Senin, 02 September 2013

Mengapa Jokowi Tak Berefek di Jatim?

Mengapa Jokowi Tak Berefek di Jatim?
Firman Noor ;   Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI, 
Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik UI   
KORAN SINDO, 02 September 2013


Sebagai sosok populer tidak salah jika PDIP memanfaatkan Jokowi sebagai kader untuk menularkan kesuksesannya itu di beberapa daerah dalam ajang pemilihan gubernur. 

Kepopuleran Jokowi yang semakin meningkat dari waktu ke waktu terlihat misalnya dari berbagai polling (jajak pendapat) yang dilakukan beberapa lembaga penelitian dan survei diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas kandidat gubernur yang diusung oleh partainya. Asumsi pemanfaatan Jokowi adalah dukungan kepada Jokowi akan pula diarahkan kepada orang yang didukung oleh Jokowi. 

Dengan berbekal asumsi sederhana itu, PDIP memanfaatkan jasa Jokowi sebagai jurkam sekaligus vote getter di beberapa ajang pemilihan gubernur seperti di Jawa Barat, Sumatera Utara, Bali, Jawa Tengah, dan terakhir Jawa Timur. Sebagian pengamat meyakini ada Jokowi effect dalam beberapa ajang pemilihan tersebut. 

Kemenangan Ganjar Pranowo yang mengalahkan petahana di Jawa Tengah atau posisi kedua yang diraih baik oleh Rieke Pitaloka di Jawa Barat ataupun Efendi Simbolon di Sumatera Utara diyakini oleh beberapa kalangan sebagai dampak dari kehadiran sosok populis ini. Kendati demikian, hasil sementara Pilgub Jatim menunjukkan fenomena lain. Kehadiran Jokowi sama sekali tidak berarti banyak. Kandidat Bambang DH meraih suara yang cukup jauh dari harapan. 

Berbagai hasil quick count (penghitungan cepat) tampak seragam dengan mencatatkan hasil suara antara 11-13% saja untuk kandidat yang sebelumnya Wakil Wali Kota Surabaya ini. Situasi ini tampak sesuai prediksi banyak kalangan bahwa pertarungan sesungguhnya adalah antara Sukarwo versus Khofifah. Dengan situasi ini, tidak salah jika dikatakan bahwa Jokowi memang tidak berefek di Jawa Timur. 

Mengapa? 

Persoalan klasik pertama adalah masih cukup kuatnya citra positif pasangan petahana. Masih kuatnya citra itu juga disebabkan oleh kedekatan emosional dan kultural yang cukup mampu menutupi kenyataan masih cukup banyak kelemahan kinerja pasangan ini. Sosok karismatis Sukarwo yang populer dengan istilah “Pakde” dan Gus Ipul tampak masih mampu menarik hati kebanyakan masyarakat, terutama pendukungnya pada Pilkada 2008. 

Secara ideologis keduanya pun merupakan sosok-sosok yang mewakili budaya politik dominan di Jawa Timur yakni nasionalis dan Islam (NU). Cukup baiknya performa petahana dengan tingkat popularitas yang masih cukup solid menyebabkan fenomena runtuhnya kekuasaan petahana di Jakarta dan Jateng tidak terulang di Jatim. Di sisi lain, sosok Bambang belum cukup populer di mata masyarakat Jawa Timur. 

Beberapa hasil positif yang sempat dia torehkan di Surabaya belum cukup mampu menarik perhatian masyarakat Jatim secara keseluruhan. Dalam pilgub kali ini suara Bambang DH di Surabaya pun tidak terlalu kinclong. Sebagian kalangan menafsirkan situasi negatif ini sebagai cerminan kinerja dari seorang Bambang DH. 

Situasi menjadi semakin berat dengan kenyataan bahwa kandidat lain yakni Khofifah adalah figur yang cukup dirindukan dan diharapkan oleh masyarakat sebagai kandidat yang mampu membawa perubahan signifikan bagi Jatim. Identifikasi sosok alternatif ada pada Khofifah dan bukan pada Bambang DH. Singkatnya, hal kedua yang menyebabkan redupnya efek Jokowi adalah bahwa figur yang diusung PDIP kali ini memang kurang menjual.

Hal berikutnya, yang menyebabkan kegagalan Jokowi dalam mendongkrak suara adalah kinerja mesin partai pendukung Bambang yang biasabiasa saja. Ada semacam perasaan kurang percaya diri dalam menjual sosok Bambang yang harus dihadapkan pada figur petahana yang cukup populer. Situasi ini berimbas pada kurang maksimalnya kinerja jaringan dan simpul-simpul partai yang ada di pelosokpelosok masyarakat. 

Di samping itu juga terlihat kurang taktisnya pengelolaan tema-tema kampanye yang seharusnya dapat mencitrakan Bambang sebagai figur alternatif yang menjanjikan. Program dan agenda kerja yang relatif sama dan tidak cukup progresif menyebabkan tim sukses kurang mampu menarik perhatian khalayak. Faktor lain adalah keikutsertaan (kembali) Khofifah dalam kontestasi menuju Jatim satu kali ini. Kehadiran Khofifah tak pelak menyebabkan ajang pilgub ini menjadi seolah “tanding ulang” antara dirinya dan Sukarwo. 

Faktor Khofifah ini telah memberikan imbas negatif bagi Bambang DH karena suara barisan oposisi menjadi terpecah. Sosok karismatis Khofifah yang mendapat dukungan yang cukup meluas dari masyarakat NU, utamanya di wilayah Tapal Kuda sebagai basis suara warga NU, telah menyebabkan suara yang harusnya berpotensi mengalir ke Bambang menjadi deras mengalir ke Khofifah. 

Singkatnya, kehadiran Khofifah telah menyebabkan suara untuk Bambang DH di basis NU atau wilayah-wilayah “antipetahana” demikian seret. Kondisi masyarakat yang cukup kritis adalah faktor lain yang tidak bisa diabaikan. Masyarakat Jatim tampak tidak dapat dihipnotis dengan menyodorkan sosok populer semata. Masyarakat tampak cukup paham dengan apa yang sebetulnya mereka inginkan. 

Apalagi mereka cukup mafhum bahwa kinerja seseorang jelas tidak dapat mudah ditularkan begitu saja. Di samping itu, bisa jadi mereka juga belum cukup terkesan dan silau dengan performa Jokowi selama ini. Jokowi mungkin masih merupakan sosok asing di mata mereka. Namun, bisa jadi pula mereka memosisikan Jokowi sebagai sebuah harapan pada level yang lain, namun yang pasti tidak sebagai anutan dalam memilih gubernur yang akan memimpin mereka. 

Menilai Popularitas 

Kasus Jatim sekali lagi menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa kehadiran Jokowi dapat memberikan hasil positif bagi kandidat yang didukungnya. Kehadirannya perlu ditopang oleh faktor-faktor lain yang jauh lebih esensial agar dapat beroleh hasil yang manis. Tanpa faktor-faktor lain tersebut, fenomena kekalahan demi kekalahan akan berpotensi terus terjadi, sekuat apa pun partai menjual nama seorang Jokowi. 

Hal positif yang mungkin dapat diraih oleh PDIP dengan menghadirkan Jokowi adalah mungkin sebagai ajang uji coba kepopuleran Jokowi itu sendiri. Kehadirannya menjadi ajang mengetes air yang menonfirmasi tingkat popularitas kader banteng yang potensial itu. Dari prosesi kampanye pilgub terlihat memang dirinya sulit untuk dikatakan tidak populer. Namun, untuk kemudian menggerakkan pilihan orang, jelas belum tentu. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar