Kamis, 05 September 2013

Babak Baru Krisis Suriah

Babak Baru Krisis Suriah
Faisal Ismail  ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
KORAN SINDO, 05 September 2013


Musim Semi Arab, yang melanda negara Arab sejak Maret 2011, telah mencetuskan gerakan masif prodemokrasi. Gerakan prodemokrasi terjadi di Bahrain, Kuwait, dan Yaman yang menginginkan perubahan tatanan politik dan pemerintahan yang adil dan demokratis. 

Satu persatu rezim Arab yang otoriter tumbang. Rezim represif Zainal Abidin Ben Ali di Tunisia (berkuasa selama 23 tahun) runtuh pada 14 Januari 2011. Rezim otoriter Hosni Mubarak (bertahta di kursi kepresidenan selama 30 tahun) terjungkal pada 11 Februari 2011. Rezim diktator Khadafi di Libya (bercokol di tampuk kekuasaan selama 42 tahun) tergusurpada 21Agustus 2011. Rezim represif Bashar al- Assad di Suriah sementara ini masih bertahan di tengah gempuran sengit pasukan oposisi di berbagai front pertempuran. Akankah Assad tumbang secara mengenaskan seperti rezim Ben Ali, Mubarak, dan Khadafi? 

Rezim Represif dan Otoriter 

Saat akan diangkat sebagai presiden, Bashar al-Assad baru berumur 34 tahun. Menurut konstitusi, capres harus berumur 40 tahun. Parlemen lalu merevisi konstitusi untuk menyesuaikannya dengan usia Assad. Pada 17 Juli 2000 ia dilantik sebagai presiden menggantikan ayahnya (Hafez Assad) yang telah berkuasa selama 29 tahun. Sebenarnya Hafez Assad telah mempersiapkan penggantinya, Basil Assad (kakak Bashar Assad), tapi ia meninggal dunia karena kecelakaan mobil. 

Bashar Assad (yang sedang belajar di Fakultas Kedokteran di London) dipanggil pulang ke Damaskus, diangkat sebagai petinggi Partai Baath dan pimpinan militer Suriah. Dikenal sebagai penganut Syiah Alawiyin, Assad lahir di Damaskus pada 11 September 1965 dan menikahi Asma’ al-Akhras (muslimah Sunni) yang lahir dan besar di Inggris. Kukuh berkuasa selama 13 tahun, Assad menjadi penguasa tunggal tanpa tandingan. 

Secara paham keagamaan dan politik, Bashar sangat dekat dengan rezim Teheran. Lingkaran kekuasaan Assad terdiri atas elite penguasa, tentara, polisi, kerabat, suku, dan polisi rahasia yang mematamatai kelompok oposisi. Sudah 50 tahun Partai Baath (di bawah kendali Assad) mantap berkuasa di Suriah. Agar tidak direcoki kaum oposisi, selama 50 tahun itu diterapkanlah undang-undang keadaan darurat. Kaum oposan ditangkap, dijebloskan ke dalam penjara, dan diadili oleh Pengadilan Keamanan yang sengaja dibentuk oleh rezim. Tak ada kebebasan, semua dikontrol ketat oleh sang rezim. 

Perang Saudara 

Konflik Assad (Syiah) versus oposisi (Sunni) dibumbui perseteruan sektarian. Tujuan utama perlawanan oposisi adalah menggulingkan Assad dari kursi kepresidenan. Untuk mengefektifkan gerakan perlawanan, kubu oposisi membentuk Koalisi Nasional (diketuai oleh Muaz al-Khatib). Perang saudara yang sudah berkecamuk selama lebih dari dua tahun ini menggunakan senjata berat sehingga mengakibatkan banyak korban. Diperkirakan sudah 110.000 orang, termasuk anak-anak, tewas dalam perang berkuah darah ini. 

Dua juta warga Suriah mengungsi ke Lebanon dan Yordania. Di tengah letupan perang saudara, beberapa petinggi militer dan polisi (Letjen Abdul Aziz al-Shalal) serta 2000 tentara Suriah membelot ke Yordania. Assad mengklaim, konflik yang terjadi di negaranya karena ulah konspirasi AS dan kaum Zionis internasional, bukan perang antara tentara pemerintah dan kelompok salafi. 

Assad bersumpah tidak akan meninggalkan negaranya. Hidup atau mati, ia akan tetap bertahan di Suriah. AS dan Uni Eropa menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap rezim Damaskus karena dinilai telah melakukan “pembunuhan” terhadap rakyat sipil dalam jumlah yang besar. Akibat embargo ini, Suriah tidak dapat memasarkan minyaknya ke Uni Eropa sehingga kehilangan pendapatan negara sebesar dua miliar dolar AS. Prancis mengusulkan agar Barat melakukan intervensi militer ke Suriah, tapi AS tidak menyetujui. Rusia dan China menolak intervensi militer Barat ke Suriah. Liga Arab mendepak Suriah dari keanggotaannya sehingga Assad semakin terkucil. 

Krisis dan Ketegangan Baru 

Krisis Suriah memasuki babak baru yang kian memanas, menegangkan, dan mengkhawatirkan. Rezim Assad dituduh menggunakan senjata kimia dalam memadamkan perlawanan kelompok oposisi. Akibat penggunaan senjata kimia yang dituduhkan ini, sejumlah kaum oposisi dilaporkan tewas dengan kulit melepuh. Tuduhan terutama datang dari AS dan negara Uni Eropa. Menlu AS John Kerry mengklaim ada bukti bahwa rezim Assad menggunakan senjata kimia dalam menumpas perlawanan kaum oposisi. 

Walaupun Assad membantah tudingan ini, Presiden AS Barrack Obama bersikeras akan menyerang Suriah kendatipun tanpa persetujuan Senat AS. Serangan itu akan bersifat terbatas dan proporsional. Serangan AS seharusnya mendapat persetujuan DK PBB agar aksi militernya legitimate dilihat dari perspektif hukum internasional. Jika tidak, serangan AS illegitimate. Kapal induk AS sudah memasuki perairan yang tidak jauh dari Suriah. Sementara Turki mengizinkan pangkalan militernya digunakan AS untuk menyerang Suriah. 

Para pendemo di Inggris berseru: “Don’t Attack Suriah!” Para warga Suriah sendiri, termasuk kaum perempuan, membentuk pagar hidup untuk melindungi sang rezim dan negaranya dari serangan militer AS. Assad memperingatkan, serangan AS akan mengakibatkan pecahnya perang regional di kawasan itu yang bisa jadi melibatkan Iran dan Israel. Petinggi militer Iran juga menyatakan, Suriah tidak sendirian dalam menghadapi serangan militer AS. 

Sementara Rusia mengatakan, penggunaan senjata kimia oleh Suriah sebagai tuduhan yang tidak masuk akal dan Rusia akan memveto setiap resolusi di DK PBB yang hendak menyerang Suriah. Sebagai pendukung dan sahabat dekat Suriah, Rusia pun bereaksi mengerahkan kapal induknya ke perairan dekat Suriah. Jika tidak dapat menahan diri, AS dan Rusia akan terseret dalam konflik Suriah. Akankah pecah Perang Dunia III? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar