|
Dalam hidup berbangsa menunjukkan
bahwa rasa hormat terhadap perbedaan sudah semakin merosot, bahkan mulai
mengingkari perbedaan. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan
cita-cita mulia kehidupan berbangsa seperti yang digariskan para pendiri
bangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan dan sesama.
Yang lebih menyedihkan: moral,
sikap dan perilaku lebih dikendalikan oleh emosi dan perkara-perkara yang
menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan kedudukan
di tengah masyarakat. Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik
dan materialistik. Untuk memperoleh jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan
orang lain, sehingga martabat menusia diabaikan.
Bertolak dari kenyataan tersebut,
maka sejak memasuki masa reformasi, Indonesia belum pernah atau hampir selalu
gagal memiliki pemerintahan yang bersih dan baik. Keadilan dan hukum tidak
dapat ditegakkan, korupsi merajalela. Semua itu membuat orang menjadi rakus dan
kerakusan itu akan mengancam kehidupan masyarakat. Bisa saja kita menyalahkan
masa-masa sebelumnya yang menjadi dasar kebobrokan. Tetapi, juga perlu disadari
bahwa kita tidak berjuang untuk melepaskan diri dari kebobrokan itu tetapi
justru ikut merusak dengan cara lain.
Dengan reformasi negeri ini akan
kita bangun, namun kenyataannya reformasi justru menjadi sebuah arena para
elite sebagai ajang perebutan kepentingan pribadi atau golongan dan bukan
sebuah alat untuk memperbaiki secara total sistem lalu. Para pemimpin negeri
ini kurang peduli lagi terhadap keadilan, sebab kepentingan pribadi dan
golongan lebih menonjol.
Tujuan negara hendaknya tidak
hanya dipahami dari sudut perkembangan objektif semata, tetapi juga dalam ruang
politik pembentukan negeri ini dan kebutuhan survival sebuah negara baru dalam
pergaulan internasional. Tidak dimungkiri, saat terbentuk negara ini, konteks
sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pikiran dan ideologi manusia Indonesia
yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau sekuler.
Pada saat ini, nuansa seperti itu
mengalami kemerosotan dan mengancam integrasi bangsa. Dalam sebuah negara, yang
terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa, dan mungkin ribuan dialek,
masalah integrasi dan disintegrasi yang terkandung di dalamnya merupakan
tuntutan dan kemestian yang tiada hentinya.
Sementara itu dalam upaya untuk
melangkah ke masa depan, diwarnai oleh perjuangan pribadi atau kelompok politik
yang masing-masing berjuang atas nama rakyat, walaupun pada dasarnya adalah
murni persoalan yang berorientasi pada kepentingan masing-masing.
Di sisi lain, perkembangan situasi
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini berubah sangat cepat
sehingga mudah mengendorkan rasa persatuan dan kesatuan. Masalah-masalah yang
berkaitan dengan rasa persaudaraan semakin terkikis, tetapi egoisme golongan
semakin mencuat. Banyak kebijakan-kebijakan yang diambil berdasar kepentingan
golongan, akibatnya rasa keadilan semakin terpinggirkan. Kondisi ini
menyebabkan sensitifnya sikap-sikap terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat
dan berbangsa.
Model kepemimpinan, sharing
sosial, politik dan tentu saja ekonomi tampak jelas bahwa banyak orang baru
berada dalam tahap demokrasi dini, di mana individu masih memberi penilaian
moral atas dasar kepentingan egoisnya sendiri. Yang baik adalah yang
menyenangkan dan menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan yang buruk adalah
yang kurang enak. Sehingga, praktik monopoli, kemudian skandal-skandal korupsi
masih begitu merebak, dan menjadi pekerjaan rumah yang nyaris tak terselesaikan
oleh pemerintah atau mungkin akan terbengkelai.
Dengan kondisi yang masih
memprihatinkan itu, apakah proses demokrasi bisa mempengaruhi pola pikir bangsa
ini untuk menuju ke masyarakat baru Indonesia yang menyejukkan atau sebaliknya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sepercik masalah yang menyangkut
kepentingan golongan tertentu akan bisa mengobarkan gerakan-gerakan yang sulite
dikendalikan seperti yang terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini.
Bertolak dari kondisi-kondisi
tersebut, jelaslah bahwa hormat pada perbedaan, tetap merupakan perekat bangsa
ini. Adalah benar, korupsi harus diberantas, disiplin nasional ditegakkan dan
moral bangsa diperbaiki, tetapi tidak dapat kita alpakan, bahwa semua itu bisa
terjadi, jika keadilan bisa ditegakkan tanpa harus memandang perbedaan.
Melihat dari pengalaman berbagai
negara yang sedang maupun yang sudah terpecah-pecah, maka kita harus menyadari
benar adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup negeri ini. Penghargaan
terhadap perbedaanlah yang akan menyelamatkan kelangsungan hidup Indonesia dari
bahaya kehancuran. Mengapa? Karena, penghargaan semacam ini tersirat di
dalamnya suatu apresiasi terhadap kebebasan. Manusia secara utuh dalam
kebebasannya. Hal ini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa butuh
aturan-aturan, tetapi bebas di tengah-tengah kebebasan orang lain mana pun.
Untuk itu, individu maupun golongan yang tidak menghormati eksistensi
sesamanya, jelas akan menjadi sumber perpecahan.
Bagaimanapun juga tetap tegaknya
negeri ini harus ditopang oleh keberagaman. Tanpa penopang keberagaman,
Indonesia akan runtuh. Ini berarti, Indonesia bukan milik suatu golongan tetapi
milik seluruh rakyat. Berdirinya negeri ini, hanya karena para pendiri negara
menerima perbedaan sebagai fakta dan menghormatinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar