Rabu, 18 September 2013

Cara Pandang Snouck Hurgronye dan Clifford Geertz Dalam Melihat Islam Indonesia

Cara Pandang Snouck Hurgronye dan Clifford Geertz Dalam Melihat Islam Indonesia
Harry Bawono ;  Peminat Religious Archives Studies
di Pusat Kajian & Pengembangan Sistem Kearsipan (Pusjibang Siskar)
DETIKNEWS, 17 September 2013


Edward Said, seorang yang digadang-gadang sebagai founding father kajian postcolonial, melalui bukunya "Orientalism: Western Conception of The Orient" menggambarkan secara tajam relasi power yang terdapat dalam cara pandang Barat baik melalui kajian-kajian "ilmiah" dan apapun itu mengenai dunia Timur.

Said melihat orientalisme adalah mekanisme Barat dalam mengidentifikasikan dirinya dengan memperlawankan segala hal yang bukan Barat, dan akhirnya dapat dikatakan bahwa ide mengenai identitas Barat yang superior dan melihat pihak non-Barat dengan segala manifestasinya merupakan bentuk dekaden (Edward Said, 1997:8).

Orientalisme merupakan cara berpikir yang didasarkan pada kerangka perbedaan ontologis dan epistemologis yang dibuat antara dunia Barat dan dunia Timur (ibid, hlm:3). Lebih terang lagi, Said mengatakan bahwa orientalisme adalah rasionalisasi dari kolonial dalam mendapatkan justifikasi dibandingkan dengan menoleh pada fakta (ibid, hlm:40).

Salah satu manifestasi Timur adalah Islam. Islam mendapatkan perhatian yang begitu besar dari Barat. Perhatiannya ini dituangkan dari beragam kajian mengenai Islam. Kondisi ini menjadi masuk akal karena Islam dipandang sebagai oposisi dari tradisi Barat yang Yudeo-Kristian itu.

Dalam pandangan Nietzsche, kecurigaan Barat dan upayanya yang begitu gandrung melakukan studi terhadap Islam dan memandang Islam sebagai manifestasi kebiadaban tak lain merupakan bentuk inferioritas dari Barat sendiri akan kemajuan budaya Islam.

Kondisi ini menurut Nietzsche masuk akal karena secara frontal Islam dan Yudeo-Kristian berbeda dalam memandang kehidupan, Islam begitu akomodatif terhadap kehidupan sehingga membuat Islam begitu bergairah namun Yudeo-Kristian mengingkari kehidupan (Ian Almond, 2007:7).

Dalam menguraikan mengenai kajian Barat terhadap Islam, Said jernih membedakan antara pihak mana yang secara muatan ideologi orientalisme dan pihak mana yang tidak ada pretensi ideologi orientalisme.

Said, mengambil contoh salah satunya Snouck Hurgronje, ilmuwan kenamaan pemerintah kolonial Belanda yang sempet menjabat sebagai penasihat khusus Islam di Hindia Belanda, sebagai ilmuwan orientalis. Sementara, Clifford Geertz dipuji sebagai sebagai ilmuwan tanpa pretensi orientalisme.

Bagi Said, cara pandang Snouck Hurgronje yang melakukan kajian terhadap Islam dan menilai bahwa mistisisme islam merupakan jantung dari Islam telah menggiringnya pada kesimpulan yang ‘judgmental' padahal penuh keterbatasan dan kelemahan (Edward Said, 1997:210).

Sementara, Clifford Geertz disebut merupakan contoh yang sempurna terkait kajian mengenai islam, dengan mengambil fokus pada konteks masyarakat dan masalah yang spesifik tanpa dibayangi oleh tindakan, prakonsepsi dan doktrin- doktrin orientalisme (ibid, hlm: 327).

Dari penyajian contoh mengenai ilmuwan dan kajiannya yang bermuatan logika orientalisme dan tidak. Menurut pembacaan saya, Said menggunakan benang merah pada dua hal, muatan ide dalam kajian dan implikasi dari kajian itu sendiri.

Muatan ide kajian merujuk pada sejauh mana kajian itu berperspektif menjadikan pihak yang dikaji sebagai obyek semata dan secara serampangan membangun kesimpulan "judgmental".

Sedangkan, implikasi dari kajian adalah sejauhmana kajian tersebut dijadikan sebagai modal bagi terbentuknya kebijakan politis yang melanggengkan kekuasaan penguasa dalam mengendalikan obyek yang dikaji.

Snouck Hurgronje: Bagaimana Menaklukan Islam di Aceh?

Snouck sendiri jelas, menegaskan bahwa tujuan pokok Snouck di Aceh adalah memperoleh gambaran yang tepat dan lengkap mengenai kehidupan Mohammadan (Muslim) di Aceh serta pengaruhnya terhadap hubungan-hubungan politik dan kemasyarakatan di daerah itu (E. Gobee & C. Adriaanse, 1990:54).

Lebih lanjut, Snouck mengatakan, kesimpulan atas penelitiannya hendaknya dijadikan pedoman dalam bertindak bagi Pemerintahan di Aceh agar tercapai tujuan yang diinginkan (ibid, hlm:55).

Rekomendasi konkrit yang diberikan oleh Snouck demi kesinambungan kegiatan pemerintahan kolonial dan menyelamatkan pemerintah dari kesesatan tindakan yang selama ini dinilainya membuang-buang energi diantaranya (ibid, hlm:107):


  • Perlu didirikan biro informasi atau staf sipil yang pegawai-pegawainya bertugas mengumpulkan informasi dan mengelola informasi mengenai Aceh yang selengkap-lengkapnya dan seluas-luasnya;
  • Perlu lebih teliti dalam memilih pegawai pribumi dan mengawasi tindak tanduk mereka dalam berperilaku baik sebagai pegawai maupun diluar kepegawaian mereka. Selain itu, pemerintah perlu mengadakan intervensi dengan mendidik orang muda Aceh yang terkemuka dan dapat dipengaruhi melalui pembimbingan;

Asumsi kajian-kajian Snouck menurut Benda, adanya suatu kewajiban moral dari pihak Belanda untuk mengajar bangsawan Indonesia dan menjadikan mereka rekan Belanda dalam kehidupan sosial dan kebudayaan sehingga dengan demikian akan menutup jurang di antara yang menguasai dan yang dikuasai (Hanneman Samuel, 2010:25).

Maka jelas keberpihakan Snouck dalam melanggengkan kekuasaan kolonial melalui kajian-kajian yang kental muatan ideologis orientalismenya. Melalui kajian-kajian itu Snouck menjadi alat bagi kolonial untuk memahami kaum yang dikuasainya dan mendapatkan resep jitu untuk mengendalikannya.

Clifford Geertz: Membedah Keragaman Islam

Dalam membahas Islam di Indonesia, terdapat 2 buku utama Geertz, "The Religion of Java" dan "Islam Observerd: Religious Development in Moroco and Indonesia".

Dalam The Religion of Java, Geertz menjelaskan perihal hubungan antara struktur sosial kaitanya dengan susunan simbolik dan juga bagaimana masyarakat mewujudkan suatu intergrasi dan disintegrasi melalui perantara simbol-simbol itu. Dalam kajian ini, Geertz menemukan struktur sosial masyarakat Jawa dalam rupa santri, abangan dan priyayi.

Santri memiliki pusat kehidupan di pasar dan merupakan manifestasi dari kebiasaan keagamaan yang dinilainya sesuai dengan kaidah-kaidah Islam tekstual. Abagan berpusat pada agraria/sawah, petani dan merupakan manifestasi dari aspek-aspek relijiusitas eklektik animistik.

Sedangkan, priyayi pusat kehidupannya berada di pemerintahan dan merupakan manifestasi dari relijiusitas yang eklektik dengan hindu. Dari kajian ini Geertz melihat bahwa agama memainkan peran dalam integrasi tapi sekaligus juga dalam disintegrasi (Parsudi Suparlan, Kata Pengandar dalam Clifford Geertz, 1981:viii).

Dalam buku Islam Observed yang merupakan kumpulan tulisan Geertz, diuraikan mengenai variasi Islam di Maroko dan Indonesia. Geertz menemukan evolusi yang berlaku dalam ekspresi keagamaan yang dihasilkan dari proses sejarah yang unik dimasing-masing negara.

Sejauh temuan Geertz, Maroko merangkum kehidupan keagamaannya dalam rupa aktivisme, moralisme dan individualitas. Sementara Indonesia, dalam temuan Geertz ekspresi keagamaannya mernyeruak dalam rupa estetisisme dan personalitas yang radikal. (Clifford Geertz, 1968:vii)

Said yang menempatkan Geertz sebagai bukan orientalisme tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Memang Geertz tidak secara langsung memberikan pengaruh politis terhadap kebijakan kekuasaan tertentu guna menaklukan atau mengatur masyarakat yang jadi obyek kajian.

Namun, perlu diperhatikan bahwa iklim politik global paska perang dunia II, Barat melalui Amerika Serikat giat melakukan usaha kajian demi memahami gejala global dan salah satunya adalah giat melakukan kajian terhadap Indonesia.


Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menjadi penyalur dana penelitian Geertz tentang The Religion Of Java merupakan satu dari tiga kampus yang menjadi pioner pusat studi Indonesia di Amerika Serikat (Hanneman Samuel, 2010:81).

Pusat studi ini merupakan transformasi dari tradisi keilmuwan era klasik yang bertumpu pada kajian oriental(isme) kini menjadi kajian wilayah (Ibid, hlm:90). Muatan ideologi dibaliknya, yang pada kajian orientalisme adalah upaya memperkokoh Barat dan menelanj angi Timur demi pemuasaan kekuasaan Barat dalam mengendalikan dunia Timur yang dianggap perlu diperadabkan.

Kini pada kajian wilayah dilakukan guna menularkan ideologi modernisasi yang digadang-gadang Barat melalui Amerika Serikat.

Perbedaan Snouck dan Geertz

Dengan memperhatikan uraian diatas, lalu apa bedanya antara kajian Snouck dan Geertz dalam melihat Islam Indonesia? Menurut saya, perbedaannya terletak pada kevulgaran dalam menopang kekuasaan politik. Snouck jelas dan tegas tujuan kajiannya dilakukan demi melanggengkan praktek kekuasaan kolonial di Hindia Belanda.

Sementara, Geertz tidak secara langsung memihak kekuasaan Barat, namun proyek kajiannya tidak bisa dilepaskan dari upaya Barat melalui ideologi modernismenya memahami Timur guna dapat melakukan intervensi yang lebih. Dalam bahasa sederhana, Snouck menjadi peneliti sekaligus kaki tangan struktur politik.

Sementara, Geertz hanya sebagai peneliti yang secara tidak langsung produk penelitian menjadi sumber inspirasi bagi kebijakan yang berideologikan modernisme bisa masuk ke jantung Indonesia.

Tapi setidaknya bagi penulis, Geertz memiliki cara pandang yang lebih egaliter dibanding Snouck dalam melihat Islam di Indonesia karena Geertz mendasarkan diri pada simbol-simbol yang muncul dari ruang empirik, dan melakukan interpretasi yang dia insyafi harus berorientasi pada aktor (emik) bukan prasangka buta dan "jugmental" sekaligus tidak melakukan generalisasi berlebihan (Clifford Geertz, 1973:14).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar