|
Ketua Apindo Anton Supit mengklaim
44 ribu buruh sepatu di-PHK oleh sekitar 29 perusahaan akibat beban pembayaran
upah minimum yang tinggi. (kompas.com,
29/7) Menurut Ekonom Didik J Rachbini, penentuan upah buruh secara politis
seperti sekarang ngawur karena naik drastis, tidak secara bertahap dan paralel
dengan peningkatan produktivitas pekerja. (Investor
Daily, 27/11/2012) Presiden SBY yang pernah menyatakan pemerintah tidak
lagi menganut prinsip upah buruh murah (30/11/2012)
bahkan menyindir Gubernur DKI Jokowi soal UMP Jakarta sebesar Rp 2,2 juta atau
naik 44% (8/4) dengan meminta agar
persoalan upah buruh tidak untuk kepentingan politik demi menjadi populis di
mata masyarakat.
Perihal UMP yang diklaim tinggi
ini belakangan memang santer dihembuskan di media-media, terutama oleh kalangan
pengusaha dan asosiasinya. Dikabarkan, puluhan investor asing hendak tunggang-langgang
dari Indonesia lantaran tak kuat lagi menanggung beban upah. Para pengusaha
juga sudah banyak merelokasi pabrik ke daerah berupah rendah. Selain itu,
konon, ada puluhan ribu ter-PHK sebagai bentuk efisiensi produksi. Masalahnya,
apakah benar upah buruh saat ini berkategori tinggi?
Untuk menakar berlebihan atau
tidak upah buruh di Indonesia, ada beberapa metode yang bisa menggambarkan
nilai kepantasannya. Pertama, perbandingan apple to apple dengan upah minimum
negara-negara tetangga, terutama kawasan Asia. Diketahui, upah buruh Indonesia
memang bukan yang terkecil, tapi juga tak terlalu besar.
Di China, dalam tiga bulan pertama
tahun 2012 saja, upah minimum naik lebih dari 10 persen, menjadi sekitar Rp 2,1
juta di Shanghai, Rp 2,2 juta di Shenzhen, dan Rp 1,8 juta di Beijing. Upah
minimum di Thailand berkisar antara Rp 2.167.491 dan Rp 2.818.409. Buruh di
Filipina menerima upah Rp 2.990.957 (terendah) dan Rp 3.255.076 (tertinggi),
sedangkan Malaysia belum menganut upah minimum namun diperkirakan (tahun 2012)
antara Rp 2,4 juta hingga Rp 2,7 juta.
Indonesia sendiri memiliki upah
terendah sebesar Rp 830.756 dan tertinggi Rp 2.203.000. Jumlah ini masih lebih
kecil dari Malaysia, Filipina dan Thailand, tapi lebih unggul dari Vietnam
(tertinggi Rp 923.300), apalagi Kamboja (Rp 592.981). Upah buruh di negara
tertutup Myanmar konon lebih rendah lagi, hanya berkisar Rp 200 ribuan per
bulan.
Metode lainnya adalah Big Max Index yang mungkin terkesan
nyeleneh, tapi menarik. Big Max Index dikembangkan oleh majalah Inggris The Economist pada 1986 sebagai alat
untuk mengukur harga relatif di beberapa negara setelah menyesuaikan nilai
tukar nominal mata uang dari satu negara ke negara lainnya. Caranya, dengan
membandingkan harga Big Mac (produk waralaba McDonald) dengan upah minimum di
negara-negara berbeda. Big Max Index tahun ini mengungkapkan, pekerja Jakarta
harus bekerja membanting tulang selama 2 jam agar bisa membeli setangkup Big
Mac seharga Rp 27.500. Dengan upah minimum yang berlaku di Seoul saat ini, pekerja
di Korsel membutuhkan waktu bekerja 42 menit untuk bisa menikmati Big Mac di
kedai McDonald.
Di negara-negara dengan upah
minimum sangat tinggi, waktu kerja yang dibutuhkan relatif singkat. Pekerja
Australia hanya butuh bekerja 18 menit untuk bisa jajan Big Mac. Sementara itu,
pekerja New Zealand dan Prancis harus bekerja empat menit lebih lama untuk
mengunyah Big Mac. Sebaliknya, di Sierra Leone, Afrika, pekerja membutuhkan
waktu 136 jam untuk bisa menikmati roti besar yang menghimpit daging, sayuran
dan mayonais itu.
Ketiga, cara mirip-mirip dapat
digunakan untuk memperbandingkan upah dari tahun ke tahun, yang kali ini
parameternya adalah harga beras. Penelitian LSM TURC menyebutkan pada 1997 upah
minimum buruh mampu membeli 350 kilogram beras (harga beras Rp 700 per kilogram
pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli
beras 160 kilogram (harga beras Rp 5.000 per kilogram). Dengan asumsi harga
beras kualitas sedang saat ini Rp 8.500 per kilogram, UMP Rp 2,2 juta bisa
untuk membeli 259 kilogram beras. Artinya, upah riil buruh secara relatif naik
sejak lima tahun lalu, namun justru turun 26 persen dibanding tahun 1997.
Upah buruh di Indonesia yang
terkesan tinggi hanya dinikmati pekerja formal di area Jakarta dan sekitarnya.
Sementara mayoritas buruh di daerah masih menerima upah rendah (dalam kisaran
Rp 1 juta-Rp 1,5 juta). Bahkan, banyak buruh di kabupaten di Jabar, Jateng,
Jatim dan DIY diupah kurang dari Rp 1 juta per bulan.
Pun bagi buruh di Jabodetabek tak
otomatis menerima upah sesuai ketentuan. Mekanisme penangguhan upah yang tak
jelas deadline-nya membuat puluhan
ribu buruh menerima upah di bawah Rp 2 juta. Sistem kerja kontrak dan
outsourcing juga kerap menghalangi buruh menerima upah resminya, kalau tak
ingin diputus kontrak secara sepihak. Pekerja outsourcing bahkan harus rela menyetorkan sebagian penghasilannya
ke agen outsourcing.
Selain itu,
upah minimum yang ditetapkan gubernur hanya menjangkau para pekerja formal. Di
luar itu, buruh dibayar sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja (majikan), yang
seringkali nilainya jauh di bawah UMP yang berlaku. Beberapa waktu lalu kita
dikejutkan kabar perbudakan buruh panci di Tangerang yang disekap dan
dijanjikan dibayar Rp 600 ribu per bulan. Meski tanpa drama perbudakan, upah
ratusan ribu rupiah ini masih (terpaksa) diterima jutaan buruh-buruh informal
(termasuk di Jabodetabek) seperti pekerja UKM, pembantu rumah tangga, penjaga
toko, buruh-tani, pelayan warteg, buruh cuci, dan pekerja-pekerja marjinal
lainya.
Jika
ditotal, jumlah buruh yang dibayar rendah ini jauh lebih banyak daripada buruh
Jabodetabek yang dibayar sesuai ketentuan. Jadi, masih ngotot buruh Indonesia
dibayar terlalu besar? Masih tega bilang buruh tidak pantas menerima upah
tinggi, jika pada kenyataannya tidak demikian? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar