Sabtu, 14 September 2013

Suriah Perlu Solusi Militer atau Diplomatik?

Suriah Perlu Solusi Militer atau Diplomatik?
Smith Alhadar  ;   Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
MEDIA INDONESIA, 13 September 2013


BERBEDA dengan Tunisia, Mesir, Libia, dan Yaman, Arab Spring di Suriah--kendati telah berlangsung 2,5 tahun-belum juga berhasil menjatuhkan rezim represif yang berkuasa. Hal ini disebabkan faktor internal dan eksternal yang terdapat pada empat negara yang disebut pertama tidak eksis di Suriah. Di Tunisia dan Mesir, misalnya, militer mendukung pemberontakan rakyat sehingga Presiden Tunisia Zainal Abidin Ben Ali dan Presiden Mesir Hosni Mubarak tidak punya pilihan lain kecuali mundur. Di Libia, pemberontakan rakyat sukses menggulingkan rezim Moammar Khadafi, setelah Prancis menyuplai senjata pada rakyat pemberontak dan NATO ikut memerangi rezim diktator yang telah berkuasa lebih dari 40 tahun. Tidak ada resistensi dari Dewan Keamanan (DK) PBB dalam upaya Arab dan Barat menjatuhkan rezim Khadafi.

Rusia dan China, dua anggota DK PBB, abstain dalam pemungutan suara terkait dengan gejolak di Libia. Draf resolusi DK PBB yang memberlakukan zona larangan terbang di Libia tidak diveto oleh Rusia dan China. Hal ini memungkinkan NATO menyerang situs-situs militer strategis Libia, membombardir pasukan pemerintah, bahkan upaya membunuh Khadafi. Hal ini memudahkan pihak pemberontak untuk mengalahkan pasukan pemerintah. Apalagi banyak personel militer Libia menyeberang ke pihak oposisi. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh turun dari kekuasaan setelah dibujuk dua sekutu pentingnya, yaitu Arab Saudi dan AS. Sebagai imbalan ia tidak dihukum atas tindakan-tindakan represifnya selama berkuasa. Saudi dan AS terpaksa melakukan ini untuk menyelamatkan Yaman dari kehancuran. Karena tentara dipakai untuk menghadapi pemberontakan rakyat, gerakan separatis kelompok Syiah Houthi di utara dan golongan separatis Sunni di selatan semakin kuat.

Yang tak kurang mengkhawatirkan, kaum teroris AQAP (Al-Qaidah di Jazirah Arab) semakin berhasil memperluas teritorial di selatan. Banyak desa dan kota berjatuhan ke tangan kelompok ini. Dengan mundurnya Saleh diharapkan pemberontakan rakyat mereda sehingga pemerintah bisa berkonsentrasi menghadapi kaum teroris dan separatis itu.

Di Suriah, semua faktor di atas tidak eksis. Militer relatif utuh mendukung rezim Presiden Bashar al-Assad. Sebagian rakyat, terutama sekte Syiah Alawiyah, mendukung rezim yang berkuasa. Liga Arab terpecah dengan Libanon dan Irak tidak mendukung peyingkiran Assad. Terlebih China, Rusia, dan Iran yang konsisten mendukung rezim Assad. Sudah tiga draf resolusi DK PBB yang menjatuhkan sanksi atas Suriah diveto oleh China dan Rusia. Sementara itu, Iran terus memasok senjata ke sekutunya tersebut. Faktor-faktor ini yang membuat regime change di Suriah tidak terjadi. Tetapi situasi berubah setelah rezim Suriah dipastikan oleh AS dan Prancis menggunakan senjata kimia untuk menghadapi kelompok pemberontak.

Situasi membahayakan

Pada 21 Agustus lalu, diperkirakan 1.400-an orang, sebagian anak-anak dan wanita, tewas terkena senjata kimia berupa gas beracun sarin. Maka bila tadinya AS dan Prancis menahan diri untuk tidak terlibat langsung dalam perang saudara di Suriah, kini mereka berubah. Mereka akan menggunakan kekuatan militer untuk memakzulkan Assad walaupun tanpa persetujuan DK PBB.

Perubahan kebijakan AS dan Prancis ini memba hayakan keamanan Timur Tengah walaupun seluruh negara Arab teluk yang tergabung dalam GCC (Dewan Kerja Sama Teluk) menyokongnya. Begitu peluru pertama AS atau Prancis ditembakkan ke Suriah, diperkirakan, milisi Hezbollah di Libanon, sekutu Iran dan Suriah, akan menembakkan rudal ke Israel. ke Israel. Demikian juga Hamas. Israel pasti membalas. Balas an Israel dengan membombardir Libanon dan Jalur Gaza sebagaimana biasa dilakukannya akan menimbulkan tekanan rakyat terhadap negara-negara GCC, yang terdiri dari Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Arab Saudi.

Iran diperkirakan akan memasok senjata ke Suriah dan Hezbollah. Bukan tidak mungkin Rusia, yang sejak awal menentang aksi militer terhadap Suriah, juga akan mengikuti jejak Iran. Sehingga skenario Libia seperti diinginkan AS, Prancis, dan GCC tidak akan terjadi. Artinya, kaum oposisi Suriah tidak cukup kuat untuk menggulingkan rezim Assad. Sementara itu, Israel mungkin akan memanfaatkan situasi ini untuk menyerang situs-situs nuklir Iran. Apalagi belum lama ini Badan Energi Atom Internasional (IAEA) melaporkan bahwa Iran telah meningkatkan kemampuan pengayaan uranium dengan menambahkan 1.000 unit sentrifugal lagi. Sudah lama Israel cemas dengan program nuklir Iran dan ingin bertindak dengan mengerahkan pesawat-pesawat pengebomnya untuk mengebom situs-situs nuklir Iran. Kalau hal ini terjadi, Iran akan membalas dengan rudal-rudal nya yang dapat men jangkau Israel.

Tidak hanya itu, Iran-langsung atau tidak lang sung--akan terlibat secara terbuka dan semakin intens dalam membantu Suriah. Di lain pihak, Suriah akan menembakkan rudal ke kapalkapal perang AS di Laut Tengah, pangkalan militer AS di Turki, Qatar, Arab Saudi, dan Bahrain. Perang semakin tidak terkontrol ketika Rusia, sekutu lama Suriah, akan melibatkan diri dengan membantu Suriah. Rusia memiliki pangkalan militer di Tartus, Suriah, yang terletak di tepi Laut Tengah. Suriah adalah satu-satunya sekutu Rusia di Timur Tengah. Persekutuan keduanya sudah terbangun sejak zaman Uni Soviet. Bila Suriah di bawah rezim Assad jatuh, Rusia akan kehilangan satu-satunya pijakan di Timur Tengah untuk mengimbangi AS. Karena itu, Rusia akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan rezim Suriah. Kapal perang antikapal selam, yang kini berada di Amerika Selatan, dipersiapkan untuk meneruskan perjalanan ke Suriah.

Menentang perang

Karena khawatir AS, Prancis, dan sekutu lainnya akan ikut ajakan `Negeri Paman Sam' untuk memerangi rezim Assad, Moskow mengambil langkah strategis diplomatik untuk mementahkan rencana AS dan sekutunya dalam memerangi Damaskus. Presiden Barack Obama kini sedang berusaha keras untuk mendapatkan persetujuan kongres bagi rencana berperang di Suriah.
Sebenarnya niat perang AS di Suriah tidak populer. Itu dapat dilihat dari survei-survei yang dilakukan berbagai NGO, yang menunjukkan lebih dari 50% rakyat AS menentang keterlibatan militer AS di Suriah. Kasus perang AS di Irak dan Afghanistan di mana AS tidak berhasil mendirikan pemerintahan yang demokratis dan stabil, padahal AS menduduki Irak selama 10 tahun dan Afghanistan 12 tahun dengan biaya perang ratusan miliar dolar AS dan kematian ribuan prajurit AS di kedua negara ini, juga telah menciptakan trauma bagi rakyat AS. Karena perang semakin dekat dan mayoritas negara di dunia menentangnya, Washington yang juga khawatir dengan kemungkinan ekses perang itu mencari terobosan diplomatik. Demikian juga Moskow. Karena itu, beberapa jam setelah Menlu AS John Kerry menyatakan Presiden Bashar al-Assad bisa menyelesaikan seluruh krisis seputar tuduhan penggunaan senjata kimia ini dengan menyerahkan seluruh arsenal senjata kimianya kepada komunitas internasional selambatlambatnya akhir pekan ini, Menlu Rusia segera menyambut pernyataan Kerry itu dengan mendesak Damaskus untuk menyerahkan seluruh stok senjata kimianya kepada kendali dan pengawasan internasional untuk akhirnya dimusnahkan. Komunitas internasional, termasuk Iran, China, dan Sekjen PBB Ban Ki-moon, menyambut baik proposal Rusia itu.

Pernyataan Kerry itu dilontarkan pada saat Menlu Suriah Walid Muallem sedang mengadakan pertemuan dengan Menlu Rusia Sergey Lavrov di Moskow pada 9 September lalu. “Jika mewujudkan kendali internasional atas senjata kimia di negara itu (Suriah) bisa menghindarkan serangan militer, kami akan segera bekerja dengan Damaskus,“ kata Lavrov. Perdana Menteri Inggris David Cameron juga menyambut baik upaya tersebut.


Menurut dia, jika Suriah setuju menyerahkan seluruh stok senjata kimianya, itu akan menjadi langkah kemajuan yang besar dalam krisis di negara itu dan perlu didukung. Lantaran terdesak oleh tekanan mitranya yang mendapat dukungan China dan Iran yang selama ini mendukungnya, Damaskus dikabarkan menyambut baik proposal Rusia itu walaupun belum diketahui detailnya. Dengan demikian, terbuka kemungkinan krisis Suriah dapat diselesaikan melalui jalan diplomatik, yang meminggirkan jalan perang yang hanya menciptakan kematian dan kesengsaraan jutaan rakyat Suriah. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar