|
LAGI-LAGI
anggota ke polisian, personel Provos Polisi Air Mabes Polri, Bripka Sukardi,
ditembak orang tidak dikenal sampai meninggal dunia pada Selasa malam (10/9/2013)
di depan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi. Begitu pula Briptu Ruslan,
anggota Sabhara Mabes Polri, juga ditembak pada bagian kakinya di Cimanggis,
Depok, pada Jumat (13/9/2013), bahkan sepeda motornya dirampas pelaku. Dalam
tiga bulan terakhir, sudah 6 anggota Polri yang jadi korban penembakan
misterius, 4 meninggal, dan 2 luka berat.
Pada 27 Juli 2013, Aipda Fatah
Saktiyono anggota Satlantas Polres Jakarta Pusat ditembak di Ciputat, Tangerang
Selatan, Banten. Pada 7 Agustus 2013, anggota Polsek Cilandak Aiptu Dwiyatno
meregang nyawa ditembus peluru panas, juga di kawasan Ciputat. Teror berlanjut
pada 16 Agustus 2013, dua anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan, yakni
Aiptu Koeshendratna dan Bripka Ahmad Maulana menghembuskan napas terakhir.
Tentu saja kita prihatin dan
menyayangkan anggota Polri mati sia-sia, sementara pelaku belum ditangkap dan
motifnya belum terungkap. Sebetulnya Polri sudah mulai menguak misteri
penembakan itu dengan merilis sketsa foto dua pelaku yang diduga komplotan
teroris. Jika pelaku dan motifnya begitu lama terungkap, teror ini bukan hanya
meresahkan polisi, rasa aman masyarakat juga ikut terancam.
Dampak psikologis
Maraknya aksi teror kepada polisi
diyakini akan memberikan dampak psikologis bagi anggota polisi. Penembakan yang
terus berlangsung, tetapi tidak diungkap pelaku dan motifnya akan menimbulkan
kegamangan anggota polisi yang bertugas di lapangan. Selaku penikmat keamanan,
publik tidak cukup hanya menyampaikan keprihatinan. Yang juga penting adalah
membantu polisi dengan memberikan informasi jika melihat sketsa foto yang
diduga pelaku, atau menemukan orang yang mencurigakan.
Namun kita juga menuntut agar ada
keseriusan pemerintah dan kepolisian untuk melakukan pencegahan karena akan
berdampak pada ketenangan rakyat. Keraguan itu bukan tanpa alasan, sudah lebih
dari tiga bulan sejak penembakan pertama pada Juli 2017, tetapi sampai saat ini
belum ada titik terang siapa yang berada di balik teror itu. Persoalan keamanan
akan semakin rumit, sebab bisa menimbulkan berbagai spekulasi yang akan
menyudutkan institusi kepolisian.
Mabes Polri pernah mengumumkan
bahwa penembakan terhadap anggota Polri terkait dengan terorisme. Mereka
melampiaskan sakit hatinya atas tindakan Densus 88 Antiteror yang dianggap
tidak manusiawi dengan menembak mati hampir semua teroris yang digerebek.
Namun, pembalasan itu justru bukan terhadap personel Densus 88, melainkan
anggota polisi biasa yang berpakaian dinas, baik saat sedang melaksanakan tugas
maupun yang sementara pulang dari kantor.
Karena itu, polisi tidak boleh
hanya terpaku pada dugaan keterlibatan teroris, sebab tidak tertutup
kemungkinan pelaku penembakan bukan termasuk kategori teroris. Semua
kemungkinan harus diantisipasi untuk memastikan siapa otak dan pelakunya. Kredibilitas
dan kewibawaan polisi sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
(kamtibmas) sekaligus penegak hukum akan tercederai, jika pada akhirnya tidak
mengungkap motif dan pelakunya. Hanya profesionalisme yang tinggi yang bisa
menjawab tantangan keamanan yang semakin rumit dan kompleks. Jejak pelaku harus
ditelusuri. Dan ini menjadi bagian penting dari tugas intelijen yang tampaknya
‘mati angin’ lantaran tidak bisa melakukan antisipasi dan deteksi dini.
Jangan sampai kelambanan mengungkap
penembakan misterius ini membuat rakyat semakin kehilangan kepercayaan, yang
kemudian melakukan aksi sendiri untuk menolong diri sendiri (self help) dari ancaman kejahatan.
Jika teror memang direncanakan
seperti ditegaskan Wakapolri Komjen Oegroseno (Media Indonesia, 11/9/2013), tentu kita bertanya, kenapa intelijen
tidak bisa mengendusnya lebih dini? Jangan sampai pula masyarakat menaruh
curiga bahwa ada kepentingan jangka pendek para elite politik di balik seluruh
teror itu. Kecurigaan ini hanya mungkin dihilangkan jika intelijen mampu
menemukan informasi yang valid tentang siapa di balik semua ini.
Anomali
Polisi perlu introspeksi diri
sebab ada fenomena menarik dari peristiwa ini. Misalnya, mengapa sampai saat
ini tidak ada respons yang kuat dari warga masyarakat berupa gerakan luas untuk
membela polisi. Terjadi anomali yang boleh jadi disebabkan pola kerja polisi di
tengah masyarakat. Kurangnya dukungan seperti saat KPK diserang balik oleh
koruptor, boleh jadi sebagai wujud pelampiasan kekecewaan.
Namun, polisi tidak
perlu kecewa, sebab keberhasilan membongkar terorisme, narkoba, dan berbagai
bentuk kejahatan merupakan kerja positif yang mendapat tempat di hati publik.
Polri tidak boleh menafikan hasil kerjanya yang belum sesuai dengan harapan
masyarakat.
Keberanian menyerang polisi tidak
datang begitu saja, boleh jadi sudah terakumulasi cukup lama dan bukan hanya
satu kelompok yang marah. Kewenangan Polri yang luar biasa dalam melaksanakan
tugas membuat personel yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat acap
kali melakukan tindakan abuse of power.
Hal ini akan berimplikasi pada dinamika masyarakat yang sudah melek hukum.
Jika polisi tetap mengandalkan
kekerasan yang cenderung tidak manusiawi dalam setiap operasinya dikhawatirkan
akan semakin banyak kelompok yang sakit hati. Maka itu, polisi harus lebih
serius menata diri dan lebih serius membangun kemitraan dengan masyarakat (partnership building). Apalagi musuh
yang dihadapi tidak kelihatan, sedangkan polisi tersebar luas di ruang publik
yang tentu saja butuh partisipasi aktif masyarakat agar tugas polisi bisa
berjalan dengan baik.
Sepatutnya warga masyarakat
membantu polisi dalam mengungkap pelaku penembakan, sebab polisi yang berada
dalam tekanan teror setidaknya berpengaruh pada rasa aman masyarakat lantaran
polisi disibukkan mengamankan diri sendiri. Harga sebuah keamanan memang mahal,
dan kontribusi masyarakat selaku penikmat keamanan menjadi penting.
Polisi harus membangun kepercayaan
publik bahwa pelaku dan motif penembakan akan diungkap. Peristiwa ini menjadi
cermin untuk berkaca, apakah ada yang keliru dalam pelayanan dan penegakan
hukum. Jangan sampai perilaku menyimpang oknum polisi yang sudah tertanam dalam
benak publik justru semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Kita
tidak menutup mata kalau banyak polisi yang juga tidak becus dalam memberi
pelayanan kepada masyarakat.
Kasus dugaan korupsi sejumlah
perwira tinggi polisi menjadi salah satu contoh kasus yang akan menjatuhkan
citra jika penanganannya tidak tuntas. Tidak ada kata terlambat untuk berubah
dan memperbaiki diri. Ancaman dalam bentuk apa pun harus dihadapi bersama,
sebab bagaimanapun masyarakat selalu butuh rasa aman yang sesungguhnya menjadi
salah satu tugas utama Polri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar