Senin, 02 September 2013

Kiblat Salat dan Kiblat Kerakyatan

Kiblat Salat dan Kiblat Kerakyatan
Mohamad Sobary ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 02 September 2013


Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Din Syamsuddin mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk berhalalbihalal di kantornya,dua minggu yang lalu. Beberapa tokoh dipilih untuk menyampaikan pemikiran masing-masing secara bebas. 

Tiap tokoh bebas berbicara mengenai apa saja, yang dianggap relevan dengan pemikiran dan gerakan Muhammadiyah. Dan kita tahu, kecuali memiliki sikap politik yang memihak posisi umat, dan kepentingan rakyat secara luas, sejak dulu, para pimpinan dan golongan “kiai” di Muhammadiyah, selalu menjaga sikap mandiri, otonom, dan bebas dari politik pemerintahan. Mungkin mereka memiliki ciri-ciri sikap para intelektual yang disebut “berumah di atas angin” itu. 

Setidaknya mereka memiliki gambaran perilaku politik yang lebih jelas, yang menunjukkan bahwa mereka bukan apa yang disebut golongan “kiai istana”, yang setiap saat munduk-munduk datang kepada penguasa bukan lagi sebagai “penguasa” rohani, melainkan sebagai “broker” yang siap menukarkan apa yang “rohani” dengan apa yang duniawi. 

Dengan posisinya yang mewah ini, mereka juga bisa memanjakan diri dengan kehidupan mewah, ditandai mobil-mobil mewah, rumah mewah, dan bisa berlomba-lomba dengan sesamanya di dalam kesibukan menghimpun kemewahan dunia yang serba fana ini. Rumi mengejek tingkah laku moral politik macam ini dengan gambaran sebagai seburuk-buruknya intelektual, yang disebut gemar mengetuk “pintu pangeran”. 

Gambaran sebaliknya, menurut Rumi, sebaik-baik pangeran ialah dia yang selalu mengetuk pintu kaum intelektual. Tak ada penjelasan lebih lanjut dari Rumi, tapi sindiran itu sudah sangat jelas: golongan intelektual, atau “kiai” istana selalu memiliki waktu untuk mengetuk pintu “pangeran”. Dalam dunia politik modern, hal itu tak selalu bersifat harfiah, bahwa sang kiai menghadap ke istana pangeran. 

Bertemu di hotel, berjanji mengadakan pertemuan di tempat lain, sudah termasuk kategori mengetuk pintu “pangeran” selama dalam pertemuan itu yang dibicarakan ialah kolusi, nepotisme, sekongkol buruk, agar sang pangeran dibantu, tindakannya dibenarkan secara moral, dan sang kiyai menerima imbalan gemerlapnya dunia ini. “Rakyat tidak dirugikan oleh transaksi dua pribadi ini?”
Tunggu dulu. Mereka bukan dua pribadi sebagaimana tampaknya. Keduanya mewakili kepentingan publik yang sangat besar. Sang pangeran mewakili rakyat yang banyak jumlahnya. Sang kiai mewakili umat yang juga besar jumlahnya. Kedua tokoh ini tidak bisa bertindak atas nama pribadi. Dan sepribadi apapun, sikapnya, tindakannya, dan segenap akibat yang ditimbulkannya, semua selalu berhubungan dengan publik. Menyimpang dari garis moral dan etika publik, menodai etika dan moral. 

Dan jika dukungan politik dan gemerlapan dunia yang mereka pertukarkan, tidak diragukan lagi publik yang dirugikan. Tapi malam itu, acara halalbihalal yang diselenggarakan Prof Dr Din Syamsuddin— lebih enak Mas Din— - keliahatan jelas sekali, tak ada tukar guling antara apa yang “rohani” dan apa yang kelihatan gemerlap serba “duniawi”. Malam itu keadaan sangat sebaliknya. Semua pembicara terlepas dari gejala terjerat kepentingan politik. Juga politik istana. 

Mas Din bahkan mengingatkan pada kita sikap teguh dan istikamah Kiai Haji Amad Dahlan, yang pertama-tama melakukan perubahan mendasar: kiblat di Masjid Agung Keraton Yogya, yang semula lurus ke arah Barat, dibikin sedikit serong ke utara. Kiblat salat jadinya ke Barat, agak ke Utara. Perubahan ini mengguncangkan kaum mapan. Dan Kiai Dahlan diserang. Semua jenis “serong” pasti buruk. 

Tak mengherankan bila orang belum tahu bahwa ada jenis “serong” yang baik: serong ke utara tadi. Itu kiblat salat yang tepat, sesudah diubah pertama kali dan untuk yang terakhir, karena yang sudah tepat, tak perlu diubah lagi. Tapi serong ke istana, yaitu serong secara moral dan politik, kalau bisa harus diubah secara radikal. Dan yang bisa mengubah secara mendasar hanya satu pihak: para kiai istana itu sendiri. 

Malam itu, dalam pidato pembukaannya, yang santai, Mas Din menegaskan perlunya memperteguh kiblat Muhammadiyah. “Kiblat yang mana lagi? Yang serong ke utara?” “Bukan. Kiblat politik kerakyatan Muhammadiyah.” Pemihakan Muhammadiyah terhadap rakyat tak diragukan. Organisasi dakwah islamiah ini juga menampilkan diri sebagai organisasi amal. Semua jenis amal usaha Muhammadiyah ditujukan bagi kemaslahatan umat, atau rakyat Indonesia. 

Tapi masih banyak yang belum disentuh. Belakangan ini Muhammadiyah gigih membela apa yang disebut “kedaulatan bangsa”. UU Minyak dan Gas Bumi, yang sangat merugikan kepentingan rakyat, harus ditinjau kembali. Selain merugikan hak-hak rakyat Indonesia, UU itu juga merongrong kedaulatan bangsa. Ketika gugatan Muhammadiyah maju ke Mahkamah Konstitusi, orang-orang yang ada di dalam naungan UU itu sinis dan melecehkan Muhammadiyah. Ketika gugatan Muhammadiyah menang, orang kaget. 

Tetapi langkah culas di bidang politik dibuat segera. Dan Presiden yang lebih suka dipuji orang asing—-daripada pujian bangsanya sendiri—-segera menempuh langkah politik hukum yang baru: dia membuat keppres untuk menghidupkan BP Migas. Orang yang memimpinnya kemudian korup, dan diketahui publik secara luas. Orang kemudian tahu, bahwa sikapnya dulu itu memang tak lepas dari hasrat membela jabatannya. 

Dia ketahuan korup, sekedar untuk membuat publik tahu, keserakahan apa yang ada di dalam dirinya. Presiden itu gemar memilih tokoh-tokoh seperti ini. Banyak yang necusnya belum jelas, sikap sewrongnya sudah nyata dan merajalela di mana-mana. Dan kita tidak tahu, atau belum pernah tahu, adakah presiden menyesalinya, atau malah bangga. Perkara ruwet macam ini tak lepas dari perhatian kita semua. Tidak juga dari perhatian Muhammadiyah. 

Maka ketika Mas Din berkata, hendak meneguhkan kiblat politik kerakyatannya yang baru, kita tahu, Muhammadiyah hendak terus melangkah dan mengambil kebijakan untuk melaksanakan perjuangan yang disebut “nahi munkar, ” mencegah kejahatan demi kejahatan, sikap serong demi sikap serong, yang terbuka, meluas, dan tak malumalu memenuhi aroma kehidupan kita dengan segenap yang batil. 

Kiblat politik kerakyatan itu menjadi pedoman moral, sekaligus politik dan hukum, untuk melindungi rakyat dari kezaliman yang penuh angkara murka. Rakyat berhak hidup nyaman. Rakyat menanti datangnya keadilan. Para penguasa di bidang rohani tak boleh serong ke istana. Mereka itu pelindung rakyat. Semua kiainya rakyat. Jadi tidak boleh ada yang berpretensi menjadi kiai istana. Muhammadiyah, sebagai organisasi dakwah dan amal, harus mengambil keputusan yang tegas. 

Mengenai kiblat salatnya sudah jelas, dan tak ada lagi yang perlu dirisaukan. Adapun mengenai kiblat politik kerakyatannya, kali ini menjadi perhatian besar, dan utama Muhammadiyah. Ketua Pimpinan Pusatnya sudah menemukan, tanpa keraguan lagi, kiblat politik kerakyatan yang harus diperjuangkan.

Sebagai orang merdeka, yang tak menjadi pegawai negeri, tak menjabat suatu jabatan di pemerintahan, di legislatif maupun di yudikatif, dan tidak memimpin suatu partai, Mas Din memiliki kemewahan politik, kemewahan moral dan etis untuk melakukan tindakan yang menguntungkan umat, baik Islam maupun non- Islam. Muhammadiyah didirikan memang untuk kepentingan itu. Dia menghidup-hidup Muhammadiyah, untuk mengabadikannya bagi kepentingan politik kerakyatan, yang lama dibikin merana. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar