Minggu, 01 September 2013

Menakar Upah Buruh

Menakar Upah Buruh
Nining Elitos ;  Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
SUARA KARYA, 31 Agustus 2013


Ketua Apindo Anton Supit mengklaim 44 ribu buruh sepatu di-PHK oleh sekitar 29 perusahaan akibat beban pembayaran upah minimum yang tinggi. (kompas.com, 29/7) Menurut Ekonom Didik J Rachbini, penentuan upah buruh secara politis seperti sekarang ngawur karena naik drastis, tidak secara bertahap dan paralel dengan peningkatan produktivitas pekerja. (Investor Daily, 27/11/2012) Presiden SBY yang pernah menyatakan pemerintah tidak lagi menganut prinsip upah buruh murah (30/11/2012) bahkan menyindir Gubernur DKI Jokowi soal UMP Jakarta sebesar Rp 2,2 juta atau naik 44% (8/4) dengan meminta agar persoalan upah buruh tidak untuk kepentingan politik demi menjadi populis di mata masyarakat.

Perihal UMP yang diklaim tinggi ini belakangan memang santer dihembuskan di media-media, terutama oleh kalangan pengusaha dan asosiasinya. Dikabarkan, puluhan investor asing hendak tunggang-langgang dari Indonesia lantaran tak kuat lagi menanggung beban upah. Para pengusaha juga sudah banyak merelokasi pabrik ke daerah berupah rendah. Selain itu, konon, ada puluhan ribu ter-PHK sebagai bentuk efisiensi produksi. Masalahnya, apakah benar upah buruh saat ini berkategori tinggi?
Untuk menakar berlebihan atau tidak upah buruh di Indonesia, ada beberapa metode yang bisa menggambarkan nilai kepantasannya. Pertama, perbandingan apple to apple dengan upah minimum negara-negara tetangga, terutama kawasan Asia. Diketahui, upah buruh Indonesia memang bukan yang terkecil, tapi juga tak terlalu besar.

Di China, dalam tiga bulan pertama tahun 2012 saja, upah minimum naik lebih dari 10 persen, menjadi sekitar Rp 2,1 juta di Shanghai, Rp 2,2 juta di Shenzhen, dan Rp 1,8 juta di Beijing. Upah minimum di Thailand berkisar antara Rp 2.167.491 dan Rp 2.818.409. Buruh di Filipina menerima upah Rp 2.990.957 (terendah) dan Rp 3.255.076 (tertinggi), sedangkan Malaysia belum menganut upah minimum namun diperkirakan (tahun 2012) antara Rp 2,4 juta hingga Rp 2,7 juta.

Indonesia sendiri memiliki upah terendah sebesar Rp 830.756 dan tertinggi Rp 2.203.000. Jumlah ini masih lebih kecil dari Malaysia, Filipina dan Thailand, tapi lebih unggul dari Vietnam (tertinggi Rp 923.300), apalagi Kamboja (Rp 592.981). Upah buruh di negara tertutup Myanmar konon lebih rendah lagi, hanya berkisar Rp 200 ribuan per bulan.

Metode lainnya adalah Big Max Index yang mungkin terkesan nyeleneh, tapi menarik. Big Max Index dikembangkan oleh majalah Inggris The Economist pada 1986 sebagai alat untuk mengukur harga relatif di beberapa negara setelah menyesuaikan nilai tukar nominal mata uang dari satu negara ke negara lainnya. Caranya, dengan membandingkan harga Big Mac (produk waralaba McDonald) dengan upah minimum di negara-negara berbeda. Big Max Index tahun ini mengungkapkan, pekerja Jakarta harus bekerja membanting tulang selama 2 jam agar bisa membeli setangkup Big Mac seharga Rp 27.500. Dengan upah minimum yang berlaku di Seoul saat ini, pekerja di Korsel membutuhkan waktu bekerja 42 menit untuk bisa menikmati Big Mac di kedai McDonald.

Di negara-negara dengan upah minimum sangat tinggi, waktu kerja yang dibutuhkan relatif singkat. Pekerja Australia hanya butuh bekerja 18 menit untuk bisa jajan Big Mac. Sementara itu, pekerja New Zealand dan Prancis harus bekerja empat menit lebih lama untuk mengunyah Big Mac. Sebaliknya, di Sierra Leone, Afrika, pekerja membutuhkan waktu 136 jam untuk bisa menikmati roti besar yang menghimpit daging, sayuran dan mayonais itu.

Ketiga, cara mirip-mirip dapat digunakan untuk memperbandingkan upah dari tahun ke tahun, yang kali ini parameternya adalah harga beras. Penelitian LSM TURC menyebutkan pada 1997 upah minimum buruh mampu membeli 350 kilogram beras (harga beras Rp 700 per kilogram pada tahun itu), sedangkan upah minimum buruh 2008 hanya mampu untuk membeli beras 160 kilogram (harga beras Rp 5.000 per kilogram). Dengan asumsi harga beras kualitas sedang saat ini Rp 8.500 per kilogram, UMP Rp 2,2 juta bisa untuk membeli 259 kilogram beras. Artinya, upah riil buruh secara relatif naik sejak lima tahun lalu, namun justru turun 26 persen dibanding tahun 1997.
Upah buruh di Indonesia yang terkesan tinggi hanya dinikmati pekerja formal di area Jakarta dan sekitarnya. Sementara mayoritas buruh di daerah masih menerima upah rendah (dalam kisaran Rp 1 juta-Rp 1,5 juta). Bahkan, banyak buruh di kabupaten di Jabar, Jateng, Jatim dan DIY diupah kurang dari Rp 1 juta per bulan.

Pun bagi buruh di Jabodetabek tak otomatis menerima upah sesuai ketentuan. Mekanisme penangguhan upah yang tak jelas deadline-nya membuat puluhan ribu buruh menerima upah di bawah Rp 2 juta. Sistem kerja kontrak dan outsourcing juga kerap menghalangi buruh menerima upah resminya, kalau tak ingin diputus kontrak secara sepihak. Pekerja outsourcing bahkan harus rela menyetorkan sebagian penghasilannya ke agen outsourcing.

Selain itu, upah minimum yang ditetapkan gubernur hanya menjangkau para pekerja formal. Di luar itu, buruh dibayar sesuai kesepakatan dengan pemberi kerja (majikan), yang seringkali nilainya jauh di bawah UMP yang berlaku. Beberapa waktu lalu kita dikejutkan kabar perbudakan buruh panci di Tangerang yang disekap dan dijanjikan dibayar Rp 600 ribu per bulan. Meski tanpa drama perbudakan, upah ratusan ribu rupiah ini masih (terpaksa) diterima jutaan buruh-buruh informal (termasuk di Jabodetabek) seperti pekerja UKM, pembantu rumah tangga, penjaga toko, buruh-tani, pelayan warteg, buruh cuci, dan pekerja-pekerja marjinal lainya.

Jika ditotal, jumlah buruh yang dibayar rendah ini jauh lebih banyak daripada buruh Jabodetabek yang dibayar sesuai ketentuan. Jadi, masih ngotot buruh Indonesia dibayar terlalu besar? Masih tega bilang buruh tidak pantas menerima upah tinggi, jika pada kenyataannya tidak demikian? ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar