Selasa, 17 September 2013

Tunjuk Gubernur, Audit Pilkada

Tunjuk Gubernur, Audit Pilkada
Wawan Sobari ; Peneliti JPIP,
Kandidat doktor Ilmu Politik Flinders University, Australia
KORAN TEMPO, 17 September 2013


PIMPINAN daerah hasil pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) kembali jadi sorotan. Koran ini (15/9) memuat rilis Kemendagri tentang 304 pimpinan daerah yang terjerat masalah hukum hingga medio September 2013. Data tersebut tentu menjadi kampanye negatif bagi pilkada. Dalam draf RUU Pilkada, pemerintah usul agar pilkada langsung hanya untuk memilih gubernur.

Usul penghapusan pilkada kabupaten/kota juga disebabkan besarnya belanja pilkada. Belum lagi besarnya ongkos yang dikeluarkan pasangan calon dan potensi sandera "sponsor" terhadap calon terpilih. Kemudian, Kemendagri beralasan bahwa rendahnya pendapatan masyarakat bisa memunculkan potensi transaksi suara. Terakhir, maraknya konflik pascapilkada menjadi alasan mengembalikan pilkada kabupaten/kota oleh DPRD. 

Meski tampak meyakinkan, argumen-argumen itu lemah. Kepala daerah yang terbelit masalah hukum, terutama korupsi, merupakan persoalan personal. Meskipun mereka masuk penjara, pemerintahan daerah tetap berjalan karena relatif sudah terlembaga. 

Pun, alasan tingginya biaya pilkada bukanlah argumen paling relevan. Anggaran itu sebenarnya bisa ditekan dengan merekayasa teknis pilkada hingga lebih sederhana. Pemerintah dan pemda bisa menekan belanja operasional, modal, dan terutama biaya pengamanan yang 35-40 persen dari total biaya. 

Sementara besarnya biaya yang dikeluarkan pasangan calon kepala daerah pun tidak selalu berkorelasi dengan kemenangan. Tim pemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI 2012 dan Ganjar-Heru dalam Pilkada Jawa Tengah 2013 mengklaim belanja pilkada yang jauh lebih kecil daripada incumbent yang mereka kalahkan. 

Terkait dengan praktik politik transaksional antara pemilih dan para calon, pemerintah cenderung mengalihkan persoalan kepada masyarakat. Jajak pendapat nasional oleh Lingkaran Survei Indonesia pada 2010 mengungkapkan bahwa konsistensi pilihan dan pemberian uang hanya diamini oleh 37,5 persen responden. Sebagian besar lain justru lebih kritis.

Terakhir, konflik yang berhubungan dengan pelaksanaan pilkada tidaklah dominan. Kemendagri justru merilis bahwa dari 351 peristiwa konflik yang terjadi sepanjang 2010 hingga September 2013, konflik sengketa pertanahan menjadi perhatian paling serius.

Menimpakan kegagalan pilkada semata karena persoalan di daerah bukanlah perilaku bijak. Parpol haruslah yang pertama dipertanyakan terkait dengan integritas para pimpinan daerah. Sebab, parpol paling dominan melakukan rekrutmen politik mereka. 

Sejumlah persoalan akan muncul bila pilkada bupati/wali kota dihapus. Pertama, menurunnya legitimasi prosedural rakyat terhadap kepala daerah karena aliran representasi dan akuntabilitas terputus bila dipilih DPRD. Kedua, penghapusan pilkada langsung tidak serta-merta memutus mata rantai praktik politik transaksional. 

Praktik money politics hanya akan berpindah ke tingkat elite saja atau bergulir di antara parpol dan anggota DPRD. Juga, penghapusan pilkada tidak menjamin hilangnya politisasi birokrasi daerah, aksi saling dukung, meski kepala daerah dipilih DPRD.

Warga pun akan terkena dampak dari pencabutan hak politik dalam pilkada. Bupati/wali kota mesti dipilih oleh DPRD akan kembali mengalami krisis kepercayaan keterwakilan publik. Selain itu, calon perseorangan paling dirugikan karena tidak bisa berkompetisi memperebutkan posisi pimpinan daerah. 

Menetapkan pilkada hanya untuk gubernur dengan alasan persoalan hukum yang melibatkan kepala daerah sebenarnya ironis. Merujuk data Kemendagri, jumlah pimpinan provinsi yang terbelit masalah hukum sebanyak 84,8 persen justru lebih banyak daripada pimpinan daerah sebesar 48,5 persen.

Untuk itu, usul realistis menyesuaikan pertumbuhan demokrasi Indonesia yang masih muda, yakni menetapkan pilkada untuk bupati dan wali kota dan penunjukan gubernur oleh presiden. The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) merilis gagasan ini sejak 2011 (yang disetujui mayoritas kepala daerah di Jatim), salah satunya berpijak demi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan NKRI.

Apabila gubernur ditunjuk presiden, posisinya sangat strategis dalam memangkas hubungan pemerintah dan daerah. Pemda tidak perlu menempuh jalur panjang hingga ke Jakarta guna menyelesaikan atau mengurus kepentingan daerah. Pemda bisa langsung berhubungan dengan gubernur sebagai wakil pemerintah.

Terkait dengan NKRI, gubernur bisa menjadi standar dan acuan dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan garis konstitusi negara kesatuan. Lebih dari itu, sebagai wakil pemerintah, gubernur lebih efektif dalam melakukan pengawasan daerah. 

Masyarakat sebenarnya sadar bahwa hasil pilkada belum memuaskan. Namun, publik mempersepsikan bahwa pilkada langsung sebagai cara terbaik memilih kepala daerah. Karena itu, opsi lain menyiasati kelemahan pilkada berupa penerapan pilkada langsung secara bertahap dan berjenjang (gradual) yang diawali dengan audit kelayakan pilkada. 

Audit akan menghasilkan setidaknya tiga kategori kelayakan pilkada langsung bagi tiap-tiap daerah. Bagi daerah-daerah, terutama daerah hasil pemekaran yang masuk kategori rendah, pilkada langsung tidak boleh dilaksanakan hingga infrastruktur demokrasinya siap. Pada saat yang sama, gubernur bisa menunjuk bupati/wali kota ad interim. 

Terhadap daerah yang sudah masuk kategori layak, pilkada langsung bisa dilaksanakan secara reguler. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar