|
Saya
bersyukur bisa melihat kemajuan pertanian Amerika Serikat dalam "Farm Progress Show 2013",
27-29 Agustus, di Decatour, Illinois. Pada minggu sebelumnya, 22-25 Agustus di
Rantoul, tak jauh dari Decatour, juga masih di Negara Bagian Illinois, saya
juga menikmati "Half Century 2013 of
Progress" ke-VI. Dari mengamati kedua acara tersebut, saya dapat
melihat perbandingan pertanian AS pada masa lalu dan pada masa sekarang serta
perkiraan pertanian masa depan akan seperti apa.
Kedua
acara tersebut sangat semarak. Terlihat sekali wajah para pengunjung--sebagian
besar para petani--menampakkan rasa bangga dan bahagia. Melihat situasi yang
saya saksikan itu, saya menjadi teringat kata-kata Abraham Lincoln: dengan pertanian kita saling bersilaturahmi,
dengan pertanian kita saling bersaudara, dan pertanianlah yang mempersatukan
Amerika. Ucapan Lincoln benar-benar terwujud.
Menteri
Pertanian AS Thomas J. Vilsack menyatakan bahwa Farm Progress Show tahun ini bukan hanya yang terbesar di AS,
tetapi juga yang terbesar sepanjang sejarah. Vilsack menyatakan, "There's no shortage of innovation in
American agriculture today, and a great deal of technology to show off."
Selanjutnya, Menteri Pertanian AS berjanji akan terus bekerja memperluas pasar
dalam dan luar negeri untuk produk-produk berkualitas tinggi tapi menghadapi
hambatan perdagangan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah AS
mendukung petaninya sangatlah kuat.
Apa
yang istimewa yang dapat kita petik dalam pameran tersebut? Saya menyaksikan
kemajuan pertanian AS luar biasa. Daya oleh alat-alat atau mesin-mesin
pertanian pengolah tanah sudah berkembang sangat besar, sehingga satu keluarga
petani dengan tiga orang anggota bisa mengolah tanah seluas 1.000 hektare
lebih. Informasi tentang proses mengatur input produksi, seperti jenis tanaman,
jarak tanam, jumlah dan jenis pupuk, jumlah dan jenis pestisida, serta waktu
dan caranya, sudah dapat diberikan secara real
time melalui program precise
agriculture. Lebih jauh dari itu, teknologi pemuliaan sudah dimulai dengan
mengidentifikasi DNA dengan menggunakan alat tersendiri yang dinamakan chipper. Teknologi chipping ini, selain meningkatkan peluang keberhasilan pemuliaan
tanaman, menghemat waktu proses pemuliaan hingga sekitar dua tahun lebih cepat.
Kekuatan
pertanian AS tersebut tergambar dalam, antara lain, produksi biji-bijian (grains). AS menghasilkan 384 juta ton
dari total produksi biji-bijian dunia sebesar 2.317 juta ton pada 2011/2012;
atau hampir seperlima produksi biji-bijian dunia berasal dari AS. Sedangkan
dalam oil seeds, dunia pada 2011/2012
menghasilkan 444 juta ton, dan AS menghasilkan 92 juta ton (20,8 persen). Untuk
jagung, AS menghasilkan 313 juta ton dari luas panen jagung sekitar 34 juta
hektare. Sedangkan produksi kedelai AS adalah 84 juta ton dari luas panen
sekitar 29 juta hektare pada tahun tersebut.
Bandingkan
dengan produksi jagung Indonesia, yang pada 2011 sekitar 17 juta ton (5 persen
dari produksi jagung AS) dari luas area panen 3,8 juta hektare (11 persen dari
luas panen jagung di AS). Adapun produksi kedelai Indonesia pada 2012 baru
mencapai 843 ribu ton (1 persen dari produksi kedelai AS), yang dihasilkan dari
luas panen 567 ribu hektare (1,9 persen dari luas panen kedelai AS). Gambaran
di atas menunjukkan, apabila jagung dan kedelai dipakai sebagai pembanding
komoditas pangan, maka pertanian pangan kita dapat dikatakan tak mungkin
bersaing dengan pertanian pangan AS.
Masalah
tersebut sudah lama disadari dan diamanatkan oleh Presiden Sukarno saat
peletakan batu pertama Fakultas Pertanian IPB pada 1952, agar bangsa Indonesia
membangun sistem pangannya yang disesuaikan dengan keberadaan ekosistem
Indonesia. Sukarno bahkan menegaskan sawah itu penting untuk penyediaan pangan
bagi bangsa dan rakyat Indonesia, tetapi bukan solusi. Karena itulah Institut
Pertanian Bogor didirikan untuk mencari solusi pangan rakyat yang kompleks
tersebut. Sama seperti Abraham Lincoln yang melihat persoalan pertanian adalah
persoalan yang kompleks dan menuntut banyak ilmu pengetahuan dan teknologi,
demikian pun Bung Karno.
Kita
perlu mensyukuri kehadiran AS sebagai negara adidaya dalam bidang pertanian.
Dengan keunggulan ilmu dan teknologinya, kita dapat belajar dari kemajuan yang
telah dicapainya. Meski demikian, kita perlu mengembangkan sendiri ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan karakter sumber daya alam, iklim,
dan ekosistem Indonesia.
Pengetahuan
kita sekarang ini terbawa oleh pola berpikir negara maju, yang pada umumnya
berada di wilayah beriklim empat musim dan berstruktur geografis benua
(kontinen). Karena itu, yang kita targetkan adalah swasembada pangan dengan
ukuran komoditas seperti beras, jagung, kedelai, dan daging sapi; bukan
berdasarkan kandungan seperti karbohidrat, protein, lemak, atau kandungan
pangan lainnya.
Tidak
berarti kita harus menutup aliran komoditas tersebut masuk ke Indonesia, tapi
ia masuk untuk diolah dan diekspor kembali. Hampir 100 persen kapas, misalnya,
diolah menjadi kain dan pakaian jadi, kemudian diekspor ke negara lain.
Strategi ini juga yang dikembangkan oleh Cina. Sama seperti Cina, kita memiliki
sumber daya manusia yang banyak. Maka, kita mengolah saja bahan mentah pangan
tersebut dan kemudian hasilnya diekspor ke negara lain.
Di
tanah air, kita mengembangkan pangan dan pertanian yang basisnya keunggulan
sumber daya alam dan iklim serta kondisi wilayah geografis kita. Kita
kembangkan padi, jagung, atau kedelai dan sapi, tetapi kita tidak
membudidayakannya. Sebaliknya, kita kembangkan dan olah ubi jalar, singkong,
sukun, iles, garut, sagu, talas, ganyong, dan lain sebagainya dengan dukungan
riset yang fokus, mirip pada jamu, menjadi tepung pangan Indonesia.
Mudah-mudahan,
pada suatu saat nanti, mungkin menjelang peringatan Indonesia 100 tahun, 32
tahun lagi dari sekarang, di Indonesia diadakan "Indonesia's Farm Progress Show" ke-32, dengan memamerkan
teknologi pengolah tepung tropika dan menyantap pangan tropika Indonesia yang
selain enak, sehat, juga green, karena kita membangun sistem pangan tropika
benua maritim yang berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar