Minggu, 08 September 2013

Kehadiran Pihak “Ketiga”

Kehadiran Pihak “Ketiga”
Sawitri Supardi Sadarjoen  ;   Penulis Rubrik Konsultasi Psikologi Harian Kompas, Dekan Fakultas Psikologi Universitas YARSI
KOMPAS, 08 September 2013


Eli, seorang agen sebuah perusahaan perumahan, dan Roni, suaminya, seorang salesman perusahaan tekstil. Pada suatu hari, Roni menelepon istrinya dan mengatakan bahwa ia akan terlambat pulang karena harus mengikuti satu rapat penting di kantornya. Karena itu, Eli sepanjang sore menemani dua anaknya karena begitu pulang ke rumah, pengasuh anak-anaknya akan pamit pulang.

Eli harus masak untuk makan malam suami dan anak-anaknya, membereskan rumah, dan menunggu suaminya yang tidak pulang-pulang. Ketika Roni pulang, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan anak-anak sudah menjelang tidur. Roni mengatakan, ” Maaf, saya terlambat, jalan macet karena ada kecelakaan di jalan pulang ke rumah.”

Bagaimana reaksi Eli? Sebenarnya, alasan Roni bisa dipahami, tetapi justru Eli merasa bahwa Roni lebih mengutamakan urusan kantor. Ia mengabaikan kebutuhan Eli untuk ditemani saat lelah pulang dari kantor dengan begitu banyak tugas yang harus dikerjakan. Eli harus masak, melayani anak-anak (satu anak laki-laki dan satu anak perempuan dengan usia 5 sampai 9 tahun) sehingga saat itu justru Eli sangat marah. ”Saya jengkel sekali dengan dirimu, Roni, anak-anak seperti tidak punya bapak. Mereka dari sore menunggumu dan kamu baru datang saat anak-anak sudah mengantuk dan harus tidur.”

Apabila Eli dalam keadaan tenang dan rasional, sebenarnya ia tidak perlu marah karena rapat koordinasi di kantor Roni sangat penting bagi kemajuan karier Roni pada masa mendatang, dan bisa saja jalanan menuju ke rumah macet karena terjadi suatu kecelakaan.

Timbul pertanyaan, apa yang terjadi sebenarnya dalam diri Eli? Mungkin, bagaimana Roni memerankan peran ayah bisa saja pangkal dari kemarahan Eli. Namun, dalam kasus ini masalah peran ayah bukanlah yang terpenting. Pada kesempatan ini, Eli mendapatkan peluang untuk mengutarakan kekesalannya kepada Roni sehubungan dengan perasaan Eli yang kurang nyaman. Sebab, selama satu tahun terakhir ini Eli benar-benar merasa kehilangan perhatian dan kasih Roni.

Eli memanfaatkan anak sebagai alasan untuk marah kepada Roni. Padahal, masalah utama sebenarnya terletak pada relasi mereka sebagai suami istri. Tampaknya Eli selama satu tahun terakhir ini merasa dibebani Roni sepenuhnya dengan urusan rutin rumah tangga. Apabila di rumah pun, Roni masih disibukkan urusan kantornya dengan menelepon sana-sini dan tenggelam dengan komputernya.

Kalau saja Eli dan Roni masih menyediakan waktu bagi diri mereka untuk saling berbagi pengalaman keseharian dan saling mendengar keluhan masing-masing di kantor mereka, kejadian kemarahan seperti itu tidak akan meledak.

Tidak peka

Eli merasa tidak nyaman dan aman berbicara tentang masalah yang akhir-akhir ini dirasakannya. Eli cemas dan menekan kecemasannya tersebut sendiri. Sementara Roni tidak peka terhadap masalah emosional yang dirasakan istrinya.

Yang menjadi masalah adalah bagaimana apabila kecenderungan Eli memanfaatkan anak-anaknya sebagai kamuflase terhadap konflik diri yang terkait dengan perasaan terabaikan oleh suaminya? Tanpa disadari keduanya, akhirnya terjadi relasi segitiga yang melibatkan anak yang berkembang semakin kuat.

Lama-kelamaan Eli akan mencari kepuasan akan kebutuhan perhatiannya kepada anak-anak, dan menempatkan Roni sebagai sosok yang berada di pihak luar keluarga. Bahkan, bisa saja selalu ia menjadikan anak-anak sebagai sarana luapan emosi negatif terhadap Roni. Ikatan emosional yang berkembang antara Eli dan anak-anak menjadi tidak sehat. Ikatan emosional yang tidak sehat antara ibu dan anak-anak membuka peluang justru anak mengembangkan perilaku ”mengambil manfaat” yang paling menguntungkan mereka. Jadilah mereka anak-anak yang bermasalah di kemudian hari.

Relasi segitiga, ibu-anak-ayah, yang tercipta tersebut semakin hari bisa semakin kuat. Tentu saja, kondisi tersebut membuat Eli semakin jauh dari permasalahan dirinya yang hakiki, yaitu ketidakpuasan dalam relasi perkawinannya yang justru membuat Eli dan Roni mengembangkan kedekatan palsu dalam peran sebagai orangtua. Kedekatan palsu dalam peran sebagai orangtua membuat Eli dan Roni semakin sulit keluar dari masalah inti yang sebenarnya selama ini mengganggu kehidupan perkawinan mereka.

Menghindari konfrontasi

Hal yang perlu disimak dari kasus Eli dan Roni adalah pada umumnya perempuan/istri memiliki ketakutan luar biasa untuk masuk dalam interaksi antara suami dan istri, bahkan cenderung mengaburkan sasaran kemarahannya kepada pihak ketiga yang lemah, dalam hal ini anak-anaknya. Mengapa?

Sebab, perempuan/istri memiliki kecenderungan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan lelaki/suami. Padahal, sesekali konfrontasi langsung untuk tujuan menjelaskan posisi diri dalam ikatan perkawinan sangat penting peranannya asalkan dilakukan dengan cara yang matang dan dewasa demi mempertahankan kualitas interaksi yang membahagiakan ikatan perkawinan hingga kakek-nenek.


Bagaimana halnya dengan interaksi suami-istri dalam kehidupan perkawinan Anda?  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar