|
PENEMBAKAN terhadap polisi berpakaian seragam masih terus
terjadi kendati Mabes Polri sudah merilis data dua tersangka yang diduga pelaku
penembakan terhadap polisi sekaligus merampok di beberapa tempat di Jakarta.
Terkini, penembakan terhadap Bripka Sukardi, anggota
Provost Mabes Polri, di depan kantor KPK, Kuningan Jakarta. Sebagaimana
diberitakan (SM, 11/9/13), dalam waktu dua bulan penembakan terhadap polisi
berpakaian seragam yang diduga dilakukan teroris telah menewaskan Bripka
Maulana dan Aipda Kus Hendratma, anggota Polsek Pondok Aren.
Adapun Aiptu Dwiyatna ditembak di Jalan Graya Raya Pondok
Aren Tangerang. Kejadian serupa menimpa Aipda Patah Saktiyono, anggota Polsek
Gambir.
Penyerangan dengan senjata terhadap polisi berseragam
memunculkan pro dan kontra perlu tidaknya polisi menyamarkan diri ketika hendak
berangkat atau pulang dari tugas.
Tujuannya supaya tidak dibuntuti dan menjadi sasaran
penembakan misterius. Pengamat masalah kepolisian dari Universitas Diponegoro
Novel Ali mengingatkan Polri tak boleh rendah diri dan menjadi pengecut hanya
karena teror penembakan tersebut.
Rasa rendah diri itu tercermin dari adanya rencana
kebijakan melepas seragam bagi polisi yang hendak berangkat ke tempat kerja.
Selain itu, pendampingan anggota Polri berseragam yang bertugas di lapangan
oleh personel berpakaian sipil. “Kalau polisi menyerah, (peneror) makin senang.
Itu berarti polisi takut, tunduk pada kejahatan. Tidak usah (menganggap) ini
kondisi darurat-darurat amat,” kata mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional
ini.
Benar, bila sampai polisi cemas, apalagi takut, apa kata
dunia? Polisi yang diperlengkapi senjata, sudah dilatih taktis dan teknis
sebagai crime fighter mengapa harus takut pada pelaku kriminal, termasuk pelaku
teror? Seandainya takut, bagaimana bisa mengemban fungsi harus melindungi dan
mengayomi masyarakat, jika melindungi diri saja tidak mampu? Itulah tujuan dari
teror, terlepas pelakunya memang dari kelompok teroris yang sudah bergeser
modusnya.
Teroris era Dr Azahari hingga Amrozi cs menyasar
kepentingan yang terkait dengan AS dan sekutunya, generasi berikutnya menyasar
fasilitas umum yang bersentuhan dengan pemerintah, hingga kemudian menyerang
simbol-simbol kekuasaan.
Terakhir, menyasar secara terbuka, baik pos polisi,
mapolsek hingga personel polisi yang bertugas di lapangan secara perorangan.
Muncul pula pendapat bahwa teror penembakan terhadap polisi sebagai bentuk uji
nyali dari pelaku tindak pidana yang mendendam karena kelompok mereka
ditangkapi polisi, dan tak ada kaitannya dengan terorisme.
Apa pun motifnya, tindakan itu sama, yakni menyasar secara
acak polisi berseragam yang sedang bertugas. Secara psikologis, ini berpengaruh
pada polisi lain. Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Kapolri Jenderal Timur
Pradopo menganalisis kejadian tersebut tak lepas dari kegencaran polisi
menangkap teroris sehingga gerakan mereka makin sempit.
Dendam mereka wujudkan lewat penyerangan terhadap polisi.
Analisis ini sebenarnya jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh intelijen. Waktu
itu intelijen Polri mengingatkan kegencaran penangkapan terhadap teroris akan
memunculkan balas dendam lewat berbagai modus penyerangan terhadap polisi.
Menghadapi
Siluman
Yang menjadi permasalahan, tugas polisi langsung
bersentuhan dengan masyarakat, berinteraksi dengan mereka melalui penjagaan di
pos-pos polisi, patroli atau menyambangi dari satu RT ke RT lain. Itu bisa
dilakukan secara perorangan (untuk tugas Bhabinkamtibmas) ataupun berkelompok
(untuk patroli dan pengawalan).
Mengenai interaksi dengan masyarakat, tidak mungkin polisi
mengenali satu per satu karakter, gerak-gerik mereka, lebih-lebih di tempat
seperti di Tangerang yang masyarakatnya sangat heterogen dengan mobilitas siang
dan malam. Sebaliknya, pelaku teror sangat mudah mengenali polisi sehingga
gampang memilih sasaran.
Polisi yang menjadi sasaran ibarat diburu siluman,
mengingat polisi tidak menyadari dan melihat dirinya tengah dibidik oleh musuh.
Namun polisi tidak mungkin mundur selangkah dari keadaan tersebut, semisal
dengan menurunkan kebijakan melepas seragam polisi, atau tidak lagi berpatroli
pada malam hari. Ini menjadi hal yang kontraproduktif bagi polisi.
Kapolri Jenderal Timur Pradopo pun sudah mengingatkan bahwa
rangkaian kejadian penembakan terhadap polisi jangan membuat polisi takut, dan
jajaran Polri tetap harus melayani masyarakat. Karena apa pun yang terjadi,
polisi harus berada di tengah masyarakat, bukannya menghindar hanya karena ada
tindakan teror. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar