|
BERBEDA dengan Tunisia, Mesir, Libia, dan Yaman, Arab
Spring di Suriah--kendati telah berlangsung 2,5 tahun-belum juga berhasil
menjatuhkan rezim represif yang berkuasa. Hal ini disebabkan faktor internal
dan eksternal yang terdapat pada empat negara yang disebut pertama tidak eksis
di Suriah. Di Tunisia dan Mesir, misalnya, militer mendukung pemberontakan
rakyat sehingga Presiden Tunisia Zainal Abidin Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni
Mubarak tidak punya pilihan lain kecuali mundur. Di Libia, pemberontakan rakyat
sukses menggulingkan rezim Moammar Khadafi, setelah Prancis menyuplai senjata
pada rakyat pemberontak dan NATO ikut memerangi rezim diktator yang telah
berkuasa lebih dari 40 tahun. Tidak ada resistensi dari Dewan Keamanan (DK) PBB
dalam upaya Arab dan Barat menjatuhkan rezim Khadafi.
Rusia
dan China, dua anggota DK PBB, abstain dalam pemungutan suara terkait dengan
gejolak di Libia. Draf resolusi DK PBB yang memberlakukan zona larangan terbang
di Libia tidak diveto oleh Rusia dan China. Hal ini memungkinkan NATO menyerang
situs-situs militer strategis Libia, membombardir pasukan pemerintah, bahkan
upaya membunuh Khadafi. Hal ini memudahkan pihak pemberontak untuk mengalahkan
pasukan pemerintah. Apalagi banyak personel militer Libia menyeberang ke pihak
oposisi. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh turun dari kekuasaan setelah dibujuk
dua sekutu pentingnya, yaitu Arab Saudi dan AS. Sebagai imbalan ia tidak
dihukum atas tindakan-tindakan represifnya selama berkuasa. Saudi dan AS
terpaksa melakukan ini untuk menyelamatkan Yaman dari kehancuran. Karena
tentara dipakai untuk menghadapi pemberontakan rakyat, gerakan separatis kelompok
Syiah Houthi di utara dan golongan separatis Sunni di selatan semakin kuat.
Yang
tak kurang mengkhawatirkan, kaum teroris AQAP (Al-Qaidah di Jazirah Arab)
semakin berhasil memperluas teritorial di selatan. Banyak desa dan kota
berjatuhan ke tangan kelompok ini. Dengan mundurnya Saleh diharapkan
pemberontakan rakyat mereda sehingga pemerintah bisa berkonsentrasi menghadapi
kaum teroris dan separatis itu.
Di
Suriah, semua faktor di atas tidak eksis. Militer relatif utuh mendukung rezim
Presiden Bashar al-Assad. Sebagian rakyat, terutama sekte Syiah Alawiyah,
mendukung rezim yang berkuasa. Liga Arab terpecah dengan Libanon dan Irak tidak
mendukung peyingkiran Assad. Terlebih China, Rusia, dan Iran yang konsisten
mendukung rezim Assad. Sudah tiga draf resolusi DK PBB yang menjatuhkan sanksi
atas Suriah diveto oleh China dan Rusia. Sementara itu, Iran terus memasok
senjata ke sekutunya tersebut. Faktor-faktor ini yang membuat regime change di Suriah tidak terjadi.
Tetapi situasi berubah setelah rezim Suriah dipastikan oleh AS dan Prancis
menggunakan senjata kimia untuk menghadapi kelompok pemberontak.
Situasi membahayakan
Pada 21
Agustus lalu, diperkirakan 1.400-an orang, sebagian anak-anak dan wanita, tewas
terkena senjata kimia berupa gas beracun sarin. Maka bila tadinya AS dan
Prancis menahan diri untuk tidak terlibat langsung dalam perang saudara di
Suriah, kini mereka berubah. Mereka akan menggunakan kekuatan militer untuk
memakzulkan Assad walaupun tanpa persetujuan DK PBB.
Perubahan
kebijakan AS dan Prancis ini memba hayakan keamanan Timur Tengah walaupun
seluruh negara Arab teluk yang tergabung dalam GCC (Dewan Kerja Sama Teluk)
menyokongnya. Begitu peluru pertama AS atau Prancis ditembakkan ke Suriah,
diperkirakan, milisi Hezbollah di Libanon, sekutu Iran dan Suriah, akan menembakkan
rudal ke Israel. ke Israel. Demikian juga Hamas. Israel pasti membalas. Balas
an Israel dengan membombardir Libanon dan Jalur Gaza sebagaimana biasa
dilakukannya akan menimbulkan tekanan rakyat terhadap negara-negara GCC, yang
terdiri dari Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Arab Saudi.
Iran
diperkirakan akan memasok senjata ke Suriah dan Hezbollah. Bukan tidak mungkin
Rusia, yang sejak awal menentang aksi militer terhadap Suriah, juga akan mengikuti
jejak Iran. Sehingga skenario Libia seperti diinginkan AS, Prancis, dan GCC
tidak akan terjadi. Artinya, kaum oposisi Suriah tidak cukup kuat untuk
menggulingkan rezim Assad. Sementara itu, Israel mungkin akan memanfaatkan
situasi ini untuk menyerang situs-situs nuklir Iran. Apalagi belum lama ini
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan bahwa Iran telah meningkatkan
kemampuan pengayaan uranium dengan menambahkan 1.000 unit sentrifugal lagi.
Sudah lama Israel cemas dengan program nuklir Iran dan ingin bertindak dengan
mengerahkan pesawat-pesawat pengebomnya untuk mengebom situs-situs nuklir Iran.
Kalau hal ini terjadi, Iran akan membalas dengan rudal-rudal nya yang dapat men
jangkau Israel.
Tidak hanya
itu, Iran-langsung atau tidak lang sung--akan terlibat secara terbuka dan
semakin intens dalam membantu Suriah. Di lain pihak, Suriah akan menembakkan
rudal ke kapalkapal perang AS di Laut Tengah, pangkalan militer AS di Turki,
Qatar, Arab Saudi, dan Bahrain. Perang semakin tidak terkontrol ketika Rusia,
sekutu lama Suriah, akan melibatkan diri dengan membantu Suriah. Rusia memiliki
pangkalan militer di Tartus, Suriah, yang terletak di tepi Laut Tengah. Suriah
adalah satu-satunya sekutu Rusia di Timur Tengah. Persekutuan keduanya sudah
terbangun sejak zaman Uni Soviet. Bila Suriah di bawah rezim Assad jatuh, Rusia
akan kehilangan satu-satunya pijakan di Timur Tengah untuk mengimbangi AS.
Karena itu, Rusia akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan rezim
Suriah. Kapal perang antikapal selam, yang kini berada di Amerika Selatan,
dipersiapkan untuk meneruskan perjalanan ke Suriah.
Menentang perang
Karena
khawatir AS, Prancis, dan sekutu lainnya akan ikut ajakan `Negeri Paman Sam'
untuk memerangi rezim Assad, Moskow mengambil langkah strategis diplomatik
untuk mementahkan rencana AS dan sekutunya dalam memerangi Damaskus. Presiden
Barack Obama kini sedang berusaha keras untuk mendapatkan persetujuan kongres
bagi rencana berperang di Suriah.
Sebenarnya niat perang AS di Suriah tidak populer. Itu
dapat dilihat dari survei-survei yang dilakukan berbagai NGO, yang menunjukkan
lebih dari 50% rakyat AS menentang keterlibatan militer AS di Suriah. Kasus
perang AS di Irak dan Afghanistan di mana AS tidak berhasil mendirikan
pemerintahan yang demokratis dan stabil, padahal AS menduduki Irak selama 10
tahun dan Afghanistan 12 tahun dengan biaya perang ratusan miliar dolar AS dan
kematian ribuan prajurit AS di kedua negara ini, juga telah menciptakan trauma
bagi rakyat AS. Karena perang semakin dekat dan mayoritas negara di dunia
menentangnya, Washington yang juga khawatir dengan kemungkinan ekses perang itu
mencari terobosan diplomatik. Demikian juga Moskow. Karena itu, beberapa jam
setelah Menlu AS John Kerry menyatakan Presiden Bashar al-Assad bisa
menyelesaikan seluruh krisis seputar tuduhan penggunaan senjata kimia ini
dengan menyerahkan seluruh arsenal senjata kimianya kepada komunitas
internasional selambatlambatnya akhir pekan ini, Menlu Rusia segera menyambut
pernyataan Kerry itu dengan mendesak Damaskus untuk menyerahkan seluruh stok
senjata kimianya kepada kendali dan pengawasan internasional untuk akhirnya
dimusnahkan. Komunitas internasional, termasuk Iran, China, dan Sekjen PBB Ban
Ki-moon, menyambut baik proposal Rusia itu.
Pernyataan
Kerry itu dilontarkan pada saat Menlu Suriah Walid Muallem sedang mengadakan
pertemuan dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov di Moskow pada 9 September lalu. “Jika mewujudkan kendali internasional atas
senjata kimia di negara itu (Suriah) bisa menghindarkan serangan militer, kami
akan segera bekerja dengan Damaskus,“ kata Lavrov. Perdana Menteri Inggris
David Cameron juga menyambut baik upaya tersebut.
Menurut
dia, jika Suriah setuju menyerahkan seluruh stok senjata kimianya, itu akan
menjadi langkah kemajuan yang besar dalam krisis di negara itu dan perlu
didukung. Lantaran terdesak oleh tekanan mitranya yang mendapat dukungan China
dan Iran yang selama ini mendukungnya, Damaskus dikabarkan menyambut baik
proposal Rusia itu walaupun belum diketahui detailnya. Dengan demikian, terbuka
kemungkinan krisis Suriah dapat diselesaikan melalui jalan diplomatik, yang
meminggirkan jalan perang yang hanya menciptakan kematian dan kesengsaraan
jutaan rakyat Suriah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar