Sabtu, 14 September 2013

Hubungan RI-Australia

Hubungan RI-Australia
Hikmahanto Juwana  ;   Guru Besar Hukum Internasional UI
KOMPAS, 14 September 2013


Rakyat Australia telah memilih. Dalam waktu yang tak terlalu lama lagi, Tony Abbott, pemimpin Partai Konservatif sekaligus pemimpin sejumlah partai oposisi, akan dilantik. Hubungan Indonesia-Australia akan memasuki babak baru di bawah pemerintahan Abbott.

Di Australia, ada kecenderungan partai yang berkuasa adalah partai yang dapat mengartikulasikan keinginan para pemilih dan merealisasikannya. Abbott mampu mengartikulasikan sejumlah program dalam kampanyenya yang dikehendaki publik Australia, program yang jauh berbeda dengan yang dijalankan Partai Buruh. Bahkan, programnya sangat berpihak kepada kepentingan Australia.

Tiga program Abbott berdampak terhadap Indonesia. Pertama, program penggelontoran 420 juta dollar Australia untuk menangani pencari suaka dan imigran gelap. Program ini sangat populis di tengah derasnya imigran gelap dan pencari suaka ke Australia. Publik menginginkan agar keep Australia white. Dominasi mayoritas penduduk Australia harus berkulit putih seolah-olah hendak dipertahankan. Demikian pula perekonomian dan lapangan kerja harus dilindungi dari para imigran Timur Tengah dan negara Asia.

Program kedua adalah peningkatan ekspor sapi Australia. Indonesia adalah pasar terbesar bagi peternak Australia. Para peternak sangat dirugikan di bawah pemerintahan Partai Buruh yang mengenakan moratorium ekspor sapi karena Indonesia tak memperhatikan tempat dan cara memotong sapi. Untuk menjalankan program ini, Abbott bersedia meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia atas kebijakan Pemerintah Australia.

Terakhir, program pemotongan dana bantuan ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Para pembayar pajak Australia tak melihat keuntungan dengan bantuan besar-besaran Pemerintah Australia selama ini. Pemotongan dana bantuan berarti meringankan bagi pembayar pajak.

Realisasi janji

Kini saatnya Abbott harus merealisasikan janjinya. Bagaimana Pemerintah Indonesia harus bersikap? Terkait dengan penyelesaian pencari suaka dan imigran gelap, apakah Pemerintah Indonesia bersedia dilecehkan kedaulatannya dengan program Abbott? Pelecehan karena program dibuat secara unilateral dan mem-fait accompli Pemerintah Indonesia.

Tiga program yang hendak dijalankan dalam penanganan imigran gelap dan pencari suaka. Pertama, membeli kapal-kapal nelayan Indonesia yang kerap digunakan menyeberangkan imigran gelap. Kedua, memberi insentif berupa uang kepada masyarakat dan kepala desa Indonesia yang dapat memberi informasi terkait dengan imigran gelap. Ketiga, menempatkan polisi Australia di Indonesia.

Program ini jelas merongrong kedaulatan Indonesia. Kesuksesan bergantung pada persetujuan dan kerja sama Pemerintah Indonesia yang belum pernah didapat Abbott. Ketika program ini dianggap gila oleh Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq, Abbott mengatakan, pandangan negatif itu hanya dari satu anggota DPR. Dengan percaya diri Abbot, sebagaimana dilansir koran The Australia, mengatakan, ia banyak kenal dengan pengambil kebijakan Indonesia yang akan memuluskan programnya. Mungkin untuk memuluskan ini, Abbott akan memainkan isu Papua yang bagi Indonesia sangat sensitif.

Apabila program Abbott ini berhasil, pertanyaannya apakah pengambil kebijakan di Indonesia lebih menyuarakan kepentingan Abbott yang notabene merupakan suara publik Australia? Bukankah para pengambil kebijakan Indonesia harus menyuarakan konstituen publik Indonesia? Memang kerap dalam isu bilateral antara Indonesia dan negara sahabat, pemerintah lebih menenggang rasa dengan yang dikehendaki negara mitranya daripada publiknya sendiri. Mungkin pemerintah menganggap lebih mudah menjinakkan publiknya sendiri daripada meminta pengertian negara mitra.

Selanjutnya, terkait dengan program peningkatan ekspor sapi, program ini akan merugikan Indonesia. Indonesia akan dibuat bergantung pada impor sapi Australia. Padahal, saat ini, Indonesia berupaya keras melepaskan ketergantungan itu. Belum lagi Indonesia sedang giat membasmi mafia impor sapi yang diinisiatifi KPK.

Jika dalam pertemuan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hal ini diungkap Abbott, Abbott tak sensitif dengan masalah ekspor impor sapi di Indonesia. Ia juga tak sensitif dengan yang sedang merundung Presiden Yudhoyono, yang namanya disebut-sebut salah satu saksi di pengadilan tipikor terkait sejumlah uang. Sebenarnya moratorium ekspor sapi oleh pemerintahan Julia Gillard positif bagi Indonesia: dapat lepas dari ketergantungn impor sapi. Indonesia memang harus dipaksa berswasembada daging sapi.

Terakhir, Indonesia tak perlu merengek jika Abbott memangkas dana bantuan. Apalagi pemerintah harus bermanis-manis agar penyunatan tak dilakukan. Selama ini dana bantuan yang diberikan Australia ke Indonesia adalah untuk kepentingan Australia. Australia memberi dana bantuan masalah keimigrasian agar para pencari suaka dan imigran gelap bisa ditangani di Indonesia dan Australia dapat berperan dalam penanganannya. Australia memberi dana bantuan ke Indonesia dalam memerangi terorisme agar terorisme tak masuk ke Australia dan bisa mendikte pemerintah dalam kebijakannya.

Demikian pula Australia memberi dana bantuan untuk penanganan flu burung agar virus itu tak merebak di Australia dan punya kesempatan memengaruhi kebijakan Indonesia. Intinya, Indonesia telah dijadikan bumper, bahkan killing field, atas sejumlah masalah yang dihadapi Australia dengan cara memberi dana bantuan kepada Indonesia. Sudah saatnya kemandirian dan kedaulatan Indonesia dikembalikan dengan momentum program Abbott untuk mengurangi dana bantuan.

Kompleksitas

Hubungan Indonesia-Australia di bawah Abbott bisa jadi kompleks dan rumit. Apa pun yang terjadi, pemerintah harus tetap menjaga hubungan baik dengan Australia tanpa sedikit pun mencederai kedaulatan Indonesia. Rongrongan atas kedaulatan harus ditolak dengan tegas. Pemerintah harus mencamkan kesan dari negara mitra yang kerap melihat pengambil kebijakan di Indonesia tidak dapat membedakan antara ramah dan bodoh.

Tindakan ramah Indonesia selalu dimanfaatkan negara mitra yang berujung pada kepentingan Indonesia yang dikorbankan. Suatu kebodohan untuk kepentingan Indonesia. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar