|
"Ketika
polisi tak tegas menegakkan hukum, rakyat cenderung main hakim sendiri melalui aksi
koboi di jalanan"
KEAMANAN hidup ternyata kini menjadi sesuatu yang mahal.
Bahkan kita serasa hidup di “negeri koboi”, dalam arti mereka yang tidak berhak
bisa dengan mudah menguasai senjata api (senpi), bahkan menembak. Bukan hanya
warga sipil, polisi dan tentara pun menjadi korban. Bedanya, bila koboi dulu
menggunakan kuda, ”koboi” masa kini tersebut menggunakan mobil atau motor dalam
aksinya.
Dalam waktu kurang dari dua bulan saja terjadi 20 kasus
penembakan misterius yang hingga kini belum terungkap siapa pelaku dan
motifnya, dari Aceh hingga Papua, termasuk di wilayah hukum Polda Jawa Tengah,
tepatnya di Boyolali. Kasus di Boyolali ini merupakan satu-satunya yang
berhasil diungkap polisi.
Pada 5 Agustus 2013, sebuah mobil travel yang sedang melaju
membawa penumpang ditembak pengemudi mobil Toyota Avanza B-1310-FFZ di Jalan
Pandanaran, depan Pasar Boyolali. Beberapa jam kemudian petugas Polres Boyolali
berhasil menangkap pelaku, Aditya Khatib Wicaksono, warga Bekasi Jabar, yang
hendak mudik ke Wonogiri. Polisi menyita airsoft gun merk Jericho, satu
magasin, dan sebutir peluru airsoft gun.
Kasus penembakan misterius juga terjadi di wilayah hukum
Polda DIY. Pada 9 Agustus 2013, terjadi empat penembakan terhadap empat mobil
di empat lokasi berbeda di Kabupaten Kulonprogo DIY. Kendaraan yang ditembak
adalah truk, Toyota Rush dan Isuzu Panther di Dusun Trayu, serta Toyota Avanza
di Desa Kranggan. Penembakan terjadi pada malam hari. Beberapa jam sebelumnya
penembakan terhadap mobil juga terjadi di Kabupaten Bantul DIY.
Mengutip data dari Indonesia
Police Watch (IPW) pada Minggu (1/9/13), kasus di Jateng dan DIY ini hanya
sebagian dari 20 kasus penembakan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia
dalam waktu 45 hari, terbanyak di wilayah hukum Polda Metro Jaya (10 kasus).
Adapun sasarannya adalah 10 mobil, 3 halte busway, 1 rumah polisi, 4 anggota
Polri, dan 1 anggota TNI. Akibatnya, 3 orang luka dan 5 orang tewas, 3 di
antara yang tewas adalah polisi.
Di wilayah hukum Polda Metro Jaya, penembakan terjadi pada 30
Agustus 2013 di lahan pembangunan hotel di Jalan Pasar Baru Timur Sawah Besar
Jakarta Pusat, dengan pelaku berinisial E mengaku sebagai anggota Badan
Intelijen Negara (BIN), dan di ruas jalan tol Pancoran Jakarta Selatan dengan
taksi Bluebird menjadi korban, kaca kiri depan retak-retak.
Sangat Permisif
Penembakan juga terjadi pada 16 Agustus 2013, dua polisi
yang bertugas di Polsek Pondok Aren Tangerang Selatan, Aiptu Koes Hendratno dan
Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak. Pada 13 Agustus 2013 rumah AKP Andreas
Tulam di Perumahan Banjar Wijaya Tangerang, ditembak orang tak dikenal. Pada 9
Agustus 2013 terjadi penembakan terhadap tiga halte busway di tiga lokasi
berbeda, yakni Cawang-Cikoko, Cawang-Ciliwung, Jaktim, dan Tebet Jaksel.
Pada 7 Agustus 2013, Aiptu Dwiyatna tewas ditembak saat
hendak berangkat kerja ke Polsek Cilandak Jaksel dan 27 Juli 2013 Aipda Patah
Saktiyono, anggota Satlantas Polres Jakpus luka di dada setelah ditembak dua
orang tak dikenal di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat Tangerang Selatan.
Pada 28 Agustus 2013, mobil Honda Jazz milik Afiz, anak
Ketua DPRD Banten Aeng Haerudin, ditembak dua orang tak dikenal di Jalan Raya
Serang Pandeglang, dan pada 14 Juli 2013 mobil Taruna BL-847-PZ milik
Fadil Muhammad, Wakil Ketua Komisi A DPRD Aceh Timur ditembak orang tak dikenal
saat parkir di depan Kantor Partai Aceh (PA) di Peulalu Kecamatan Simpang Ulim.
Pada 31 Juli 2013 ambulans yang sedang mengangkut warga
sakit ditembak orang tak dikenal di Puncak Jaya Papua, seorang tewas dan dua
lainnya luka. Kasus terakhir, 31 Agustus 2013 Pratu Andre, anggota TNI di
Kabupaten Puncak Jaya Papua tewas tertembak saat berpatroli di kawasan
Tinggineri.
Indonesia Police Watch mencatat dua faktor penyebab
kemerebakan aksi penembakan. Pertama; pemerintah sangat permisif terhadap
kepemilikan senjata api oleh kalangan sipil. Hal ini diperparah oleh sikap
pemerintah yang memungut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi warga sipil
yang memegang senjata api.
Kedua; aparat Polri tak serius menindak warga sipil yang
memegang senjata api ilegal. Ketika polisi tak mau menegakkan hukum, rakyat pun
kian nekat dan cenderung main hakim sendiri melalui aksi koboi di jalanan.
Bagaimana, Pak polisi? ”Fiat justitia
ruat caelum (tegakkan hukum walau
langit akan runtuh),” kata Lucius
Calpurnius Piso Caesoninus pada tahun 43 SM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar