|
Eli, seorang agen sebuah perusahaan
perumahan, dan Roni, suaminya, seorang salesman perusahaan tekstil. Pada suatu
hari, Roni menelepon istrinya dan mengatakan bahwa ia akan terlambat pulang
karena harus mengikuti satu rapat penting di kantornya. Karena itu, Eli
sepanjang sore menemani dua anaknya karena begitu pulang ke rumah, pengasuh
anak-anaknya akan pamit pulang.
Eli harus masak untuk makan malam
suami dan anak-anaknya, membereskan rumah, dan menunggu suaminya yang tidak
pulang-pulang. Ketika Roni pulang, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan
malam, dan anak-anak sudah menjelang tidur. Roni mengatakan, ” Maaf, saya
terlambat, jalan macet karena ada kecelakaan di jalan pulang ke rumah.”
Bagaimana reaksi Eli? Sebenarnya,
alasan Roni bisa dipahami, tetapi justru Eli merasa bahwa Roni lebih
mengutamakan urusan kantor. Ia mengabaikan kebutuhan Eli untuk ditemani saat
lelah pulang dari kantor dengan begitu banyak tugas yang harus dikerjakan. Eli
harus masak, melayani anak-anak (satu anak laki-laki dan satu anak perempuan
dengan usia 5 sampai 9 tahun) sehingga saat itu justru Eli sangat marah. ”Saya
jengkel sekali dengan dirimu, Roni, anak-anak seperti tidak punya bapak. Mereka
dari sore menunggumu dan kamu baru datang saat anak-anak sudah mengantuk dan
harus tidur.”
Apabila Eli dalam keadaan tenang
dan rasional, sebenarnya ia tidak perlu marah karena rapat koordinasi di kantor
Roni sangat penting bagi kemajuan karier Roni pada masa mendatang, dan bisa
saja jalanan menuju ke rumah macet karena terjadi suatu kecelakaan.
Timbul pertanyaan, apa yang terjadi
sebenarnya dalam diri Eli? Mungkin, bagaimana Roni memerankan peran ayah bisa
saja pangkal dari kemarahan Eli. Namun, dalam kasus ini masalah peran ayah
bukanlah yang terpenting. Pada kesempatan ini, Eli mendapatkan peluang untuk
mengutarakan kekesalannya kepada Roni sehubungan dengan perasaan Eli yang
kurang nyaman. Sebab, selama satu tahun terakhir ini Eli benar-benar merasa
kehilangan perhatian dan kasih Roni.
Eli memanfaatkan anak sebagai
alasan untuk marah kepada Roni. Padahal, masalah utama sebenarnya terletak pada
relasi mereka sebagai suami istri. Tampaknya Eli selama satu tahun terakhir ini
merasa dibebani Roni sepenuhnya dengan urusan rutin rumah tangga. Apabila di
rumah pun, Roni masih disibukkan urusan kantornya dengan menelepon sana-sini
dan tenggelam dengan komputernya.
Kalau saja Eli dan Roni masih
menyediakan waktu bagi diri mereka untuk saling berbagi pengalaman keseharian
dan saling mendengar keluhan masing-masing di kantor mereka, kejadian kemarahan
seperti itu tidak akan meledak.
Tidak peka
Eli merasa tidak nyaman dan aman
berbicara tentang masalah yang akhir-akhir ini dirasakannya. Eli cemas dan
menekan kecemasannya tersebut sendiri. Sementara Roni tidak peka terhadap masalah
emosional yang dirasakan istrinya.
Yang menjadi masalah adalah
bagaimana apabila kecenderungan Eli memanfaatkan anak-anaknya sebagai kamuflase
terhadap konflik diri yang terkait dengan perasaan terabaikan oleh suaminya?
Tanpa disadari keduanya, akhirnya terjadi relasi segitiga yang melibatkan anak
yang berkembang semakin kuat.
Lama-kelamaan Eli akan mencari
kepuasan akan kebutuhan perhatiannya kepada anak-anak, dan menempatkan Roni
sebagai sosok yang berada di pihak luar keluarga. Bahkan, bisa saja selalu ia
menjadikan anak-anak sebagai sarana luapan emosi negatif terhadap Roni. Ikatan
emosional yang berkembang antara Eli dan anak-anak menjadi tidak sehat. Ikatan
emosional yang tidak sehat antara ibu dan anak-anak membuka peluang justru anak
mengembangkan perilaku ”mengambil manfaat” yang paling menguntungkan mereka.
Jadilah mereka anak-anak yang bermasalah di kemudian hari.
Relasi segitiga, ibu-anak-ayah,
yang tercipta tersebut semakin hari bisa semakin kuat. Tentu saja, kondisi
tersebut membuat Eli semakin jauh dari permasalahan dirinya yang hakiki, yaitu
ketidakpuasan dalam relasi perkawinannya yang justru membuat Eli dan Roni
mengembangkan kedekatan palsu dalam peran sebagai orangtua. Kedekatan palsu
dalam peran sebagai orangtua membuat Eli dan Roni semakin sulit keluar dari
masalah inti yang sebenarnya selama ini mengganggu kehidupan perkawinan mereka.
Menghindari konfrontasi
Hal yang perlu disimak dari kasus
Eli dan Roni adalah pada umumnya perempuan/istri memiliki ketakutan luar biasa
untuk masuk dalam interaksi antara suami dan istri, bahkan cenderung
mengaburkan sasaran kemarahannya kepada pihak ketiga yang lemah, dalam hal ini
anak-anaknya. Mengapa?
Sebab, perempuan/istri memiliki
kecenderungan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan lelaki/suami.
Padahal, sesekali konfrontasi langsung untuk tujuan menjelaskan posisi diri
dalam ikatan perkawinan sangat penting peranannya asalkan dilakukan dengan cara
yang matang dan dewasa demi mempertahankan kualitas interaksi yang
membahagiakan ikatan perkawinan hingga kakek-nenek.
Bagaimana halnya dengan interaksi
suami-istri dalam kehidupan perkawinan Anda? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar