|
Di Ubud, Bali, ada penginapan
bernama Munari. Penginapan ini terdiri dari hanya sekitar 10 kamar, ada kolam
renang, asri karena terletak di pinggir sawah—seperti namanya yang artinya
kurang lebih bulan separuh, dan bersuasana romantik. Bersama pemiliknya, Jaya
Laksana, saya mengobrol di restoran penginapan ini sampai larut malam.
Di tengah Ubud yang kian senyap,
cerita Jaya terus membuat saya terjaga. Ia mengaku tak pernah menduga hidupnya
bisa seperti sekarang kalau mengingat pada tahun 1965 kehidupan keluarganya
benar-benar hancur. Ayahnya, Gde Puger, salah satu konglomerat Bali pada
zamannya, punya hubungan dekat dengan Bung Karno yang dituduh sebagai PKI. Ia
lenyap dalam aksi penumpasan terhadap siapa saja yang dianggap PKI kala itu,
yang di Bali terkenal dengan kebengisannya yang tiada tara.
”Kata orang, ayah dibunuh di daerah
Kapal,” ucapnya.
Dari keluarga berkecukupan,
tiba-tiba keluarga ini hidup melata tak berketentuan. Rumah mereka di kawasan
elite Denpasar, yakni di Jalan Yos Sudarso dan Jalan Diponegoro, dirampas
tentara.
Belakangan, terutama mengenai rumah
keluarga Puger itu menjadi pemberitaan sejumlah media massa di Bali. Keluarga
mendiang Puger, yakni Jaya Laksana dan kakak-kakaknya, memperkarakan rumah
mereka. Dalam proses pengadilan yang berlangsung panjang sejak tahun 2005, dari
setiap proses pengadilan sejak putusan Pengadilan Negeri Denpasar sampai
terakhir putusan Mahkamah Agung, mereka memenangi perkara. Artinya, keluarga
ini berhak atas rumah mereka yang sekarang dijadikan salah satu kantor Kodam
dan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
”Jangan salah mengerti,” kata Jaya.
”Bagi kami yang penting bukan materi, melainkan sejarah. Sekaligus ini
pelajaran politik bagi masyarakat,” tambahnya.
Memang, daripada bertutur mengenai
proses hukum atas rumah keluarga tadi, Jaya malam itu lebih banyak bercerita
mengenai kenangan menggondol pacar, perjalanan hidup keluarganya, sejumlah
usahanya, dan lain-lain. Ia juga bercerita soal karma.
Tentang hal terakhir itu, dia
mencontohkan, mendiang ibundanya, Ida Ayu Rai Parnini, ketika suatu saat ke
Jakarta pada pertengahan tahun 1970-an, tiba-tiba mendengar namanya dipanggil
orang di jalan. Suara orang yang memanggil seperti dikenalnya. Ternyata, dia
adalah pejabat militer, tetangga mereka, yang dahulu menolak memberikan
pertolongan kepada keluarga ini. Pejabat militer tersebut ketika berpapasan tak
sengaja di Jakarta dalam keadaan sakit. Keadaan fisiknya menyedihkan. Kepada
ibunda Jaya, dia meminta maaf atas apa yang pernah terjadi. Tak lama setelah
itu, mereka mendengar ia meninggal.
Atau orang lain lagi, yang dalam
kemelut zaman, menangani bisnis dan kekayaan keluarga Puger. Orang tadi
menceritakan segala hal berhubungan dengan seluk-beluk bisnis, kekayaan,
ataupun dokumen-dokumen perusahaan. Hal itu semacam pesan terakhir yang ia
sampaikan kepada keluarga Puger sebelum yang bersangkutan kemudian meninggal dunia.
Jaya mengatakan, dia dan
saudara-saudaranya telah memaafkan untuk segala hal yang pernah terjadi. Di
situ ia kembali menegaskan, proses hukum yang mereka tempuh untuk mengklaim
kembali rumah mereka juga lebih untuk kepentingan sejarah.
Apa itu sejarah? Bagi saya sendiri,
sejarah adalah teater memori. Suatu pengalaman yang sama yang dijalani dua
orang sekali pun pada kesudahannya belum tentu menghasilkan rekaman memori yang
sama di antara keduanya. Pengalaman yang Anda kenang belum tentu serupa dengan yang
diingat bekas pacar Anda.
Itulah misteri memori yang banyak
diungkap para penulis seperti Eco, Kundera, ataupun Sontag. Tentang memori,
bagi yang mencari truth atau kasunyatan, mereka akan belajar
mengakui, menerima, dan memaafkan. Sementara bagi yang menanggung dosa sejarah,
biasanya mereka memanipulasi diri dengan mengingkari, melupakan, dan
berbohong—termasuk terhadap diri sendiri.
Mungkin karena memori gampang
dimanipulasi, bahkan sanggup memanipulasi diri sendiri itulah, Yang Kuasa
menciptakan mekanisme lain bernama karma. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar