Jumat, 13 September 2013

Implikasi Jarak Pertanian Kita dengan Amerika

Implikasi Jarak Pertanian Kita dengan Amerika
Agus Pakpahan  ;   Ekonom Kelembagaan
KORAN TEMPO, 13 September 2013


Saya bersyukur bisa melihat kemajuan pertanian Amerika Serikat dalam "Farm Progress Show 2013", 27-29 Agustus, di Decatour, Illinois. Pada minggu sebelumnya, 22-25 Agustus di Rantoul, tak jauh dari Decatour, juga masih di Negara Bagian Illinois, saya juga menikmati "Half Century 2013 of Progress" ke-VI. Dari mengamati kedua acara tersebut, saya dapat melihat perbandingan pertanian AS pada masa lalu dan pada masa sekarang serta perkiraan pertanian masa depan akan seperti apa. 
Kedua acara tersebut sangat semarak. Terlihat sekali wajah para pengunjung--sebagian besar para petani--menampakkan rasa bangga dan bahagia. Melihat situasi yang saya saksikan itu, saya menjadi teringat kata-kata Abraham Lincoln: dengan pertanian kita saling bersilaturahmi, dengan pertanian kita saling bersaudara, dan pertanianlah yang mempersatukan Amerika. Ucapan Lincoln benar-benar terwujud.
Menteri Pertanian AS Thomas J. Vilsack menyatakan bahwa Farm Progress Show tahun ini bukan hanya yang terbesar di AS, tetapi juga yang terbesar sepanjang sejarah. Vilsack menyatakan, "There's no shortage of innovation in American agriculture today, and a great deal of technology to show off." Selanjutnya, Menteri Pertanian AS berjanji akan terus bekerja memperluas pasar dalam dan luar negeri untuk produk-produk berkualitas tinggi tapi menghadapi hambatan perdagangan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa komitmen pemerintah AS mendukung petaninya sangatlah kuat.
Apa yang istimewa yang dapat kita petik dalam pameran tersebut? Saya menyaksikan kemajuan pertanian AS luar biasa. Daya oleh alat-alat atau mesin-mesin pertanian pengolah tanah sudah berkembang sangat besar, sehingga satu keluarga petani dengan tiga orang anggota bisa mengolah tanah seluas 1.000 hektare lebih. Informasi tentang proses mengatur input produksi, seperti jenis tanaman, jarak tanam, jumlah dan jenis pupuk, jumlah dan jenis pestisida, serta waktu dan caranya, sudah dapat diberikan secara real time melalui program precise agriculture. Lebih jauh dari itu, teknologi pemuliaan sudah dimulai dengan mengidentifikasi DNA dengan menggunakan alat tersendiri yang dinamakan chipper. Teknologi chipping ini, selain meningkatkan peluang keberhasilan pemuliaan tanaman, menghemat waktu proses pemuliaan hingga sekitar dua tahun lebih cepat.
Kekuatan pertanian AS tersebut tergambar dalam, antara lain, produksi biji-bijian (grains). AS menghasilkan 384 juta ton dari total produksi biji-bijian dunia sebesar 2.317 juta ton pada 2011/2012; atau hampir seperlima produksi biji-bijian dunia berasal dari AS. Sedangkan dalam oil seeds, dunia pada 2011/2012 menghasilkan 444 juta ton, dan AS menghasilkan 92 juta ton (20,8 persen). Untuk jagung, AS menghasilkan 313 juta ton dari luas panen jagung sekitar 34 juta hektare. Sedangkan produksi kedelai AS adalah 84 juta ton dari luas panen sekitar 29 juta hektare pada tahun tersebut. 
Bandingkan dengan produksi jagung Indonesia, yang pada 2011 sekitar 17 juta ton (5 persen dari produksi jagung AS) dari luas area panen 3,8 juta hektare (11 persen dari luas panen jagung di AS). Adapun produksi kedelai Indonesia pada 2012 baru mencapai 843 ribu ton (1 persen dari produksi kedelai AS), yang dihasilkan dari luas panen 567 ribu hektare (1,9 persen dari luas panen kedelai AS). Gambaran di atas menunjukkan, apabila jagung dan kedelai dipakai sebagai pembanding komoditas pangan, maka pertanian pangan kita dapat dikatakan tak mungkin bersaing dengan pertanian pangan AS. 
Masalah tersebut sudah lama disadari dan diamanatkan oleh Presiden Sukarno saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian IPB pada 1952, agar bangsa Indonesia membangun sistem pangannya yang disesuaikan dengan keberadaan ekosistem Indonesia. Sukarno bahkan menegaskan sawah itu penting untuk penyediaan pangan bagi bangsa dan rakyat Indonesia, tetapi bukan solusi. Karena itulah Institut Pertanian Bogor didirikan untuk mencari solusi pangan rakyat yang kompleks tersebut. Sama seperti Abraham Lincoln yang melihat persoalan pertanian adalah persoalan yang kompleks dan menuntut banyak ilmu pengetahuan dan teknologi, demikian pun Bung Karno.
Kita perlu mensyukuri kehadiran AS sebagai negara adidaya dalam bidang pertanian. Dengan keunggulan ilmu dan teknologinya, kita dapat belajar dari kemajuan yang telah dicapainya. Meski demikian, kita perlu mengembangkan sendiri ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan karakter sumber daya alam, iklim, dan ekosistem Indonesia.
Pengetahuan kita sekarang ini terbawa oleh pola berpikir negara maju, yang pada umumnya berada di wilayah beriklim empat musim dan berstruktur geografis benua (kontinen). Karena itu, yang kita targetkan adalah swasembada pangan dengan ukuran komoditas seperti beras, jagung, kedelai, dan daging sapi; bukan berdasarkan kandungan seperti karbohidrat, protein, lemak, atau kandungan pangan lainnya. 
Tidak berarti kita harus menutup aliran komoditas tersebut masuk ke Indonesia, tapi ia masuk untuk diolah dan diekspor kembali. Hampir 100 persen kapas, misalnya, diolah menjadi kain dan pakaian jadi, kemudian diekspor ke negara lain. Strategi ini juga yang dikembangkan oleh Cina. Sama seperti Cina, kita memiliki sumber daya manusia yang banyak. Maka, kita mengolah saja bahan mentah pangan tersebut dan kemudian hasilnya diekspor ke negara lain.
Di tanah air, kita mengembangkan pangan dan pertanian yang basisnya keunggulan sumber daya alam dan iklim serta kondisi wilayah geografis kita. Kita kembangkan padi, jagung, atau kedelai dan sapi, tetapi kita tidak membudidayakannya. Sebaliknya, kita kembangkan dan olah ubi jalar, singkong, sukun, iles, garut, sagu, talas, ganyong, dan lain sebagainya dengan dukungan riset yang fokus, mirip pada jamu, menjadi tepung pangan Indonesia. 
Mudah-mudahan, pada suatu saat nanti, mungkin menjelang peringatan Indonesia 100 tahun, 32 tahun lagi dari sekarang, di Indonesia diadakan "Indonesia's Farm Progress Show" ke-32, dengan memamerkan teknologi pengolah tepung tropika dan menyantap pangan tropika Indonesia yang selain enak, sehat, juga green, karena kita membangun sistem pangan tropika benua maritim yang berkelanjutan.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar