Jumat, 06 September 2013

Kecantikan dalam Perangkap Kuasa

Kecantikan dalam Perangkap Kuasa
Ainna Amalia ;  Dosen Psikologi Gender IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Peneliti di LP3M STAI Miftahul Ula Kertosono
JAWA POS, 06 September 2013


SETELAH perempuan menjadi lebih terdidik, mandiri, serta memiliki kekuatan ekonomi, kekuatan patriarki menguasai perempuan melalui senjata pemungkasnya yang sangat ampuh, yaitu "mitos kecantikan". Naomi Wolf menandaskan itu lewat uraian memikat dalam bukunya The Beauty Myth: How Images of Beauty Are Used Against Women (1991).

Banyak perempuan berlomba-lomba menjadi cantik sesuai cita rasa pasar yang dibentuk melalui iklan produk kecantikan. Mitos tentang kecantikan perempuan juga dirayakan dalam panggung-panggung kontes kecantikan, seperti Miss World di Bali. 

Menurut kaum feminis radikal, tekanan-tekanan sosial kepada perempuan agar terlihat cantik merupakan gambaran kekerasan masyarakat patriarkis atas perempuan. Perempuan hanya dipandang sebagai barang bergerak (chattel) dan harta milik pajangan, dan dieksploitasi dalam bungkus "kecantikannya".

Pada awalnya, konsep kecantikan merupakan ukuran yang dibuat oleh kuasa laki-laki, sehingga banyak perempuan menyesuaikan diri. Kemudian, konsep kecantikan itu mulai bergeser sesuai dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda di dunia.

Naomi Wolf mengatakan, kecantikan itu sesungguhnya bukan hal yang universal (seperti kesan dalam nama Miss World atau Miss Universe). Ukuran cantik itu bisa diubah-ubah sesuai selera, partikular, dan relatif. 

Pada zaman kekaisaran Romawi, perempuan cantik adalah yang memiliki tubuh gemuk dan subur. Julius Caesar pun tergila-gila pada Cleopatra, yang menurut sejarah bertubuh subur. 

Di Eropa pada abad pertengahan, kecantikan perempuan diukur dari tingkat fertilitas dan kemampuan reproduksinya. Perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang mempunyai perut dan panggul yang besar serta dada yang montok, yakni bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi. 

Sementara itu, awal abad ke-20 kecantikan perempuan identik dengan pantat dan paha yang besar. Di Afrika dan India, perempuan dianggap cantik jika bertubuh montok, terutama setelah menikah karena menjadi lambang kemakmuran hidupnya. 

Namun, pada 1965, Twiggy, model Inggris mengentak dunia dengan tubuhnya yang kurus kerempeng dan ringkih. Dia kemudian digandrungi. Menurut feminis Naomi Wolf, citra cantik ala Twiggy merupakan upaya dekonstruksi atas kecantikan dengan tubuh montok dan sintal sebelumnya. Model Twiggy yang kerempeng menjadi representasi gerakan pembebasan perempuan dari mitos kecantikan yang sebelumnya dikaitkan dengan fungsi reproduktif. 

Namun, sepanjang peradaban manusia, tampaknya, perempuan telah terperangkap dalam berbagai citra dan mitos tentang makna kecantikan. 

Di Barat, semenjak revolusi industri, mitos kecantikan dikonstruk secara besar-besaran oleh kaum industri kapitalis, seperti cantik adalah tubuh yang langsing, kulit bersih, dan kencang. Hal ini mendorong perempuan membelanjakan uangnya, demi memenuhi kriteria cantik sesuai mitos yang telah diciptakan. 

Hegemoni wacana kecantikan dalam pertarungan sosial ini diterima dengan sukarela oleh perempuan. Akhirnya, tanpa sadar perempuan telah terperangkap dalam kesadaran palsu akan wacana kecantikan atas dirinya. Sebagaimana pendapat Gramsci, salah satu kekuatan hegemoni adalah menciptakan wacana dominan tertentu melalui penciptaan kesadaran palsu. 

Persepsi masyarakat yang mendasarkan kecantikan pada aspek lahiriah semata harus segera didekonstruksi, karena bisa diskriminatif dan rasis. Perbedaan warna kulit, bentuk hidung, rambut, dan unsur-unsur lahiriah lainnya adalah sesuatu yang terbentuk secara alamiah. 

Perempuan dengan kecantikan yang sesungguhnya adalah mereka yang bisa memberikan energi positif bagi lingkungan sekitar. Dengan demikian, kriteria perempuan yang cantik bukan lagi fisik, melainkan perempuan yang memiliki kemampuan dan prestasi tinggi, yang dapat memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri dan orang lain. 

Kemudian, inner beauty itu dengan sendirinya terpancar dari perempuan yang dalam tingkah laku sehari-hari mampu memberikan dampak positif bagi orang-orang di sekelilingnya. 

Dalam konteks kenegaraan kita, perempuan yang cantik adalah mereka yang tampil di garda depan dalam penyelesaian problem bangsa kita yang akut. Misalnya, kemiskinan, rendahnya pendidikan masyarakat, penciptaan lapangan kerja, dan penanggulangan korupsi. 

Jadi, perempuan-perempuan cantik ini tak butuh panggung selebrasi ajang kontes kecantikan, sebagaimana miss world maupun aneka kegiatan ratu-ratuan. Sebab, panggung perempuan cantik yang sesungguhnya adalah sepanjang kehidupannya yang senantiasa dicurahkan untuk kemanfaatan sesama. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar