|
Rakyat Australia telah memilih. Dalam
waktu yang tak terlalu lama lagi, Tony Abbott, pemimpin Partai Konservatif
sekaligus pemimpin sejumlah partai oposisi, akan dilantik. Hubungan
Indonesia-Australia akan memasuki babak baru di bawah pemerintahan Abbott.
Di Australia, ada kecenderungan
partai yang berkuasa adalah partai yang dapat mengartikulasikan keinginan para
pemilih dan merealisasikannya. Abbott mampu mengartikulasikan sejumlah program
dalam kampanyenya yang dikehendaki publik Australia, program yang jauh berbeda
dengan yang dijalankan Partai Buruh. Bahkan, programnya sangat berpihak kepada
kepentingan Australia.
Tiga program Abbott berdampak
terhadap Indonesia. Pertama, program penggelontoran 420 juta dollar Australia
untuk menangani pencari suaka dan imigran gelap. Program ini sangat populis di
tengah derasnya imigran gelap dan pencari suaka ke Australia. Publik
menginginkan agar keep Australia white. Dominasi mayoritas penduduk
Australia harus berkulit putih seolah-olah hendak dipertahankan. Demikian pula
perekonomian dan lapangan kerja harus dilindungi dari para imigran Timur Tengah
dan negara Asia.
Program kedua adalah peningkatan
ekspor sapi Australia. Indonesia adalah pasar terbesar bagi peternak Australia.
Para peternak sangat dirugikan di bawah pemerintahan Partai Buruh yang
mengenakan moratorium ekspor sapi karena Indonesia tak memperhatikan tempat dan
cara memotong sapi. Untuk menjalankan program ini, Abbott bersedia meminta maaf
kepada Pemerintah Indonesia atas kebijakan Pemerintah Australia.
Terakhir, program pemotongan dana
bantuan ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Para pembayar pajak Australia
tak melihat keuntungan dengan bantuan besar-besaran Pemerintah Australia selama
ini. Pemotongan dana bantuan berarti meringankan bagi pembayar pajak.
Realisasi janji
Kini saatnya Abbott harus
merealisasikan janjinya. Bagaimana Pemerintah Indonesia harus bersikap? Terkait
dengan penyelesaian pencari suaka dan imigran gelap, apakah Pemerintah
Indonesia bersedia dilecehkan kedaulatannya dengan program Abbott? Pelecehan
karena program dibuat secara unilateral dan mem-fait accompli Pemerintah
Indonesia.
Tiga program yang hendak dijalankan
dalam penanganan imigran gelap dan pencari suaka. Pertama, membeli kapal-kapal
nelayan Indonesia yang kerap digunakan menyeberangkan imigran gelap. Kedua,
memberi insentif berupa uang kepada masyarakat dan kepala desa Indonesia yang
dapat memberi informasi terkait dengan imigran gelap. Ketiga, menempatkan
polisi Australia di Indonesia.
Program ini jelas merongrong
kedaulatan Indonesia. Kesuksesan bergantung pada persetujuan dan kerja sama Pemerintah
Indonesia yang belum pernah didapat Abbott. Ketika program ini dianggap gila
oleh Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Abbott mengatakan, pandangan negatif
itu hanya dari satu anggota DPR. Dengan percaya diri Abbot, sebagaimana
dilansir koran The Australia, mengatakan,
ia banyak kenal dengan pengambil kebijakan Indonesia yang akan memuluskan
programnya. Mungkin untuk memuluskan ini, Abbott akan memainkan isu Papua yang
bagi Indonesia sangat sensitif.
Apabila program Abbott ini
berhasil, pertanyaannya apakah pengambil kebijakan di Indonesia lebih
menyuarakan kepentingan Abbott yang notabene merupakan suara publik Australia?
Bukankah para pengambil kebijakan Indonesia harus menyuarakan konstituen publik
Indonesia? Memang kerap dalam isu bilateral antara Indonesia dan negara
sahabat, pemerintah lebih menenggang rasa dengan yang dikehendaki negara
mitranya daripada publiknya sendiri. Mungkin pemerintah menganggap lebih mudah
menjinakkan publiknya sendiri daripada meminta pengertian negara mitra.
Selanjutnya, terkait dengan program
peningkatan ekspor sapi, program ini akan merugikan Indonesia. Indonesia akan
dibuat bergantung pada impor sapi Australia. Padahal, saat ini, Indonesia
berupaya keras melepaskan ketergantungan itu. Belum lagi Indonesia sedang giat
membasmi mafia impor sapi yang diinisiatifi KPK.
Jika dalam pertemuan dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hal ini diungkap Abbott, Abbott tak sensitif
dengan masalah ekspor impor sapi di Indonesia. Ia juga tak sensitif dengan yang
sedang merundung Presiden Yudhoyono, yang namanya disebut-sebut salah satu
saksi di pengadilan tipikor terkait sejumlah uang. Sebenarnya moratorium ekspor
sapi oleh pemerintahan Julia Gillard positif bagi Indonesia: dapat lepas dari
ketergantungn impor sapi. Indonesia memang harus dipaksa berswasembada daging
sapi.
Terakhir, Indonesia tak perlu
merengek jika Abbott memangkas dana bantuan. Apalagi pemerintah harus
bermanis-manis agar penyunatan tak dilakukan. Selama ini dana bantuan yang
diberikan Australia ke Indonesia adalah untuk kepentingan Australia. Australia
memberi dana bantuan masalah keimigrasian agar para pencari suaka dan imigran
gelap bisa ditangani di Indonesia dan Australia dapat berperan dalam
penanganannya. Australia memberi dana bantuan ke Indonesia dalam memerangi
terorisme agar terorisme tak masuk ke Australia dan bisa mendikte pemerintah
dalam kebijakannya.
Demikian pula Australia memberi
dana bantuan untuk penanganan flu burung agar virus itu tak merebak di
Australia dan punya kesempatan memengaruhi kebijakan Indonesia. Intinya,
Indonesia telah dijadikan bumper, bahkan killing field, atas sejumlah
masalah yang dihadapi Australia dengan cara memberi dana bantuan kepada
Indonesia. Sudah saatnya kemandirian dan kedaulatan Indonesia dikembalikan dengan
momentum program Abbott untuk mengurangi dana bantuan.
Kompleksitas
Hubungan Indonesia-Australia di
bawah Abbott bisa jadi kompleks dan rumit. Apa pun yang terjadi, pemerintah
harus tetap menjaga hubungan baik dengan Australia tanpa sedikit pun mencederai
kedaulatan Indonesia. Rongrongan atas kedaulatan harus ditolak dengan tegas.
Pemerintah harus mencamkan kesan dari negara mitra yang kerap melihat pengambil
kebijakan di Indonesia tidak dapat membedakan antara ramah dan bodoh.
Tindakan ramah Indonesia selalu
dimanfaatkan negara mitra yang berujung pada kepentingan Indonesia yang
dikorbankan. Suatu kebodohan untuk kepentingan Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar