Kamis, 05 September 2013

Menakar Kenaikan Upah

Menakar Kenaikan Upah
Nining Elitos ;  Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
KOMPAS, 05 September 2013


Tarik ulur soal upah kembali menghangat akhir-akhir ini. Timbul wacana penentuan upah minimum kota/kabupaten/provinsi yang akan dikekang kenaikannya hanya 20 persen.
Dalam pertemuan pembahasan upah buruh antara pemerintah (diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa) dan pengusaha (diwakili Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi) pada Jumat (19/7), muncul dua opsi: kenaikan 20 persen atau kenaikan seturut nilai inflasi yang ditambahkan sekian persen. Sofjan cenderung ke pilihan kedua.

Pemerintah bersama Apindo juga tengah mengkaji agar kenaikan upah minimum dibuat dalam bentuk kebijakan khusus. Nantinya, akan ada rumusan atau formula baru yang menjadi referensi penentuan upah. Menteri Perindustrian MS Hidayat menyebutkan, kebijakan khusus itu kira-kira inflation rate plus certain percent yang bisa didiskusikan di forum tripartit.

Selama ini, mekanisme penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) diawali survei kebutuhan hidup layak (KHL). Hasil survei KHL lalu dibawa ke rapat pleno dewan pengupahan kabupaten/kota dan diteruskan ke provinsi untuk kemudian diajukan kepada gubernur supaya ditetapkan. Komponen KHL bersandar pada 60 jenis kebutuhan sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2012 (sebelumnya hanya 45 jenis).

Hasil penambahan 15 komponen baru langsung terasa saat penentuan UMK/P 2013. Berkat desakan buruh melalui demonstrasi yang tak kenal lelah, UMP DKI Jakarta diteken Gubernur Joko Widodo sebesar Rp 2,2 juta atau naik 44 persen. Keputusan Jokowi menimbulkan efek kejut bagi daerah sekitarnya. Buruh di Bekasi, Bogor, Karawang, Cilegon, dan Tangerang ikut menikmati upah Rp 2 jutaan. Bahkan Kota/Kabupaten Tangerang nilai UMK-nya melebihi DKI Jakarta, yakni Rp 2,203 juta.

Kenaikan UMP cukup besar diperoleh buruh di Kalimantan Timur (naik 49 persen), Gorontalo (40,3), Kepulauan Riau (34,5), Maluku (30,8), dan Bengkulu (29 persen). Provinsi-provinsi lain cenderung moderat dalam menentukan UMP 2013 (naik dalam rentang 10-25 persen). Bahkan delapan provinsi mengerek UMP-nya di bawah 10 persen, yakni Jawa Tengah (8,5 persen), Jawa Barat dan Sulawesi Tenggara (9 persen), Papua (7,9 persen), Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur (9,2 persen), Yogyakarta (6,1 persen), serta kenaikan terendah di Sulawesi Barat (3,4 persen). Secara nasional upah buruh naik 18,32 persen dibandingkan dengan pada 2012.

Kekhawatiran pemerintah dan Apindo (akan potensi melonjaknya kembali upah buruh pada 2014), dengan demikian, cenderung bias Jakarta. Secara umum, kenaikan upah buruh tahun 2013 tidak sespektakuler yang dibayangkan (masih di bawah 20 persen). Bahkan banyak kota dan kabupaten di Jawa yang merupakan sentra-sentra industri masih ber-UMK di bawah Rp 1 juta. Di masa sekarang ini, upah tak sampai sejuta sebulan sangat sulit dikategorikan layak.

Catatan lain, masih sangat banyak perusahaan yang menangguhkan upah baru tanpa kejelasan waktu berakhirnya. Lebih banyak lagi perusahaan yang membayar buruhnya di bawah UMK dan tetap berbisnis tanpa sanksi memadai. Sementara itu, puluhan juta pekerja yang dinyatakan informal (buruh UKM, buruh-tani, pekerja rumah tangga) berada di luar jangkauan penerapan UMK.

Keberadaan sistem kerja kontrak dan alih daya memperparah keadaan. Mereka bekerja tanpa kepastian, rawan pemutusan kontrak, kesulitan bergabung dalam serikat buruh, mengalami diskriminasi, dan siap-siap merelakan hasil kerja sebulan dipotong oleh agen alih daya. Upah memadai dan status kerja terlihat sebagai kemewahan tersendiri bagi buruh-buruh ini.

Tak muluk-muluk

Lalu, seberapa besar kenaikan upah yang patut dan pantas diterima buruh pada 2014? Jika Apindo dan pemerintah mematok maksimal hanya 20 persen (bisa jauh di bawahnya karena bersandar pada inflasi belaka), sejumlah serikat buruh menuntut upah naik hingga 50 persen. Angka yang njomplang ini menunjukkan betapa lebar jarak kepentingan keduanya.

Munculnya angka 50 persen (setara dengan Rp 3,7 juta) sebenarnya tak mengherankan meski terlihat muluk-muluk setelah kenaikan signifikan UMK dari 2012 ke 2013. Penyebabnya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akhir Juni lalu. Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia Said Iqbal, kenaikan harga BBM menggerus daya beli buruh hingga 30 persen. Ditambah inflasi yang diperkirakan mencapai dua digit, kenaikan upah riil di tahun 2013 sebenarnya kurang dari 10 persen. 

Dengan catatan tebal, perhitungan ini hanya berlaku bagi UMK/P DKI Jakarta dan sekitarnya.
Kenaikan harga BBM menciptakan efek domino yang sangat parah. Seluruh harga komoditas terkerek naik, mulai dari kebutuhan dapur hingga sewa rumah. Kebijakan pemerintah ini membatalkan keuntungan kenaikan upah yang bisa dianggarkan untuk menabung, rekreasi atau belanja. Upah tetap habis akibat harus mengompensasi kenaikan harga kebutuhan pokok.

Mengutip penelitian Akatiga (2009), rata-rata pengeluaran riil buruh selalu melebihi upah riil dan UMK. Upah total mengover 74,3 persen pengeluaran riil buruh, sedangkan UMK lebih rendah lagi atau hanya senilai 62,4 persen rata-rata pengeluaran buruh per bulan. Akibatnyam buruh harus ketat berhemat dan hidup dalam lingkaran utang. Politik upah murah yang dianut pemerintah selama ini, dengan demikian, melestarikan dan memperpanjang rantai kemiskinan kaum buruh/pekerja.

Pada dasarnya, buruh juga memiliki banyak mimpi sebagaimana manusia bermartabat lainnya, tapi selama ini terganjal oleh kebijakan upah murah. Sungguh absurd membayangkan orang bekerja sepanjang hidupnya, tapi upah yang diperoleh tiap bulan raib seketika itu juga. Buruh tetap menjadi tunawisma (tidak mampu membeli rumah sendiri), dipaksa mengabaikan kebutuhan rekreasional berkualitas, dan tak kuasa menyiapkan dana bagi anak keturunan mencapai pendidikan setinggi-tingginya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar