Rabu, 18 September 2013

Saat Rasa Aman Mengancam

Saat Rasa Aman Mengancam
Marwan Mas  ;    Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45 Makassar
MEDIA INDONESIA, 18 September 2013


LAGI-LAGI anggota ke polisian, personel Provos Polisi Air Mabes Polri, Bripka Sukardi, ditembak orang tidak dikenal sampai meninggal dunia pada Selasa malam (10/9/2013) di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Begitu pula Briptu Ruslan, anggota Sabhara Mabes Polri, juga ditembak pada bagian kakinya di Cimanggis, Depok, pada Jumat (13/9/2013), bahkan sepeda motornya dirampas pelaku. Dalam tiga bulan terakhir, sudah 6 anggota Polri yang jadi korban penembakan misterius, 4 meninggal, dan 2 luka berat.

Pada 27 Juli 2013, Aipda Fatah Saktiyono anggota Satlantas Polres Jakarta Pusat ditembak di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Pada 7 Agustus 2013, anggota Polsek Cilandak Aiptu Dwiyatno meregang nyawa ditembus peluru panas, juga di kawasan Ciputat. Teror berlanjut pada 16 Agustus 2013, dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan, yakni Aiptu Koeshendratna dan Bripka Ahmad Maulana menghembuskan napas terakhir.

Tentu saja kita prihatin dan menyayangkan anggota Polri mati sia-sia, sementara pelaku belum ditangkap dan motifnya belum terungkap. Sebetulnya Polri sudah mulai menguak misteri penembakan itu dengan merilis sketsa foto dua pelaku yang diduga komplotan teroris. Jika pelaku dan motifnya begitu lama terungkap, teror ini bukan hanya meresahkan polisi, rasa aman masyarakat juga ikut terancam.

Dampak psikologis

Maraknya aksi teror kepada polisi diyakini akan memberikan dampak psikologis bagi anggota polisi. Penembakan yang terus berlangsung, tetapi tidak diungkap pelaku dan motifnya akan menimbulkan kegamangan anggota polisi yang bertugas di lapangan. Selaku penikmat keamanan, publik tidak cukup hanya menyampaikan keprihatinan. Yang juga penting adalah membantu polisi dengan memberikan informasi jika melihat sketsa foto yang diduga pelaku, atau menemukan orang yang mencurigakan.

Namun kita juga menuntut agar ada keseriusan pemerintah dan kepolisian untuk melakukan pencegahan karena akan berdampak pada ketenangan rakyat. Keraguan itu bukan tanpa alasan, sudah lebih dari tiga bulan sejak penembakan pertama pada Juli 2017, tetapi sampai saat ini belum ada titik terang siapa yang berada di balik teror itu. Persoalan keamanan akan semakin rumit, sebab bisa menimbulkan berbagai spekulasi yang akan menyudutkan institusi kepolisian.

Mabes Polri pernah mengumumkan bahwa penembakan terhadap anggota Polri terkait dengan terorisme. Mereka melampiaskan sakit hatinya atas tindakan Densus 88 Antiteror yang dianggap tidak manusiawi dengan menembak mati hampir semua teroris yang digerebek. Namun, pembalasan itu justru bukan terhadap personel Densus 88, melainkan anggota polisi biasa yang berpakaian dinas, baik saat sedang melaksanakan tugas maupun yang sementara pulang dari kantor.

Karena itu, polisi tidak boleh hanya terpaku pada dugaan keterlibatan teroris, sebab tidak tertutup kemungkinan pelaku penembakan bukan termasuk kategori teroris. Semua kemungkinan harus diantisipasi untuk memastikan siapa otak dan pelakunya. Kredibilitas dan kewibawaan polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) sekaligus penegak hukum akan tercederai, jika pada akhirnya tidak mengungkap motif dan pelakunya. Hanya profesionalisme yang tinggi yang bisa menjawab tantangan keamanan yang semakin rumit dan kompleks. Jejak pelaku harus ditelusuri. Dan ini menjadi bagian penting dari tugas intelijen yang tampaknya ‘mati angin’ lantaran tidak bisa melakukan antisipasi dan deteksi dini.

Jangan sampai kelambanan mengungkap penembakan misterius ini membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan, yang kemudian melakukan aksi sendiri untuk menolong diri sendiri (self help) dari ancaman kejahatan.

Jika teror memang direncanakan seperti ditegaskan Wakapolri Komjen Oegroseno (Media Indonesia, 11/9/2013), tentu kita bertanya, kenapa intelijen tidak bisa mengendusnya lebih dini? Jangan sampai pula masyarakat menaruh curiga bahwa ada kepentingan jangka pendek para elite politik di balik seluruh teror itu. Kecurigaan ini hanya mungkin dihilangkan jika intelijen mampu menemukan informasi yang valid tentang siapa di balik semua ini.

Anomali

Polisi perlu introspeksi diri sebab ada fenomena menarik dari peristiwa ini. Misalnya, mengapa sampai saat ini tidak ada respons yang kuat dari warga masyarakat berupa gerakan luas untuk membela polisi. Terjadi anomali yang boleh jadi disebabkan pola kerja polisi di tengah masyarakat. Kurangnya dukungan seperti saat KPK diserang balik oleh koruptor, boleh jadi sebagai wujud pelampiasan kekecewaan. 

Namun, polisi tidak perlu kecewa, sebab keberhasilan membongkar terorisme, narkoba, dan berbagai bentuk kejahatan merupakan kerja positif yang mendapat tempat di hati publik. Polri tidak boleh menafikan hasil kerjanya yang belum sesuai dengan harapan masyarakat.

Keberanian menyerang polisi tidak datang begitu saja, boleh jadi sudah terakumulasi cukup lama dan bukan hanya satu kelompok yang marah. Kewenangan Polri yang luar biasa dalam melaksanakan tugas membuat personel yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat acap kali melakukan tindakan abuse of power. Hal ini akan berimplikasi pada dinamika masyarakat yang sudah melek hukum.

Jika polisi tetap mengandalkan kekerasan yang cenderung tidak manusiawi dalam setiap operasinya dikhawatirkan akan semakin banyak kelompok yang sakit hati. Maka itu, polisi harus lebih serius menata diri dan lebih serius membangun kemitraan dengan masyarakat (partnership building). Apalagi musuh yang dihadapi tidak kelihatan, sedangkan polisi tersebar luas di ruang publik yang tentu saja butuh partisipasi aktif masyarakat agar tugas polisi bisa berjalan dengan baik.

Sepatutnya warga masyarakat membantu polisi dalam mengungkap pelaku penembakan, sebab polisi yang berada dalam tekanan teror setidaknya berpengaruh pada rasa aman masyarakat lantaran polisi disibukkan mengamankan diri sendiri. Harga sebuah keamanan memang mahal, dan kontribusi masyarakat selaku penikmat keamanan menjadi penting.

Polisi harus membangun kepercayaan publik bahwa pelaku dan motif penembakan akan diungkap. Peristiwa ini menjadi cermin untuk berkaca, apakah ada yang keliru dalam pelayanan dan penegakan hukum. Jangan sampai perilaku menyimpang oknum polisi yang sudah tertanam dalam benak publik justru semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Kita tidak menutup mata kalau banyak polisi yang juga tidak becus dalam memberi pelayanan kepada masyarakat.


Kasus dugaan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi menjadi salah satu contoh kasus yang akan menjatuhkan citra jika penanganannya tidak tuntas. Tidak ada kata terlambat untuk berubah dan memperbaiki diri. Ancaman dalam bentuk apa pun harus dihadapi bersama, sebab bagaimanapun masyarakat selalu butuh rasa aman yang sesungguhnya menjadi salah satu tugas utama Polri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar