Sabtu, 07 September 2013

Ketidaknyamanan di “Negeri Koboi”

Ketidaknyamanan di “Negeri Koboi”
Suharto  ;  Tenaga Ahli DPR
SUARA MERDEKA, 06 September 2013


"Ketika polisi tak tegas menegakkan hukum, rakyat cenderung main hakim sendiri melalui aksi koboi di jalanan"

KEAMANAN hidup ternyata kini menjadi sesuatu yang mahal. Bahkan kita serasa hidup di “negeri koboi”, dalam arti mereka yang tidak berhak bisa dengan mudah menguasai senjata api (senpi), bahkan menembak. Bukan hanya warga sipil, polisi dan tentara pun menjadi korban. Bedanya, bila koboi dulu menggunakan kuda, ”koboi” masa kini tersebut menggunakan mobil atau motor dalam aksinya.

Dalam waktu kurang dari dua bulan saja terjadi 20 kasus penembakan misterius yang hingga kini belum terungkap siapa pelaku dan motifnya, dari Aceh hingga Papua, termasuk di wilayah hukum Polda Jawa Tengah, tepatnya di Boyolali. Kasus di Boyolali ini merupakan satu-satunya yang berhasil diungkap polisi.

Pada 5 Agustus 2013, sebuah mobil travel yang sedang melaju membawa penumpang ditembak pengemudi mobil Toyota Avanza B-1310-FFZ di Jalan Pandanaran, depan Pasar Boyolali. Beberapa jam kemudian petugas Polres Boyolali berhasil menangkap pelaku, Aditya Khatib Wicaksono, warga Bekasi Jabar, yang hendak mudik ke Wonogiri. Polisi menyita airsoft gun merk Jericho, satu magasin, dan sebutir peluru airsoft gun.

Kasus penembakan misterius juga terjadi di wilayah hukum Polda DIY. Pada 9 Agustus 2013, terjadi empat penembakan terhadap empat mobil di empat lokasi berbeda di Kabupaten Kulonprogo DIY. Kendaraan yang ditembak adalah truk, Toyota Rush dan Isuzu Panther di Dusun Trayu, serta Toyota Avanza di Desa Kranggan. Penembakan terjadi pada malam hari. Beberapa jam sebelumnya penembakan terhadap mobil juga terjadi di Kabupaten Bantul DIY.

Mengutip data dari Indonesia Police Watch (IPW) pada Minggu (1/9/13), kasus di Jateng dan DIY ini hanya sebagian dari 20 kasus penembakan yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia dalam waktu 45 hari, terbanyak di wilayah hukum Polda Metro Jaya (10 kasus). Adapun sasarannya adalah 10 mobil, 3 halte busway, 1 rumah polisi, 4 anggota Polri, dan 1 anggota TNI. Akibatnya, 3 orang luka dan 5 orang tewas, 3 di antara yang tewas adalah polisi.

Di wilayah hukum Polda Metro Jaya, penembakan terjadi pada 30 Agustus 2013 di lahan pembangunan hotel di Jalan Pasar Baru Timur Sawah Besar Jakarta Pusat, dengan pelaku  berinisial E mengaku sebagai anggota Badan Intelijen Negara (BIN), dan di ruas jalan tol Pancoran Jakarta Selatan dengan taksi Bluebird menjadi korban, kaca kiri depan retak-retak.

Sangat Permisif

Penembakan juga terjadi pada 16 Agustus 2013, dua polisi yang bertugas di Polsek Pondok Aren Tangerang Selatan, Aiptu Koes Hendratno dan Bripka Ahmad Maulana tewas ditembak. Pada 13 Agustus 2013 rumah AKP Andreas Tulam di Perumahan Banjar Wijaya Tangerang, ditembak orang tak dikenal. Pada 9 Agustus 2013 terjadi penembakan terhadap tiga halte busway di tiga lokasi berbeda, yakni Cawang-Cikoko, Cawang-Ciliwung, Jaktim, dan Tebet Jaksel.

Pada 7 Agustus 2013, Aiptu Dwiyatna tewas ditembak saat hendak berangkat kerja ke Polsek Cilandak Jaksel dan 27 Juli 2013 Aipda Patah Saktiyono, anggota Satlantas Polres Jakpus luka di dada setelah ditembak dua orang tak dikenal di Jalan Cirendeu Raya, Ciputat Tangerang Selatan.

Pada 28 Agustus 2013, mobil Honda Jazz milik Afiz, anak Ketua DPRD Banten Aeng Haerudin, ditembak dua orang tak dikenal di Jalan Raya Serang  Pandeglang, dan pada 14 Juli 2013 mobil Taruna BL-847-PZ milik Fadil Muhammad, Wakil Ketua Komisi A DPRD Aceh Timur ditembak orang tak dikenal saat parkir di depan Kantor Partai Aceh (PA) di Peulalu Kecamatan Simpang Ulim.

Pada 31 Juli 2013 ambulans yang sedang mengangkut warga sakit ditembak orang tak dikenal di Puncak Jaya Papua, seorang tewas dan dua lainnya luka. Kasus terakhir, 31 Agustus 2013 Pratu Andre, anggota TNI di Kabupaten Puncak Jaya Papua tewas tertembak saat berpatroli di kawasan Tinggineri.
Indonesia Police Watch mencatat dua faktor penyebab kemerebakan aksi penembakan. Pertama; pemerintah sangat permisif terhadap kepemilikan senjata api oleh kalangan sipil. Hal ini diperparah oleh sikap pemerintah yang memungut Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) bagi warga sipil yang memegang senjata api.


Kedua; aparat Polri tak serius menindak warga sipil yang memegang senjata api ilegal. Ketika polisi tak mau menegakkan hukum, rakyat pun kian nekat dan cenderung main hakim sendiri melalui aksi koboi di jalanan. Bagaimana, Pak polisi? ”Fiat justitia ruat caelum (tegakkan hukum walau langit akan runtuh),” kata Lucius Calpurnius Piso Caesoninus pada tahun 43 SM. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar