|
Praktik demokrasi di Indonesia saat
ini dijalankan begitu dangkal. Diwarnai praktik penggunaan kekuasaan hanya
didasarkan aspek legalitas hukum formal, bukan pada legitimasi bersumber dari
moralitas politik dan norma hukum publik yang mendalam.
Permasalahan ini
mencuat ke permukaan, akhir-akhir ini, dalam kontroversi seputar pengangkatan
hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi yang baru oleh Presiden, yang digugat
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK karena dinilai tak transparan dan
demokratis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MK.
Paradoks
politik hukum ini menambah deret ketegangan hubungan antarlembaga tinggi
negara. Bukan hanya antara lembaga yudikatif dan eksekutif, melainkan juga
antara lembaga yudikatif dan kekuatan-kekuatan politik di lembaga legislatif,
seperti terjadi dalam kasus sengketa pilkada. Sejumlah paradoks itu menimbulkan
komplikasi tersendiri pada praktik demokrasi, terutama terkait independensi MK,
independensi lembaga pemilu, proses legislasi di parlemen, dan penentuan
pejabat publik di lembaga pemerintahan.
Gugatan koalisi
masyarakat sipil itu memberikan arti positif bagi demokratisasi penggunaan
kekuasaan dan praktik hukum di Indonesia. Gugatan itu bisa dimaknai bukan hanya
sebagai gugatan hukum semata, melainkan juga kontrol masyarakat sipil terhadap
kecenderungan penggunaan kekuasaan berlebih—dalam hal ini otoritas
Presiden—agar tidak terlalu masuk ke ranah yudikatif atau memengaruhi produk
yurisprudensi.
Semakin heterogen
Sejak
demokratisasi berlangsung, Indonesia menghadapi permasalahan baru bagaimana
menjalankan praktik negara hukum secara demokratis. Demokratisasi telah memecah
konsentrasi kekuasaan. Jika dulu, pada masa Orde Baru, lembaga
eksekutif/presiden sepenuhnya mengendalikan pengambilan keputusan di DPR/MPR
dan memengaruhi produk hukum dan proses peradilan, kini jadi tersebar ke
sejumlah lembaga tinggi, terutama legislatif, searah dengan kedaulatan rakyat
yang kian menguat sejak demokratisasi.
Konsekuensinya,
sejak itu produk hukum jadi makin heterogen. Selain secara signifikan ditandai
dengan penguatan lembaga legislatif memproduksi hukum legislasi, hingga hampir
mendekati karakter, di sisi lain juga memperkuat lembaga eksekutif, sebagai
konsekuensi pemilihan langsung presiden dengan segala otoritas yang
dimilikinya.
Pergeseran
kekuasaan ini menyebabkan praktik negara hukum di Indonesia mengalami
guncangan, belum menemukan titik keseimbangan hubungan kekuasaan yang baru.
Prinsip negara hukum, bahwa negara didasarkan pada hukum dan bukan pada
kekuasaan semata, tidak bisa dijalankan secara sederhana karena mendapat
tentangan heterogenitas norma hukum.
Di tengah
heterogenitas norma hukum, makna negara hukum itu sendiri tidak lagi tunggal.
Ia mengalami pergeseran. Dari kacamata hukum legislasi, negara hukum berarti
hukum yang memerintah, bukan person, otoritas, atau kepala negara. Dari sudut
hukum birokrasi pemerintahan, seperti dikatakan Max Weber, negara hukum berarti
otoritas rasional atau fakta empiris administrasi yang memerintah.
Perubahan
konsentrasi kekuasaan itu tak jarang menimbulkan ketegangan hubungan antara
lembaga legislatif dan presiden. Oleh karena itu, diperlukan penguatan lembaga
yudikatif melalui pembentukan MK dengan kekuasaan yurisprudensi khusus,
mewakili negara yurisdiksi, berperan mengatasi konflik kedua lembaga tinggi
negara.
Pergeseran
kekuasaan itu sesungguhnya memberikan sinyal positif. Hanya, masalahnya,
terletak pada bagaimana mencapai titik keseimbangan baru dalam hubungan
kekuasaan di tengah silang pengaruh kekuatan politik dan benturan kekuasaan
antarlembaga tinggi yang semakin mengemuka sejak demokratisasi.
Intervensi etik
Praktik hukum
di negara demokratis menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan antara
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ini agar penggunaan kekuasaan tidak
berlebih atau bertubrukan, dan produktif menghasilkan keputusan demi
kemaslahatan bangsa. Di balik itu, penggunaan kekuasaan harus berpijak pada
norma hukum valid disepakati bersama dan jadi rujukan dalam kehidupan
berbangsa.
Masalahnya, tak
mudah membentuk norma hukum valid disepakati bersama, atau hukum konstitusi
publik, di tengah realitas norma hukum semakin heterogen itu. Untuk itu,
intervensi etika politik penuh tanggung jawab secara terus-menerus perlu
dilakukan. Nilai-nilai etis demokrasi, seperti kedaulatan di tangan rakyat,
kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan seluruh warga perlu terus-menerus
dihidupkan dan diinvestasikan dalam setiap momen dan langkah pengambilan
kebijakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar