Jumat, 13 September 2013

Jangan Takut Wahai Polisi

Jangan Takut Wahai Polisi
Herie Purwanto  ;   Perwira Polda Jateng,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 13 September 2013


PENEMBAKAN terhadap polisi berpakaian seragam masih terus terjadi kendati Mabes Polri sudah merilis data dua tersangka yang diduga pelaku penembakan terhadap polisi sekaligus merampok di beberapa tempat di Jakarta.

Terkini, penembakan terhadap Bripka Sukardi, anggota Provost Mabes Polri, di depan kantor KPK, Kuningan Jakarta. Sebagaimana diberitakan (SM, 11/9/13), dalam waktu dua bulan penembakan terhadap polisi berpakaian seragam yang diduga dilakukan teroris telah menewaskan Bripka Maulana dan Aipda Kus Hendratma, anggota Polsek Pondok Aren.

Adapun Aiptu Dwiyatna ditembak di Jalan Graya Raya Pondok Aren Tangerang. Kejadian serupa menimpa Aipda Patah Saktiyono, anggota Polsek Gambir.

Penyerangan dengan senjata terhadap polisi berseragam memunculkan pro dan kontra perlu tidaknya polisi menyamarkan diri ketika hendak berangkat atau pulang dari tugas.

Tujuannya supaya tidak dibuntuti dan menjadi sasaran penembakan misterius. Pengamat masalah kepolisian dari Universitas Diponegoro Novel Ali mengingatkan Polri tak boleh rendah diri dan menjadi pengecut hanya karena teror penembakan tersebut.

Rasa rendah diri itu tercermin dari adanya rencana kebijakan melepas seragam bagi polisi yang hendak berangkat ke tempat kerja. Selain itu, pendampingan anggota Polri berseragam yang bertugas di lapangan oleh personel berpakaian sipil. “Kalau polisi menyerah, (peneror) makin senang. Itu berarti polisi takut, tunduk pada kejahatan. Tidak usah (menganggap) ini kondisi darurat-darurat amat,” kata mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional ini.

Benar, bila sampai polisi cemas, apalagi takut, apa kata dunia? Polisi yang diperlengkapi senjata, sudah dilatih taktis dan teknis sebagai crime fighter mengapa harus takut pada pelaku kriminal, termasuk pelaku teror? Seandainya takut, bagaimana bisa mengemban fungsi harus melindungi dan mengayomi masyarakat, jika melindungi diri saja tidak mampu? Itulah tujuan dari teror, terlepas pelakunya memang dari kelompok teroris yang sudah bergeser modusnya.

Teroris era Dr Azahari hingga Amrozi cs menyasar kepentingan yang terkait dengan AS dan sekutunya, generasi berikutnya menyasar fasilitas umum yang bersentuhan dengan pemerintah, hingga kemudian menyerang simbol-simbol kekuasaan.

Terakhir, menyasar secara terbuka, baik pos polisi, mapolsek hingga personel polisi yang bertugas di lapangan secara perorangan. Muncul pula pendapat bahwa teror penembakan terhadap polisi sebagai bentuk uji nyali dari pelaku tindak pidana yang mendendam karena kelompok mereka ditangkapi polisi, dan tak ada kaitannya dengan terorisme.

Apa pun motifnya, tindakan itu sama, yakni menyasar secara acak polisi berseragam yang sedang bertugas. Secara psikologis, ini berpengaruh pada polisi lain. Menko Polhukam Djoko Suyanto dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo menganalisis kejadian tersebut tak lepas dari kegencaran polisi menangkap teroris sehingga gerakan mereka makin sempit.

Dendam mereka wujudkan lewat penyerangan terhadap polisi. Analisis ini sebenarnya jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh intelijen. Waktu itu intelijen Polri mengingatkan kegencaran penangkapan terhadap teroris akan memunculkan balas dendam lewat berbagai modus penyerangan terhadap polisi.

Menghadapi Siluman

Yang menjadi permasalahan, tugas polisi langsung bersentuhan dengan masyarakat, berinteraksi dengan mereka melalui penjagaan di pos-pos polisi, patroli atau menyambangi dari satu RT ke RT lain. Itu bisa dilakukan secara perorangan (untuk tugas Bhabinkamtibmas) ataupun berkelompok (untuk patroli dan pengawalan).

Mengenai interaksi dengan masyarakat, tidak mungkin polisi mengenali satu per satu karakter, gerak-gerik mereka, lebih-lebih di tempat seperti di Tangerang yang masyarakatnya sangat heterogen dengan mobilitas siang dan malam. Sebaliknya, pelaku teror sangat mudah mengenali polisi sehingga gampang memilih sasaran.

Polisi yang menjadi sasaran ibarat diburu siluman, mengingat polisi tidak menyadari dan melihat dirinya tengah dibidik oleh musuh. Namun polisi tidak mungkin mundur selangkah dari keadaan tersebut, semisal dengan menurunkan kebijakan melepas seragam polisi, atau tidak lagi berpatroli pada malam hari. Ini menjadi hal yang kontraproduktif bagi polisi.

Kapolri Jenderal Timur Pradopo pun sudah mengingatkan bahwa rangkaian kejadian penembakan terhadap polisi jangan membuat polisi takut, dan jajaran Polri tetap harus melayani masyarakat. Karena apa pun yang terjadi, polisi harus berada di tengah masyarakat, bukannya menghindar hanya karena ada tindakan teror. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar