Jumat, 06 September 2013

Gejala Masa Transisi

Gejala Masa Transisi
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 06 September 2013


MASA transisi tidak selalu mulus. Begitu juga sekarang, ketika kita dalam transisi ke pemerintahan baru tahun depan. Dalam keresahan menghadapi situasi ekonomi sekarang, misalnya, kita mempertanyakan siapa yang paling bertanggung jawab? Wajar bahwa pemerintah menjadi sasaran. Peran pemerintah di bidang ekonomi memang selalu kontroversial. Bagi orang kebanyakan, diskusi seputar itu banyak yang bersifat abstrak dan doktriner.

Namun, seperti kata ahli ekonomi internasional, Profesor Eugene Staley (1907-1989) dari Lembaga Riset Stanford, banyak berpengalaman di negara-negara berkembang dan membuahkan banyak buku tentang itu, “Berbagai pengalaman dan bentuk hubungan pemerintah dan serta ekonomi suatu negara memberi pembelajaran tentang persoalan-persoalan konkret dan segenap akibatnya. Ini kiranya bisa melunakkan sikap-sikap doktriner.”

Pendapat tersebut bisa menjadi pertimbangan ketika, menjelang Pemilu 2014, beredar gagasan untuk menjadikan kemelut ekonomi sekarang sebagai topik kampanye. Misalnya, soal ekonomi kerakyatan versus sistem yang lebih mengikuti pasar bebas mungkin menjadi salah satu topik kampanye yang populer. Bagaimana konstituen menghadapinya?

Profesor Staley menjelaskan, terjadi pembauran antara berbagai sistem ekonomi yang dulu saling berjauhan. Apa yang disebut sistem kapitalis sudah lama bergerak ke sistem sosialis, tecermin pada kecenderungan bahwa biaya pendidikan untuk rakyat ditanggung atau ditunjang oleh negara, pajak yang berlaku bisa sangat progresif, ada jaminan sosial untuk perawatan kesehatan. Dan ada penetapan target pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya sistem yang sosialistis agaknya menyadari pula bahwa terdapat banyak sisi positif dalam desentralisasi manajemen ekonomi, dalam penggabungan kepemimpinan kolektif dan perorangan, dalam penggunaan insentif laba secara terbatas.

Kenyataan lain, korupsi tidak berjalan sendiri. Pasar bebas dan pesatnya kemajuan di berbagai bidang mengguncang masyarakat dan memicu korupsi bagi masyarakat yang belum siap menghadapi laju globalisasi. Ini antara lain menjelaskan mengapa NKRI menjadi salah satu yang terkorup di dunia. Maka intinya, bukan zamannya lagi memilih topik ekonomi sebagai tema kampanye, dengan memojokkan yang satu demi memenangkan yang lain.

Perekonomian di hampir semua negara menggunakan sistem campuran, hanya kadar unsur-unsurnya yang berbeda. Fakta yang ada, situasinya sudah seperti spektrum, suatu pelangi-pelangi yang bisa mengilhamkan istilah-istilah yang tidak terlalu doktriner atau abstrak hingga sulit dipahami kebanyakan konstituen. Semakin sederhana penyajian topik, semakin gampang dicerna.

Korupsi telah membudaya

Gagasan bahwa korupsi mulai membudaya pernah ditolak keras oleh Pak Domo (1926-2012), Pangkopkamtib di zaman Orde Baru (19781983). Korupsi mulai bersemi dan tumbuh subur di Indonesia setelah 1970, dengan membanjirnya petrodolar. Empat dasawarsa kemudian, akar-akar korupsi telah menyebar luas. Pendapat bahwa korupsi telah membudaya tidak sepenuhnya keliru. Fenomena itu menimpa berbagai kalangan, termasuk penegak hukum.

Maka ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono mencanangkan pemberantasan mafia hukum dan partainya mengampanyekan antikorupsi, ada komentar bahwa Presiden telah membuka kotak Pandora. Ternyata benar. Tradisi korupsi di semua tingkat di banyak tempat mulai terbongkar, termasuk di berbagai lembaga pemerintah. Apakah heboh masalah korupsi dan penanganannya akan menjadi topik kampanye yang terus bergulir sampai terbentuk pemerintahan baru?

Sebenarnya gejala ini bisa dipakai rujukan agar para konstituen berhati-hati memilih para pemimpin masa depan. Misalnya, jangan sampai anggota-anggota DPR yang sudah terbukti menjalankan korupsi diusung kembali oleh partai masing-masing untuk menjalankan tugas legislatif. Jangan pula yang mengikuti kebiasaan negatif ini dipilih menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Dalam kaitan ini, peran partai-partai politik perlu dicermati mengingat merekalah pilar-pilar demokrasi. Bukan hanya dicermati dari sumber dananya, melainkan juga siapa-siapa pemimpinnya, visi-misinya, dan pendidikan politik yang diberikan, baik kepada kader-kadernya maupun kepada para konstituen.

Konvensi partai politik

Kericuhan yang terjadi pada banyak pilkada menunjukkan, mungkin masyarakat konstituen Indonesia belum siap membuat pilihan sendiri; karena pendidikan formal yang terbatas maupun karena pendidikan politik yang tidak memadai. Selain itu, belum semua partai politik siap atau sanggup mengajukan calon terbaiknya. Karena itu, untuk pemilu mendatang, secara bijaksana dan pragmatis ada yang menyatakan menunggu sampai selesainya pemilu legislatif sebelum memberi keputusan akan mengajukan jagonya atau tidak; atau siapa jagonya.

Dalam kaitan itu, konvensi partai politik untuk menjaring capres memiliki sisi positif. Idealnya, konvensi seperti ini diselenggarakan koalisi di antara beberapa atau semua partai politik. Koalisi partai-partai politik demi terjaringnya capres idaman jauh menghemat dana kampanye, selain memberi kemudahan kepada para konstituen. Mereka tidak harus memilih di antara sekian banyak capres karena penyaringan pertama dilakukan partai-partai politik.


Apakah itu menyalahi aturan atau sistem demokrasi? Apakah itu berarti kalangan elite yang lebih menentukan? Semua memerlukan perenungan dan pembahasan intensif. Namun, kita juga tidak bisa lari dari fakta bahwa mayoritas masyarakat konstituen umumnya memang belum sanggup membuat pilihan tepat. Pemilu 2014 menjadi cermin tingkat kedewasaan masyarakat kita dalam berpolitik. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar