Kamis, 19 September 2013

Jokowi Nyapres, Etiskah? (811) - Henry MP Siahaan

Jokowi Nyapres, Etiskah?
Henry MP Siahaan ;  Program Manager HAM, Keadilan dan Antikorupsi Kemitraan/Partnership, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 19 September 2013


RAPAT kerja nasional (Rakernas) PDIP di Ancol, 6-8 September 2013, menyimpan pertanyaan besar. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri hanya melempar sinyal. Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), diminta membacakan dedication of life-nya Bung Karno yang dibuat 10 September 1966, serta semobil dengan Mbak Mega.

Apakah Jokowi akan didaulatkan Megawati untuk menjadi calon presiden (capres) PDIP 2014? Kemungkinan itu telah terbuka. Dengan demikian, warga DKI Jakarta harus pasrah seperti warga Solo. Namun, sebelum semua itu terjadi, apakah Jokowi etis (bukan pantas) menjadi capres 2014? Apakah Jokowi dan PDIP memiliki etika publik? Secara pribadi Jokowi belum menyatakan diri maju sebagai capres. Dukungan internal PDIP juga belum solid. Demikian pula sebagian publik yang diwakili melalui berbagai survei atau yang secara langsung mendukung keduanya. Bola itu ada di tangan Megawati.

Tidak mudah untuk mendefinisikan etis dan tidak etis. Kenyataan yang terkadang kontradiktif ini menjadikan etis dan tidak etis bersifat relatif. Ia akan dianggap etis dan tidak etis tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Hal ini dipengaruhi oleh bagaimana persepsi kolektif itu dibangun dan memengaruhi nalar publik untuk selanjutnya menjadi suatu rujukan bersama.

Etika publik

Dalam realitas keseharian kita, tidak jarang dijumpai pejabat publik yang harus berhadapan dengan persepsi etis dan tidak etis itu dalam konteks etika publik. Persepsi itu cenderung berubah-ubah sesuai dengan perubahan zaman.
Sebab membicarakan etika publik berarti membicarakan persoalan pandangan atau persepsi individu, atau kelompok yang erat hubungannya dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan seseorang dapat dikatakan etis dan tidak etis.

Namun, etika publik mulai serius dibicarakan pascaskandal Watergate-nya Presiden AS Richard Nixon. Semenjak itu etika publik diberi batasan dan fokus pada pelayanan publik. Bahwa etika publik terkait langsung dengan pelayanan publik, terutama masalah integritas publik para pejabat. Dalam tanggung jawab pelayanan publik, integritas pribadi itu menjadi dasar integritas publik dengan dua modalitasnya, yaitu akuntabilitas dan transparansi. Etika publik berawal dari keprihatinan terhadap pelayanan publik yang buruk karena konflik kepentingan dan korupsi (Haryatmoko, 2011).

Tuntutan pertama dalam etika publik adalah ‘hidup baik bersama dan untuk orang lain’. Pada tingkat ini, etika publik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga negara. Politikus yang baik itu jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika publik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas.

Integritas menuntut suatu kemampuan refleksi untuk membangun konsensus etika. Konsensus etika mencakup nilai, prinsip, norma, dan bentuk regulasinya, tetapi terutama adalah masalah tanggung jawab. Etika publik harus mampu membantu pejabat publik ketika menghadapi dilema antara akuntabilitas terhadap atasan atau lebih menjawab kebutuhan publik, bicara benar atau menjaga kerahasiaan, dan kepentingan politik partainya atau kepentingan publik (ibid, 12). Dalam etika publik, pemenuhan kebutuhan publik adalah prioritas. Dengan demikian, etika publik berkaitan dengan masalah struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengondisikan tindakan kolektif.

Pencatatan

Tindakan kolektif itu bisa dipahami sebagai kesepakatan yang akan diambil PDIP terhadap Jokowi atau masyarakat Jakarta yang akan permisif dengan ambisi PDIP untuk memenangi kontestasi presiden 2014. Jika demikian adanya, sesungguhnya tanpa disadari nilai etis politik kita sedang mengarah pada kompetisi yang mengabaikan etika publik dan mungkin hal seperti ini merupakan berita duka bagi etika publik itu. Atau etika publik itu memang tidak patut dibicarakan dalam konteks politik yang penuh dengan pertautan kepentingan? Saya tidak mau menjawab itu. Saya hanya memberikan beberapa catatan yang patut dipahami bersama ihwal Jakarta, Jokowi, dan Indonesia kita ini.

Pertama, kontrak politik PDIP dengan Gerindra sewaktu mengusung Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur dan wagub DKI Jakarta. Kontrak politik tersebut jelas menyatakan bahwa mereka harus konsisten memimpin Jakarta hingga masa jabatannya selesai (pernyataan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Suhardi). Pertimbangannya, persoalan Jakarta sangat kompleks dan berat sehingga diperkirakan tidak bisa diselesaikan hanya dalam hitungan bulan saja.

Kedua, tingkat keterlibatan masyarakat Jakarta secara tulus, ikhlas, dan tanpa bayaran dalam memperjuangkan Jokowi sampai menjadi gubernur sangat tinggi. Dukungan itu masih ada hingga kini karena harapan warga akan keinginan terwujudnya Jakarta Baru.

Ketiga, Jakarta adalah daerah yang superstrategis dan pintu utama masuk Indonesia. Fungsi Jakarta bukan hanya sebagai ibu kota negara/pusat pemerintahan, tetapi juga sebagai pusat perekonomian, perdagangan, jasa, bisnis, politik. Lebih dari 70% uang beredar di Jakarta. Seluruh kedutaan negara-negara sahabat berkantor di Jakarta. Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa adalah metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia (Wikipedia). Fasilitas publik Jakarta dengan fungsi-fungsi tersebut masih jauh panggang dari api. Pintu gerbang ini perlu dipoles dengan jaminan yang terukur.

Keempat, potensi korupsi anggaran APBD DKI Jakarta 2013 sebesar Rp50-an triliun, dan bila dihitung selama 5 tahun jabatan dapat mencapai Rp250 triliun-Rp300 triliun. Belum lagi proyek-proyek kerja sama seperti public private partnership ataupun bantuan negara sahabat. Selama ini pengelolaan APBD tidak efi sien kalau tidak mau disebutkan korupsi. Warga Jakarta sangat berharap untuk merasakan hidup yang lebih layak, dan bermimpi memiliki fasilitas transportasi kelas dunia seperti kota-kota besar lainnya di dunia. Selama satu tahun ini Jokowi telah memberikan harapan, tetapi pekerjaan rumah yang strategis dan mendasar yang belum di kerjakan secara tuntas juga tidak kalah banyaknya.


Kelima, ganti kepala daerah, ganti kebijakan. Banyak kepala daerah melakukan inovasi yang monumental dan menjadi wilayah percontohan studi banding daerah-daerah lain. Namun, pascakepemimpinannya, inovasi tersebut melambat bahkan tidak berjalan sama sekali. Sebutlah di Solok, Jembrana, Kebumen, Banyuwangi. Kalau mau jujur, Solo Technopark saat ini pun tidak seheboh era Jokowi sebagai wali kotanya. Sistem yang dibangun Jokowi di Jakarta belum ter-install secara mendasar dan belum kukuh untuk kemudian ditinggalkannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar