|
Pendidikan merupakan hal yang
sangat penting dalam kehidupan, yang berarti bahwa setiap manusia berhak
mendapat dan berharap dapat berkembang dalam pendidikan secara nyaman.
Bagaimanapun pendidikan dapat mencetak generasi emas yang diharapkan menjadi
tombak peradaban dan obor pencerahan bagi bangsa dan negaranya. Negara yang
maju adalah negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Untuk
mewujudkannya maka setiap warga negaranya perlu diberikan pendidikan yang
memadai.
Indonesia memang sangat berharap
dapat mencetak generasi emas. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pendidikan di
Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003. Pasal 3
menyebutkan, "Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab."
Namun, UU tersebut hanyalah sebuah
rencana tertulis yang belum menjamin realisasinya. Jika kita berbicara tentang
pendidikan di Indonesia, tentunya tidak akan terlepas dari masalah apa yang
sebenarnya terjadi dalam pendidikan itu sendiri. Pada kenyataannya, banyak
sekali terjadi masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia terutama kasus
kekerasan yang selalu menghantui para pelajar dan orangtua murid, khususnya
yang terjadi di lembaga pendidikan.
Berdasarkan data dari Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tahun 2012 terdapat 3.871 kasus kekerasan
terhadap anak yang dilaporkan oleh masyarakat. Sedangkan kekerasan yang
dihimpun KPAI melalui media sebanyak 2.471 kasus, beberapa di antaranya terjadi
di lingkungan sekolah. Salah satu kasus kekerasan yang dialami anak dalam dunia
pendidikan yaitu kasus tawuran pelajar, yang masih dijumpai di beberapa sekolah
dan perguruan tinggi.
Baru-baru ini, seorang siswa
dilaporkan tewas akibat terkena lemparan batu menyusul tawuran antar-pelajar
usai melaksanakan Ujian Nasional (UN). Belum lagi, tawuran klasik antar
mahasiswa yang melibatkan dua universitas terkenal. Padahal, mahasiswa yang
secara derajat intelektual dan pengalamnnya lebih tinggi dari siswa seharusnya
lebih dapat mengendalikan emosi dan menggunakan otak daripada ototnya. Sungguh,
sangat disayangkan bila perilaku anarkis menimpa kalangan siswa dan mahasiswa.
Lembaga pendidikan seakan terjebak pada kubangan persoalan yang bersifat
anarkis.
Kekerasan yang tak kalah seriusnya
adalah pembulian atau bullying, menekan/menyerang fisik dan mental anak di
lembaga-lembaga pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, tindak
pembulian fisik sebenarnya tidak terlalu sulit kita deteksi ketika misalnya ada
seorang pelajar melakukan tindakan kekerasan dengan memukul, menendang,
menggigit, menampar, menjambak rambut, dan mencakar yang merugikan pihak yang
dibuli.
Berbeda dengan pembulian fisik.
Pembulian kata-kata tidak mudah kita identifikasikan, karena luka yang
ditimbulkannya tidak tampak pada fisik melainkan pada mental anak. Akan tetapi,
fenomena pembulian itu sendiri bisa kita amati melalui kata-kata yang
diucapkan. Kata-kata itu pada umumnya bernada menghina, mengejek, merendahkan,
dan mengancam. Bahkan bisa terjadi bukan dengan kata-kata melainkan dengan
tindakan seperti meludah, menjulurkan lidah, memandang dengan sinis,
mengucilkan teman dari lingkungan pergaulan atau mendiami teman dengan tidak
bertegur sapa.
Tindakan pembulian sebabnya bisa bermacam-macam,
biasanya banyak terjadi ketika masa orientasi sekolah. Orang yang melakukan
pembulian biasanya dilakukan dari senior ke juniornya yang ingin menampakkan
tingkat status sosialnya dalam berkuasa. Ketika akan memasuki sekolah tingkat
pertama sampai PT selalu terdapat ajang-ajang yang biasa disebut ospek. Dalam
kegiatan tersebut marak terjadi pemukulan, penghinaan, bahkan pelecehan
seksual. Pembulian guru terhadap muridnya pun sering terjadi di beberapa
sekolah. Guru yang seharusnya menjadi panutan kepada siswanya seakan dianggap
angker sehingga tak jarang siswa merasa tertekan dan enggan sekolah. Fenomena
tindakan pembulian pun sayangnya dijadikan bahan tontonan di acara televisi
Indonesia.
Sebenarnya masih banyak lagi
beraneka macam kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Namun, kekerasan
yang paling fatal dan marak terjadi adalah tawuran dan pembulian. Sangat bijak
jika kasus kekerasan yang terjadi disekolah dalam kegiatan apa pun dihentikan.
Semua pihak sudah saatnya belajar dari pengalaman bahwa apa pun bentuk
kekerasan, dan apa pun alasan serta tujuan yang dikemukakan, ketika terjadi
korban maka masalah tidak selesai begitu saja. Perlu adanya tindakan yang dapat
membuat jera para pelaku kekerasan.
Tidak penting bagi kalangan
sekolah untuk saling menyalahkan atau mencari kesalahan orang lain, meski sudah
menjadi tabiat umum bahwa manusia paling senang menyalahkan orang lain. Maka,
yang paling penting adalah bagaimana semua pihak belajar dari semua pengalaman
untuk kemudian mengambil hikmah dari semua kejadian negatif itu.
Akhirnya, bagi para orangtua,
pelajar, guru, dan pihak-pihak lain yang terkait agar dapat bercermin, dan
mengintropeksi diri serta dapat bekerja sama merealisasikan tujuan pendidikan
Indonesia untuk membentuk SDM-SDM yang mumpuni di masa depan. Mungkin bila
dilihat dari segi kuantitas, sekarang ini jauh lebih banyak orang yang bisa
mengenyam pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi, dibandingkan dahulu.
Tapi, apabila dilihat dari segi kualitas, apakah kualitas pendidikan sekarang
ini sudah lebih baik dari dahulu? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar