Rabu, 11 September 2013

Struktur Dasar Kenegaraan

Struktur Dasar Kenegaraan
Kiki Syahnakri  ;    Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan
Angkatan Darat (PPAD)
KOMPAS, 11 September 2013


Setiap negara berdaulat selalu memiliki struktur dasar sistem kenegaraan yang bersifat ideologis sehingga tidak boleh gampang diubah. Mengubah struktur dasar sistem kenegaraan berarti mengganti ideologi bangsa-negara.
Sistem pemerintahan negara Indonesia dirancang para pendiri bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut. Geografi yang bercirikan negara kepulauan, demografi dengan kemajemukan yang luar biasa lebar serta multidimensi, kultural yang kuat mengakar seperti budaya gotong royong dan musyawarah mufakat, serta latar belakang sejarah, terutama yang berkait dengan proses pembentukan nasionalisme dan kemerdekaan Indonesia.
Ketika sistem pemerintahan negara itu dirancang, sesungguhnya sudah berkembang secara universal sistem presidensial dan parlementer yang biasanya jadi acuan bagi negara baru. Namun, keduanya tidak diadopsi. Dengan berbagai pertimbangan di atas, para pendiri negara lebih memilih sistem rancangan sendiri yang dinilai lebih cocok dengan karakteristik keindonesiaan.
Dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945 (asli) terdapat ”empat pokok pikiran” yang merupakan struktur dasar sistem kenegaraan kita. Pertama, Indonesia adalah negara-bangsa yang berdasarkan persatuan, atau negara kesatuan yang wajib melindungi segenap bangsa. Jadi, negara mengatasi semua paham golongan dan perorangan. Untuk itu, negara berhak mengaturnya (hukum) serta wajib menegakkannya.
Kedua, negara hendak mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Berarti negara kita merupakan ”negara kesejahteraan”. Negaralah yang bertanggung jawab menghadirkan kesejahteraan sosial, bukan penganut sistem liberal yang menyerahkan urusan pemenuhan kesejahteraan kepada masyarakat sipil/madani (civil society) serta mekanisme pasar.
Ketiga, negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan kerakyatan/demokrasi yang bercirikan permusyawaratan perwakilan, sesuai budaya bangsa Indonesia.
Keempat, negara berdasarkan atas ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka penyelenggara negara wajib mewujudkan nilai-nilai religiusitas, budi pekerti, kemanusiaan serta cita-cita moral yang luhur.
Sebagai struktur dasar, maka seharusnya empat pokok pikiran tersebut menjadi fondasi sekaligus roh bagi batang tubuh UUD yang mengatur secara lengkap sistem kenegaraan. Untuk itu, para pendiri bangsa merancang sistem kenegaraan khas Indonesia yang disebut sebagai ”Sistem Sendiri” yang bercirikan, antara lain, eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang merepresentasikan kedaulatan rakyat, pembuat serta berhak mengamandemen UUD.
Pasca-amandemen
Bung Hatta mengatakan bahwa prinsip demokrasi adalah ”keterwakilan”, maka semua harus terwakili. Untuk membulatkan keterwakilan tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR berasal dari partai politik yang ”dipilih” lewat pemilihan umum serta utusan golongan dan utusan daerah berasal dari masyarakat nonparpol yang ”ditunjuk”.
Sebagai contoh empiris, seharusnya suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam, dan berbagai kelompok etnis/minoritas diwakili dengan cara ditunjuk (karena tak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui sistem free fight) agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Namun, proses penunjukan seharusnya bukan seperti saat Orde Baru, melainkan biarkan komunitas dari setiap golongan serta warga daerah sendiri yang menunjuk.
Ciri lainnya, MPR membuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai rencana strategis pembangunan jangka panjang yang diterbitkan melalui Ketetapan MPR. Presiden adalah kepala negara merangkap kepala pemerintahan, berstatus sebagai mandataris MPR yang berkewajiban menjalankan GBHN, karena itu presiden bertanggung jawab kepada MPR.
UUD 1945 hasil amandemen (PPAD menyebutnya UUD 2002) telah menghapus penjelasannya ttt struktur dasar pemerintahan negara kita pun ikut terhapus (sengaja dihapus). Kini, kendati masih tetap eksis, Pembukaan UUD 1945 tidak lagi menjiwai batang tubuhnya. Konstitusi kita pun berubah radikal menjadi sangat liberalistik-individualistik.
Karena pada dasarnya sistem liberal-individual tidak cocok dengan akar budaya bangsa, maka yang mengedepan adalah kebebasan bermasyarakat/berpolitik yang nyaris tanpa batas. Berakibat menipisnya nasionalisme, toleransi, semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta melunturkan nilai-nilai Pancasila. Tak berhenti di sana, virus individualisme-liberalisme itu menyuburkan pula sikap machiavelianisme, materialisme, hedonisme, konsumtivisme, budaya politik transaksional, korupsi, fanatisme sempit, radikalisme bahkan terorisme.
Alhasil, bangsa Indonesia yang tadinya hidup rukun, damai, ramah tamah telah berubah drastis. Dalam waktu singkat mengalami keruntuhan budaya, diwarnai konflik, anarki, tawuran, amuk massa, dan sebagainya.
Sesuai dengan watak sistem politik/demokrasi liberal yang biasanya berujung pada oligarki kapitalis/korporasi, maka jenis oligarki tersebut telah mewabah pula di lingkungan partai politik di Indonesia, bahkan diikuti pula dengan oligarki dinasti/keluarga. Seiring dengan buramnya potret perpolitikan di Indonesia, apatisme rakyat dalam berdemokrasi pun kian meluas, partisipasi politik rakyat anjlok cukup tajam, bahkan Pilgub Sumatera Utara belum lama ini hanya diikuti 48,5 persen pemilih.
Apabila kondisi ini dibiarkan terus bergulir, niscaya akan bermuara pada ketidakpercayaan rakyat akan demokrasi, bahkan akan menjerumuskan bangsa ini pada perpecahan. Sebelum terlambat, hendaknya sesegera mungkin kita melakukan ”kaji ulang” terhadap UUD 2002: kembalikan sistem kenegaraan kita pada struktur dasarnya sesuai ide para pendiri negara. Langkah ini bukan berarti kembali pada UUD 1945, melainkan untuk menghidupkan kembali ruh Pancasila dalam sistem pemerintahan negara. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar