Sabtu, 07 September 2013

Budaya Indonesia dan Kontes Ratu Sejagat

Budaya Indonesia dan Kontes Ratu Sejagat
Rahmat Hidayat Pulungan  ;   Ketua PP GP Ansor
KORAN SINDO, 07 September 2013


Kontes Ratu Sejagat, baik yang bertajuk Miss World (didirikan Eric Morley pada 1951) maupun Miss Universe (dimulai oleh Donald Trump pada 1952) ataupun Miss International Pageant (1960) dan Miss Earth (2001) menuai kontroversi sejak pertama dihelat. 

Tak hanya di Indonesia, empat kontes kecantikan itu juga kerap menuai protes dari para feminis dan aktivis keagamaan. Eksploitasi sensualitas, seksualitas, dan kecantikan menjadi alasan utama maraknya penolakan terhadap berbagai kontes kecantikan. Meski berbeda nama dan tema, empat ajang perlombaan bagi perempuan itu sama-sama menekankan kecantikan. 

Bedanya, Miss World mengedepankan jiwa sosial pesertanya dengan merujuk pada prinsip manner, impressive, smart, social (disingkat MISS), Miss Universe yang berjargon brain, beauty, dan behavior mengedepankan kecerdasan dan etika. Sementara Miss International Pageant mempromosikan perdamaian dan Miss Earth yang mempromosikan cinta lingkungan. 

Di negeri ini protes terhadap berbagai ajang kontes yang diadopsi dari luar sebenarnya telah ada sejak lama. Pada akhir 1990-an protes terhadap penyelenggaraan kontes kecantikan bertajuk Pemilihan Puteri Indonesia dilakukan banyak kalangan. Namun toh, ajang Puteri Indonesia dan pengiriman delegasinya ke berbagai ajang kontes kecantikan internasional terus berlangsung hingga saat ini. 

Alumninya pun seakan mendapat legitimasi dari negara dan masyarakat dengan dijadikan duta wisata. Hal menarik dari gelombang protes tersebut adalah munculnya fatwa-fatwa yang mengharamkan ajang kontes kecantikan, disertai ancaman untuk mengganggu perhelatan Miss World 2013 melalui serangan kecoa ke tempat penginapan para Ratu Sejagat. Sebuah ancaman bernada satir. Guyonan yang lucu sekaligus intimidatif. 

Evolusi Budaya atau Kompromi Pasar 

Dari berbagai ajang kontes kecantikan yang ada, di Indonesia yang paling terkenal adalah Miss Universe dan Miss World. Miss Universe lebih awal diadopsi oleh para pakar kecantikan di Indonesia, melalui ajang pemilihan Puteri Indonesia yang disponsori oleh Perusahaan Kosmetik Mustika Ratu sejak 1992. Sedangkan Miss World diadopsi oleh ajang Miss Indonesia dengan sponsor Martha Tilaar sejak 2005. 

Para juara kontes kecantikan itu biasanya langsung didaulat menjadi duta promosi bagi negaranya masing-masing. Entah duta wisata, duta lingkungan, duta budaya, duta ekonomi, dan sebagainya di forum-forum internasional. Sebagai selebritas, para finalisnya juga kemudian menjadi bintang iklan, artis film, atau bahkan direkrut sejumlah partai politik untuk menjadi wakil rakyat.

Belakangan, sejak terbukanya keran demokrasi pascareformasi, protes dan penolakan terhadap segala hal berbau Barat semakin semarak. Terlebih terhadap kontes kecantikan. Hampir tiap tahun, jika ada ajang pemilihan Puteri Indonesia dan kemudian ajang pemilihan Miss Indonesia, media kita selalu riuh oleh berita demonstrasi penolakan terhadap kegiatan tersebut. Hingga puncaknya, ketika Miss World 2013 diputuskan digelar di Indonesia, gelombang protes semakin kencang. Kini, seiring dekatnya waktu pelaksanaan Miss World 2013, demonstrasi penolakan tak hanya berisi petisi atau pernyataan sikap, tapi juga dibumbui ancaman untuk mengganggu acara berkelas internasional tersebut. 

Seiring maraknya protes terhadap berbagai kontes kecantikan itu, para penyelenggara melakukan modifikasi kemasan kontes berkali-kali. Seperti produk industri lainnya, model kontes kecantikan harus disesuaikan dengan keinginan pasar. Maka itu, untuk menyelaraskan adat ketimuran bangsa Indonesia, penyelenggaraan Miss World pun rela mengubah model kontestasi dengan meniadakan peragaan berbau sensualitas tubuh yang vulgar melalui kewajiban berbikini. 

Panitia Miss World 2013 mencoba meredam protes dengan menjanjikan perubahan konsep ajang tersebut dengan menghilangkan tradisi kontes berbikini demi menyesuaikan dengan adat ketimuran Indonesia. Inilah yang disebut Jean Baudrillard (1929-2007) sebagai Simulacra yang melahirkan hiper-realitas. Bagi masyarakat konsumeristis, substansi dan fakta sebuah objek tidaklah lebih berarti dari simbol yang diinformasikan. 

Pada era hiperrealitas ini kecenderungan membesarkan fakta sekaligus menyembunyikan fakta yang lain, mengaburkan informasi dan fantasi telah menjadi lumrah. Dalam kondisi ini memesis atau pertukaran pengaruh ide seseorang terhadap sebuah kelompok masyarakat bermuara pada sikap dan emosi massa yang beragam, namun mudah dikooptasi oleh pendapat kelompok yang superior. 

Fatwa dan ancaman pengiriman kecoa adalah buah dari hypercare nilai keagamaan sebagai kontra terhadap hypercare kecantikan yang dilahirkan oleh kontestasi kecantikan. Sementara perubahan konsep Miss World dari kontes bikini ke kebaya adalah upaya meredam hiperkomoditas dan hiperseksualitas yang ada dalam ajang tersebut. Dari pertentangan dua kutub tersebut, selayaknya kita mencoba berpikir jernih. 

Di luar gejala hiper-realitas dalam ajang Miss World 2013 beserta reaksi terhadapnya, ada jalan tengah yang patut diupayakan. Ada pertarungan budaya dalam kontestasi kecantikan yang ingar-bingar tersebut, yang tak bisa dielakkan. Gejala serupa juga terjadi dalam promosi jilbab, hijab, dan pakaian tradisi keagamaan lain yang kini mulai marak dikonteskan. Pengenalan budaya Indonesia dalam ajang Miss World 2013, seperti yang dijanjikan penyelenggara kegiatan tersebut, perlu ditunggu realisasinya. 

Janji panitia untuk menghilangkan tradisi pengumbaran aurat dalam ajang tersebut perlu dicatat sebagai media pengubah selera pasar tentang makna sebuah kecantikan. Kecantikan tak melulu harus memperdagangkan sensualitas tubuh, tetapi harus dititikberatkan pada etika dan kemampuan dalam mengomunikasikan nilai-nilai tradisi lokal (juga nilai agama). 

Evolusi budaya ini jugalah yang pernah dipraktikkan oleh Walisongo. Mereka melawan tradisi animisme dan dinamisme dengan cara mengubah konsepsinya dan membumbuinya dengan nilai-nilai dakwah. Perubahan konsep Miss World ini juga bisa dijadikan simbol perlawanan terhadap hegemoni Barat terhadap budaya lokal. Tradisi lokal Indonesia, termasuk batik dan kebaya, sebagai simbol budaya Nusantara bisa menjadi budaya pop yang mendunia. 

Arus kebudayaan yang terus berjalan tentu tidak dapat kita hindarkan, menolak proses tersebut akan membuat kita akan terus terpinggirkan. Cara yang paling tepat dan bijak jika kita mengacu pada sejarah adalah dengan masuk ke dalam proses tersebut dan pelan-pelan melakukan perubahan pada konsepsi dan substansi sekaligus memasukan nilai-nilai kemanusiaan universal. Wallahualam.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar