Minggu, 08 September 2013

K a r m a

K a r m a
Bre Redana ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 08 September 2013

Di Ubud, Bali, ada penginapan bernama Munari. Penginapan ini terdiri dari hanya sekitar 10 kamar, ada kolam renang, asri karena terletak di pinggir sawah—seperti namanya yang artinya kurang lebih bulan separuh, dan bersuasana romantik. Bersama pemiliknya, Jaya Laksana, saya mengobrol di restoran penginapan ini sampai larut malam.

Di tengah Ubud yang kian senyap, cerita Jaya terus membuat saya terjaga. Ia mengaku tak pernah menduga hidupnya bisa seperti sekarang kalau mengingat pada tahun 1965 kehidupan keluarganya benar-benar hancur. Ayahnya, Gde Puger, salah satu konglomerat Bali pada zamannya, punya hubungan dekat dengan Bung Karno yang dituduh sebagai PKI. Ia lenyap dalam aksi penumpasan terhadap siapa saja yang dianggap PKI kala itu, yang di Bali terkenal dengan kebengisannya yang tiada tara.
”Kata orang, ayah dibunuh di daerah Kapal,” ucapnya.

Dari keluarga berkecukupan, tiba-tiba keluarga ini hidup melata tak berketentuan. Rumah mereka di kawasan elite Denpasar, yakni di Jalan Yos Sudarso dan Jalan Diponegoro, dirampas tentara.

Belakangan, terutama mengenai rumah keluarga Puger itu menjadi pemberitaan sejumlah media massa di Bali. Keluarga mendiang Puger, yakni Jaya Laksana dan kakak-kakaknya, memperkarakan rumah mereka. Dalam proses pengadilan yang berlangsung panjang sejak tahun 2005, dari setiap proses pengadilan sejak putusan Pengadilan Negeri Denpasar sampai terakhir putusan Mahkamah Agung, mereka memenangi perkara. Artinya, keluarga ini berhak atas rumah mereka yang sekarang dijadikan salah satu kantor Kodam dan Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

”Jangan salah mengerti,” kata Jaya. ”Bagi kami yang penting bukan materi, melainkan sejarah. Sekaligus ini pelajaran politik bagi masyarakat,” tambahnya.

Memang, daripada bertutur mengenai proses hukum atas rumah keluarga tadi, Jaya malam itu lebih banyak bercerita mengenai kenangan menggondol pacar, perjalanan hidup keluarganya, sejumlah usahanya, dan lain-lain. Ia juga bercerita soal karma.

Tentang hal terakhir itu, dia mencontohkan, mendiang ibundanya, Ida Ayu Rai Parnini, ketika suatu saat ke Jakarta pada pertengahan tahun 1970-an, tiba-tiba mendengar namanya dipanggil orang di jalan. Suara orang yang memanggil seperti dikenalnya. Ternyata, dia adalah pejabat militer, tetangga mereka, yang dahulu menolak memberikan pertolongan kepada keluarga ini. Pejabat militer tersebut ketika berpapasan tak sengaja di Jakarta dalam keadaan sakit. Keadaan fisiknya menyedihkan. Kepada ibunda Jaya, dia meminta maaf atas apa yang pernah terjadi. Tak lama setelah itu, mereka mendengar ia meninggal.

Atau orang lain lagi, yang dalam kemelut zaman, menangani bisnis dan kekayaan keluarga Puger. Orang tadi menceritakan segala hal berhubungan dengan seluk-beluk bisnis, kekayaan, ataupun dokumen-dokumen perusahaan. Hal itu semacam pesan terakhir yang ia sampaikan kepada keluarga Puger sebelum yang bersangkutan kemudian meninggal dunia.

Jaya mengatakan, dia dan saudara-saudaranya telah memaafkan untuk segala hal yang pernah terjadi. Di situ ia kembali menegaskan, proses hukum yang mereka tempuh untuk mengklaim kembali rumah mereka juga lebih untuk kepentingan sejarah.

Apa itu sejarah? Bagi saya sendiri, sejarah adalah teater memori. Suatu pengalaman yang sama yang dijalani dua orang sekali pun pada kesudahannya belum tentu menghasilkan rekaman memori yang sama di antara keduanya. Pengalaman yang Anda kenang belum tentu serupa dengan yang diingat bekas pacar Anda.

Itulah misteri memori yang banyak diungkap para penulis seperti Eco, Kundera, ataupun Sontag. Tentang memori, bagi yang mencari truth atau kasunyatan, mereka akan belajar mengakui, menerima, dan memaafkan. Sementara bagi yang menanggung dosa sejarah, biasanya mereka memanipulasi diri dengan mengingkari, melupakan, dan berbohong—termasuk terhadap diri sendiri.


Mungkin karena memori gampang dimanipulasi, bahkan sanggup memanipulasi diri sendiri itulah, Yang Kuasa menciptakan mekanisme lain bernama karma. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar