Sabtu, 07 September 2013

Kiai Berwawasan Kebangsaan

Kiai Berwawasan Kebangsaan
Moh Mahfud MD  ;   Guru Besar Hukum Konstitusi
KORAN SINDO, 07 September 2013



Ketika pada Senin sore awal pekan ini melakukan kunjungan silaturahmi dan berdiskusi ringan dengan Kiai Munif Zuhri, saya agak terperangah. Kiai yang memimpin Pondok Pesantren Giri Kusumo di Mranggen, Demak ini tak berbicara masalah agama dalam arti konvensional, tetapi banyak berbicara masalah sosial dan politik yang kita hadapi. 

Kiai Munif bisa mengupas dengan lancar persoalan kebijakan dunia perdagangan, peternakan, pertanian, dan lain-lain, termasuk soal bawang yang saya sendiri tak terlalu tahu detail problemnya meski saya selalu membaca koran dan nontontelevisi. Kiai Munif juga menyampaikan cerita memilukan tentang pensiunanpensiunan, janda-janda tentara dan polisi yang di masa tuanya banyak disiasiakan negara, padahal mereka telah mengabdi kepada bangsa dan negara dengan segala pengorbanan jiwa dan raganya. 

Ada pensiunan tentara yang diusir dari asrama dengan alasan yang bersangkutan sudah tak berhak lagi bertempat tinggal di sana. Ada janda polisi yang dipaksa keluar dari perumahan dinas dengan kasar oleh polisi-polisi muda karena rumah itu akan dipergunakan oleh polisi aktif yang juga butuh rumah. Sungguh memilukan karena tak jarang janda-janda tua yang sudah renta itu harus menangis dan melihat barang-barang miliknya seperti ranjang, kursi, lemari dikeluarkan dari rumah yang selama ini ditinggalinya dan barang-barang itu diletakkan begitu saja di pinggir jalan. 

Pensiunan tentara dan polisi atau janda-jandanya yang sudah renta itu dibiarkan panik untuk mencari mobil sewaan guna mengangkut barang-barangnya yang juga tak tahu harus diangkut ke mana. Mereka tak punya rumah dan tak mampu menyewa tempat tinggal. Kiai Munif kemudian menyampaikan usul dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan. Apakah negara tak bisa menyisihkan anggaran untuk tempat tinggal pensiunan tentara, polisi, dan jandajandanya? Bukankah mereka sudah berjasa kepada bangsa-negara sehingga kita bisa hidup enak di negeri yang indah dan kaya ini? 

Apa penghargaan kita untuk mereka yang telah berjasa, tetapi harus pensiun pada jabatan rendahan sehingga tidak punya tabungan untuk makan dan berteduh secara sederhana sekalipun? Bukankah lebih mulia para petinggi negara jika mau ikut memikirkan nasib mereka daripada membuat anggaran untuk program-program yang mewah, tetapi tak mampu mengontrol korupsinya? Saya pun menyatakan sependapat dengan Kiai Munif. Banyak keanehan yang melukai nurani dalam pengelolaan negara kita ini. 

Kita tentu trenyuh ketika beberapa waktu yang lampau melihat dua janda perwira menangis di depan umum karena diusir dari asrama, sementara mereka tak tahu harus ke mana karena tak lagi punya sanak famili yang bisa ditangisi. Namun saya juga bercerita bahwa ketika menjadi anggota Komisi I DPR-RI dulu saya pernah ikut menangani pengusiran penghuni asrama tentara di Makassar. 

Dalam kasus itu memang ada pensiunan tentara yang agak nakal, yakni menyewakan rumah di asrama kepada orang lain, sedangkan dia sendiri sudah punya rumah yang lebih bagus yang bisa ditinggalinya. Padahal pada saat yang sama banyak tentara yang masih aktif yang tidak punya tempat tinggal. ”Nah, kenakalan yang begitu itu ada faktanya juga sehingga agak wajar jika kemudian dilakukan pengusiran paksa,” kata saya. Kiai Munif kemudian mengatakan bahwa memang ada yang begitu, tapi jumlahnya sedikit, sifatnya kasuistis, dan bisa dipilah-pilah. 

Kebijakan umumnya tetap harus ada, sebab yang mengalami nasib seperti itu tidak sedikit. Ke depan pun kita akan terus menghadapi soal-soal seperti ini. ”Yang menyedihkan, kadang pengusiran itu dilakukan pegawai-pegawai muda tanpa sikap santun terhadap seniorseniornya yang sudah pensiun,” kata Kiai Munif. Yang membuat saya terkesan bukanlah sekadar pilihan isunya yang aktual, melainkan karena isu itu dilontarkan seorang kiai di kampung. 

Selama ini banyak orang beranggapan bahwa kiai-kiai pesantren itu tak mengikuti perkembangan dan lebih berpikir sempit untuk keperluan pesantrennya saja. Banyak yang mengira kiai-kiai itu hanya berpikir tentang agama dalam arti sempit, fikih ibadah semata. Padahal kiai-kiai itu sejak dulu sudah berpikir luas menyangkut politik dan sosial kemasyarakatan. Cara Kiai Munif mengajak berdiskusi tentang kebijakan pertanian, perdagangan, kesejahteraan, dan masa depan prajurit menunjukkan bahwa kiai-kiai pun memahami persoalan di negaranya. 

Kiai Munif Zuhri adalah contoh yang bisa dilihat bahwa kiai-kiai itu sebenarnya punya kesadaran berbangsa dan bernegara tanpa mengeksklusifkan Islam. Mereka tidak hanya berpikir tentang diri dan pondok pesantrennya, tetapi sudah berbicara tentang kesejahteraan umum. Mereka menunjukkan penghayatannya yang tinggi tentang ”Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam”. 

Ketika membela orang tertindas atau masyarakat yang menjadi korban kebijakan negara, para kiai itu tidak mempersoalkan ”agama apa yang dianut” oleh pembuat kebijakan atau para korbannya. Pokoknya kejujuran, keadilan, dan pembangunan kesejahteraan harus ditegakkan untuk siapa pun tanpa mempersoalkan apa agama mereka. Rasa kemanusiaan universal dan sikap kebangsaan para kiai yang seperti itu, tak pelak, telah menjadi penguat bagi kehidupan kita berbangsa dan bernegara sampai saat ini. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar