|
MASA transisi tidak selalu mulus. Begitu juga sekarang,
ketika kita dalam transisi ke pemerintahan baru tahun depan. Dalam keresahan
menghadapi situasi ekonomi sekarang, misalnya, kita mempertanyakan siapa yang
paling bertanggung jawab? Wajar bahwa pemerintah menjadi sasaran. Peran
pemerintah di bidang ekonomi memang selalu kontroversial. Bagi orang
kebanyakan, diskusi seputar itu banyak yang bersifat abstrak dan doktriner.
Namun,
seperti kata ahli ekonomi internasional, Profesor Eugene Staley (1907-1989)
dari Lembaga Riset Stanford, banyak berpengalaman di negara-negara berkembang
dan membuahkan banyak buku tentang itu, “Berbagai
pengalaman dan bentuk hubungan pemerintah dan serta ekonomi suatu negara
memberi pembelajaran tentang persoalan-persoalan konkret dan segenap akibatnya.
Ini kiranya bisa melunakkan sikap-sikap doktriner.”
Pendapat
tersebut bisa menjadi pertimbangan ketika, menjelang Pemilu 2014, beredar
gagasan untuk menjadikan kemelut ekonomi sekarang sebagai topik kampanye.
Misalnya, soal ekonomi kerakyatan versus sistem yang lebih mengikuti pasar
bebas mungkin menjadi salah satu topik kampanye yang populer. Bagaimana
konstituen menghadapinya?
Profesor
Staley menjelaskan, terjadi pembauran antara berbagai sistem ekonomi yang dulu
saling berjauhan. Apa yang disebut sistem kapitalis sudah lama bergerak ke
sistem sosialis, tecermin pada kecenderungan bahwa biaya pendidikan untuk
rakyat ditanggung atau ditunjang oleh negara, pajak yang berlaku bisa sangat
progresif, ada jaminan sosial untuk perawatan kesehatan. Dan ada penetapan
target pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya
sistem yang sosialistis agaknya menyadari pula bahwa terdapat banyak sisi
positif dalam desentralisasi manajemen ekonomi, dalam penggabungan kepemimpinan
kolektif dan perorangan, dalam penggunaan insentif laba secara terbatas.
Kenyataan
lain, korupsi tidak berjalan sendiri. Pasar bebas dan pesatnya kemajuan di
berbagai bidang mengguncang masyarakat dan memicu korupsi bagi masyarakat yang
belum siap menghadapi laju globalisasi. Ini antara lain menjelaskan mengapa
NKRI menjadi salah satu yang terkorup di dunia. Maka intinya, bukan zamannya
lagi memilih topik ekonomi sebagai tema kampanye, dengan memojokkan yang satu
demi memenangkan yang lain.
Perekonomian
di hampir semua negara menggunakan sistem campuran, hanya kadar unsur-unsurnya
yang berbeda. Fakta yang ada, situasinya sudah seperti spektrum, suatu
pelangi-pelangi yang bisa mengilhamkan istilah-istilah yang tidak terlalu
doktriner atau abstrak hingga sulit dipahami kebanyakan konstituen. Semakin
sederhana penyajian topik, semakin gampang dicerna.
Korupsi telah membudaya
Gagasan
bahwa korupsi mulai membudaya pernah ditolak keras oleh Pak Domo (1926-2012),
Pangkopkamtib di zaman Orde Baru (19781983). Korupsi mulai bersemi dan tumbuh
subur di Indonesia setelah 1970, dengan membanjirnya petrodolar. Empat
dasawarsa kemudian, akar-akar korupsi telah menyebar luas. Pendapat bahwa
korupsi telah membudaya tidak sepenuhnya keliru. Fenomena itu menimpa berbagai
kalangan, termasuk penegak hukum.
Maka
ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono mencanangkan pemberantasan mafia hukum
dan partainya mengampanyekan antikorupsi, ada komentar bahwa Presiden telah
membuka kotak Pandora. Ternyata benar. Tradisi korupsi di semua tingkat di
banyak tempat mulai terbongkar, termasuk di berbagai lembaga pemerintah. Apakah
heboh masalah korupsi dan penanganannya akan menjadi topik kampanye yang terus
bergulir sampai terbentuk pemerintahan baru?
Sebenarnya
gejala ini bisa dipakai rujukan agar para konstituen berhati-hati memilih para
pemimpin masa depan. Misalnya, jangan sampai anggota-anggota DPR yang sudah
terbukti menjalankan korupsi diusung kembali oleh partai masing-masing untuk menjalankan
tugas legislatif. Jangan pula yang mengikuti kebiasaan negatif ini dipilih
menjadi pemimpin-pemimpin masa depan. Dalam kaitan ini, peran partai-partai
politik perlu dicermati mengingat merekalah pilar-pilar demokrasi. Bukan hanya
dicermati dari sumber dananya, melainkan juga siapa-siapa pemimpinnya,
visi-misinya, dan pendidikan politik yang diberikan, baik kepada kader-kadernya
maupun kepada para konstituen.
Konvensi partai politik
Kericuhan
yang terjadi pada banyak pilkada menunjukkan, mungkin masyarakat konstituen
Indonesia belum siap membuat pilihan sendiri; karena pendidikan formal yang
terbatas maupun karena pendidikan politik yang tidak memadai. Selain itu, belum
semua partai politik siap atau sanggup mengajukan calon terbaiknya. Karena itu,
untuk pemilu mendatang, secara bijaksana dan pragmatis ada yang menyatakan
menunggu sampai selesainya pemilu legislatif sebelum memberi keputusan akan
mengajukan jagonya atau tidak; atau siapa jagonya.
Dalam
kaitan itu, konvensi partai politik untuk menjaring capres memiliki sisi
positif. Idealnya, konvensi seperti ini diselenggarakan koalisi di antara
beberapa atau semua partai politik. Koalisi partai-partai politik demi
terjaringnya capres idaman jauh menghemat dana kampanye, selain memberi
kemudahan kepada para konstituen. Mereka tidak harus memilih di antara sekian
banyak capres karena penyaringan pertama dilakukan partai-partai politik.
Apakah
itu menyalahi aturan atau sistem demokrasi? Apakah itu berarti kalangan elite
yang lebih menentukan? Semua memerlukan perenungan dan pembahasan intensif. Namun,
kita juga tidak bisa lari dari fakta bahwa mayoritas masyarakat konstituen
umumnya memang belum sanggup membuat pilihan tepat. Pemilu 2014 menjadi cermin
tingkat kedewasaan masyarakat kita dalam berpolitik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar