Minggu, 01 September 2013

Kekerasan dalam Pendidikan

Kekerasan dalam Pendidikan
Mila Wulandari ;  Aktivis Pendidikan di Universitas Pedidikan Indonesia
SUARA KARYA, 31 Agustus 2013


Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, yang berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap dapat berkembang dalam pendidikan secara nyaman. Bagaimanapun pendidikan dapat mencetak generasi emas yang diharapkan menjadi tombak peradaban dan obor pencerahan bagi bangsa dan negaranya. Negara yang maju adalah negara yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Untuk mewujudkannya maka setiap warga negaranya perlu diberikan pendidikan yang memadai.

Indonesia memang sangat berharap dapat mencetak generasi emas. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pendidikan di Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Namun, UU tersebut hanyalah sebuah rencana tertulis yang belum menjamin realisasinya. Jika kita berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tentunya tidak akan terlepas dari masalah apa yang sebenarnya terjadi dalam pendidikan itu sendiri. Pada kenyataannya, banyak sekali terjadi masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia terutama kasus kekerasan yang selalu menghantui para pelajar dan orangtua murid, khususnya yang terjadi di lembaga pendidikan.

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tahun 2012 terdapat 3.871 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan oleh masyarakat. Sedangkan kekerasan yang dihimpun KPAI melalui media sebanyak 2.471 kasus, beberapa di antaranya terjadi di lingkungan sekolah. Salah satu kasus kekerasan yang dialami anak dalam dunia pendidikan yaitu kasus tawuran pelajar, yang masih dijumpai di beberapa sekolah dan perguruan tinggi.

Baru-baru ini, seorang siswa dilaporkan tewas akibat terkena lemparan batu menyusul tawuran antar-pelajar usai melaksanakan Ujian Nasional (UN). Belum lagi, tawuran klasik antar mahasiswa yang melibatkan dua universitas terkenal. Padahal, mahasiswa yang secara derajat intelektual dan pengalamnnya lebih tinggi dari siswa seharusnya lebih dapat mengendalikan emosi dan menggunakan otak daripada ototnya. Sungguh, sangat disayangkan bila perilaku anarkis menimpa kalangan siswa dan mahasiswa. Lembaga pendidikan seakan terjebak pada kubangan persoalan yang bersifat anarkis.

Kekerasan yang tak kalah seriusnya adalah pembulian atau bullying, menekan/menyerang fisik dan mental anak di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, tindak pembulian fisik sebenarnya tidak terlalu sulit kita deteksi ketika misalnya ada seorang pelajar melakukan tindakan kekerasan dengan memukul, menendang, menggigit, menampar, menjambak rambut, dan mencakar yang merugikan pihak yang dibuli.

Berbeda dengan pembulian fisik. Pembulian kata-kata tidak mudah kita identifikasikan, karena luka yang ditimbulkannya tidak tampak pada fisik melainkan pada mental anak. Akan tetapi, fenomena pembulian itu sendiri bisa kita amati melalui kata-kata yang diucapkan. Kata-kata itu pada umumnya bernada menghina, mengejek, merendahkan, dan mengancam. Bahkan bisa terjadi bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan seperti meludah, menjulurkan lidah, memandang dengan sinis, mengucilkan teman dari lingkungan pergaulan atau mendiami teman dengan tidak bertegur sapa.

Tindakan pembulian sebabnya bisa bermacam-macam, biasanya banyak terjadi ketika masa orientasi sekolah. Orang yang melakukan pembulian biasanya dilakukan dari senior ke juniornya yang ingin menampakkan tingkat status sosialnya dalam berkuasa. Ketika akan memasuki sekolah tingkat pertama sampai PT selalu terdapat ajang-ajang yang biasa disebut ospek. Dalam kegiatan tersebut marak terjadi pemukulan, penghinaan, bahkan pelecehan seksual. Pembulian guru terhadap muridnya pun sering terjadi di beberapa sekolah. Guru yang seharusnya menjadi panutan kepada siswanya seakan dianggap angker sehingga tak jarang siswa merasa tertekan dan enggan sekolah. Fenomena tindakan pembulian pun sayangnya dijadikan bahan tontonan di acara televisi Indonesia.

Sebenarnya masih banyak lagi beraneka macam kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan. Namun, kekerasan yang paling fatal dan marak terjadi adalah tawuran dan pembulian. Sangat bijak jika kasus kekerasan yang terjadi disekolah dalam kegiatan apa pun dihentikan. Semua pihak sudah saatnya belajar dari pengalaman bahwa apa pun bentuk kekerasan, dan apa pun alasan serta tujuan yang dikemukakan, ketika terjadi korban maka masalah tidak selesai begitu saja. Perlu adanya tindakan yang dapat membuat jera para pelaku kekerasan.

Tidak penting bagi kalangan sekolah untuk saling menyalahkan atau mencari kesalahan orang lain, meski sudah menjadi tabiat umum bahwa manusia paling senang menyalahkan orang lain. Maka, yang paling penting adalah bagaimana semua pihak belajar dari semua pengalaman untuk kemudian mengambil hikmah dari semua kejadian negatif itu.

Akhirnya, bagi para orangtua, pelajar, guru, dan pihak-pihak lain yang terkait agar dapat bercermin, dan mengintropeksi diri serta dapat bekerja sama merealisasikan tujuan pendidikan Indonesia untuk membentuk SDM-SDM yang mumpuni di masa depan. Mungkin bila dilihat dari segi kuantitas, sekarang ini jauh lebih banyak orang yang bisa mengenyam pendidikan sampai jenjang yang lebih tinggi, dibandingkan dahulu. Tapi, apabila dilihat dari segi kualitas, apakah kualitas pendidikan sekarang ini sudah lebih baik dari dahulu? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar