|
Setiap negara berdaulat selalu
memiliki struktur dasar sistem kenegaraan yang bersifat ideologis sehingga
tidak boleh gampang diubah. Mengubah struktur dasar sistem kenegaraan berarti
mengganti ideologi bangsa-negara.
Sistem pemerintahan negara
Indonesia dirancang para pendiri bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan mempertimbangkan
faktor-faktor berikut. Geografi yang bercirikan negara kepulauan, demografi
dengan kemajemukan yang luar biasa lebar serta multidimensi, kultural yang kuat
mengakar seperti budaya gotong royong dan musyawarah mufakat, serta latar
belakang sejarah, terutama yang berkait dengan proses pembentukan nasionalisme
dan kemerdekaan Indonesia.
Ketika sistem pemerintahan
negara itu dirancang, sesungguhnya sudah berkembang secara universal sistem
presidensial dan parlementer yang biasanya jadi acuan bagi negara baru. Namun,
keduanya tidak diadopsi. Dengan berbagai pertimbangan di atas, para pendiri
negara lebih memilih sistem rancangan sendiri yang dinilai lebih cocok dengan
karakteristik keindonesiaan.
Dalam Penjelasan Pembukaan UUD
1945 (asli) terdapat ”empat pokok pikiran” yang merupakan struktur dasar sistem
kenegaraan kita. Pertama, Indonesia adalah negara-bangsa yang berdasarkan
persatuan, atau negara kesatuan yang wajib melindungi segenap bangsa. Jadi,
negara mengatasi semua paham golongan dan perorangan. Untuk itu, negara berhak
mengaturnya (hukum) serta wajib menegakkannya.
Kedua, negara hendak mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Berarti negara kita merupakan ”negara
kesejahteraan”. Negaralah yang bertanggung jawab menghadirkan kesejahteraan
sosial, bukan penganut sistem liberal yang menyerahkan urusan pemenuhan
kesejahteraan kepada masyarakat sipil/madani (civil society) serta mekanisme pasar.
Ketiga, negara yang
berkedaulatan rakyat, berdasarkan kerakyatan/demokrasi yang bercirikan
permusyawaratan perwakilan, sesuai budaya bangsa Indonesia.
Keempat, negara berdasarkan atas
ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka
penyelenggara negara wajib mewujudkan nilai-nilai religiusitas, budi pekerti,
kemanusiaan serta cita-cita moral yang luhur.
Sebagai struktur dasar, maka
seharusnya empat pokok pikiran tersebut menjadi fondasi sekaligus roh bagi
batang tubuh UUD yang mengatur secara lengkap sistem kenegaraan. Untuk itu,
para pendiri bangsa merancang sistem kenegaraan khas Indonesia yang disebut
sebagai ”Sistem Sendiri” yang bercirikan, antara lain, eksistensi MPR sebagai
lembaga tertinggi negara yang merepresentasikan kedaulatan rakyat, pembuat
serta berhak mengamandemen UUD.
Pasca-amandemen
Bung Hatta mengatakan bahwa
prinsip demokrasi adalah ”keterwakilan”, maka semua harus terwakili. Untuk
membulatkan keterwakilan tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR berasal dari
partai politik yang ”dipilih” lewat pemilihan umum serta utusan golongan dan
utusan daerah berasal dari masyarakat nonparpol yang ”ditunjuk”.
Sebagai contoh empiris,
seharusnya suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam, dan berbagai kelompok
etnis/minoritas diwakili dengan cara ditunjuk (karena tak mungkin mereka
terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui sistem free fight) agar kepentingan mereka
dapat diperjuangkan di parlemen. Namun, proses penunjukan seharusnya bukan
seperti saat Orde Baru, melainkan biarkan komunitas dari setiap golongan serta
warga daerah sendiri yang menunjuk.
Ciri lainnya, MPR membuat
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai rencana strategis pembangunan
jangka panjang yang diterbitkan melalui Ketetapan MPR. Presiden adalah kepala
negara merangkap kepala pemerintahan, berstatus sebagai mandataris MPR yang
berkewajiban menjalankan GBHN, karena itu presiden bertanggung jawab kepada
MPR.
UUD 1945 hasil amandemen (PPAD
menyebutnya UUD 2002) telah menghapus penjelasannya ttt
struktur dasar pemerintahan negara kita pun ikut terhapus (sengaja dihapus).
Kini, kendati masih tetap eksis, Pembukaan UUD 1945 tidak lagi menjiwai batang
tubuhnya. Konstitusi kita pun berubah radikal menjadi sangat
liberalistik-individualistik.
Karena pada dasarnya sistem
liberal-individual tidak cocok dengan akar budaya bangsa, maka yang mengedepan
adalah kebebasan bermasyarakat/berpolitik yang nyaris tanpa batas. Berakibat
menipisnya nasionalisme, toleransi, semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta
melunturkan nilai-nilai Pancasila. Tak berhenti di sana, virus
individualisme-liberalisme itu menyuburkan pula sikap machiavelianisme,
materialisme, hedonisme, konsumtivisme, budaya politik transaksional, korupsi,
fanatisme sempit, radikalisme bahkan terorisme.
Alhasil, bangsa Indonesia yang
tadinya hidup rukun, damai, ramah tamah telah berubah drastis. Dalam waktu
singkat mengalami keruntuhan budaya, diwarnai konflik, anarki, tawuran, amuk
massa, dan sebagainya.
Sesuai dengan watak sistem
politik/demokrasi liberal yang biasanya berujung pada oligarki
kapitalis/korporasi, maka jenis oligarki tersebut telah mewabah pula di
lingkungan partai politik di Indonesia, bahkan diikuti pula dengan oligarki
dinasti/keluarga. Seiring dengan buramnya potret perpolitikan di Indonesia,
apatisme rakyat dalam berdemokrasi pun kian meluas, partisipasi politik rakyat
anjlok cukup tajam, bahkan Pilgub Sumatera Utara belum lama ini hanya diikuti
48,5 persen pemilih.
Apabila kondisi ini dibiarkan
terus bergulir, niscaya akan bermuara pada ketidakpercayaan rakyat akan
demokrasi, bahkan akan menjerumuskan bangsa ini pada perpecahan. Sebelum
terlambat, hendaknya sesegera mungkin kita melakukan ”kaji ulang” terhadap UUD
2002: kembalikan sistem kenegaraan kita pada struktur dasarnya sesuai ide para
pendiri negara. Langkah ini bukan berarti kembali pada UUD 1945, melainkan
untuk menghidupkan kembali ruh Pancasila dalam sistem pemerintahan negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar