

Fenomena caleg artis pada dasarnya memunculkan beberapa spekulasi atau stigma negatif dari masyarakat. Pertama, mereka "gagal" dalam kaderisasi. Parpol yang demikian itu sesungguhnya telah melupakan fungsinya. Rekutmen artis mencerminkan kegagalan parpol dalam kaderisasi internal.
Diakui atau tidak kehadiran para artis ini mencerminkan bahwa parpol "gagal" dalam proses kaderisasi internal. Mereka justru lebih memilih cara instan dibandingkan dengan menciptakan kader berkualitas melalui proses kaderisasi sejak dini.

Kedua, membonceng nama artis memunculkan sikap parpol yang lebih mementingkan kursi dari pada mengusung figur politik jujur dan amanah dan bertanggungjawab. Hal ini disebabkan oleh misi jangka pendek mereka yakni untuk memenangkan pemilu nanti. Hal ini tentunya ada indikasi disorientasi hakikat politik. Pada dasarnya politik itu untuk memperbaiki tatanan negara, namun saat ini hakikat politik sudah bergeser. Politik hanya dijadikan lahan empuk untuk mengais dan merampas hak rakyat. Bahkan yang terlihat dewasa ini, kebanyakan dari para politisi kita membangun intregitas lewat setelan jas, dasi dan sepatu serta pencitraan melalui media atau kampanye. Seharusnya, integritas itu lahir dari keluhuran budi dan kemuliaan akhlak.

Ketiga, parpol tidak bisa membedakan antara "panggung sandiwara" dimana para artis itu akting untuk menghibur penonton dengan panggung politik dimana jika seorang berada disini maka tuntutannya bukanlah akting, akan tetapi kerja setulus hati, menjadi pelayan rakyat dan menjunjung tinggi kesejahteraan rakyat.


Inilah konstalasi perpolitikan nasional, sekaligus merupakan indikator kemrosotan demokrasi kita. Mungkin benar bahwa praktik demokrasi yang kita kembangkan saat ini masih sebatas euforia. Wacana demokrasi baru menyentuh persoalan prosedural atau lebih rendah dari itu, tawar menawar dan berebut kekuasaan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar