Senin, 09 September 2013

Hormat pada Perbedaan Merosot

Hormat pada Perbedaan Merosot
A Kardiyat Wiharyanto ;   Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
SUARA KARYA, 09 September 2013


Dalam hidup berbangsa menunjukkan bahwa rasa hormat terhadap perbedaan sudah semakin merosot, bahkan mulai mengingkari perbedaan. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa seperti yang digariskan para pendiri bangsa. Hati nurani tidak dipergunakan, perilaku tidak dipertanggungjawabkan kepada Tuhan dan sesama.

Yang lebih menyedihkan: moral, sikap dan perilaku lebih dikendalikan oleh emosi dan perkara-perkara yang menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang dan kedudukan di tengah masyarakat. Dalam kehidupan bersama, terutama kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara manusia menjadi egoistik, konsumeristik dan materialistik. Untuk memperoleh jabatan, orang sampai hati mengorbankan kepentingan orang lain, sehingga martabat menusia diabaikan.

Bertolak dari kenyataan tersebut, maka sejak memasuki masa reformasi, Indonesia belum pernah atau hampir selalu gagal memiliki pemerintahan yang bersih dan baik. Keadilan dan hukum tidak dapat ditegakkan, korupsi merajalela. Semua itu membuat orang menjadi rakus dan kerakusan itu akan mengancam kehidupan masyarakat. Bisa saja kita menyalahkan masa-masa sebelumnya yang menjadi dasar kebobrokan. Tetapi, juga perlu disadari bahwa kita tidak berjuang untuk melepaskan diri dari kebobrokan itu tetapi justru ikut merusak dengan cara lain.

Dengan reformasi negeri ini akan kita bangun, namun kenyataannya reformasi justru menjadi sebuah arena para elite sebagai ajang perebutan kepentingan pribadi atau golongan dan bukan sebuah alat untuk memperbaiki secara total sistem lalu. Para pemimpin negeri ini kurang peduli lagi terhadap keadilan, sebab kepentingan pribadi dan golongan lebih menonjol.

Tujuan negara hendaknya tidak hanya dipahami dari sudut perkembangan objektif semata, tetapi juga dalam ruang politik pembentukan negeri ini dan kebutuhan survival sebuah negara baru dalam pergaulan internasional. Tidak dimungkiri, saat terbentuk negara ini, konteks sejarah saat itu menunjukkan beragamnya pikiran dan ideologi manusia Indonesia yang mengambil inspirasi dari gagasan-gagasan religius atau sekuler.

Pada saat ini, nuansa seperti itu mengalami kemerosotan dan mengancam integrasi bangsa. Dalam sebuah negara, yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan suku bangsa, dan mungkin ribuan dialek, masalah integrasi dan disintegrasi yang terkandung di dalamnya merupakan tuntutan dan kemestian yang tiada hentinya.

Sementara itu dalam upaya untuk melangkah ke masa depan, diwarnai oleh perjuangan pribadi atau kelompok politik yang masing-masing berjuang atas nama rakyat, walaupun pada dasarnya adalah murni persoalan yang berorientasi pada kepentingan masing-masing.

Di sisi lain, perkembangan situasi tatanan kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini berubah sangat cepat sehingga mudah mengendorkan rasa persatuan dan kesatuan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan rasa persaudaraan semakin terkikis, tetapi egoisme golongan semakin mencuat. Banyak kebijakan-kebijakan yang diambil berdasar kepentingan golongan, akibatnya rasa keadilan semakin terpinggirkan. Kondisi ini menyebabkan sensitifnya sikap-sikap terhadap kelangsungan hidup bermasyarakat dan berbangsa.

Model kepemimpinan, sharing sosial, politik dan tentu saja ekonomi tampak jelas bahwa banyak orang baru berada dalam tahap demokrasi dini, di mana individu masih memberi penilaian moral atas dasar kepentingan egoisnya sendiri. Yang baik adalah yang menyenangkan dan menguntungkan dirinya sendiri, sedangkan yang buruk adalah yang kurang enak. Sehingga, praktik monopoli, kemudian skandal-skandal korupsi masih begitu merebak, dan menjadi pekerjaan rumah yang nyaris tak terselesaikan oleh pemerintah atau mungkin akan terbengkelai.

Dengan kondisi yang masih memprihatinkan itu, apakah proses demokrasi bisa mempengaruhi pola pikir bangsa ini untuk menuju ke masyarakat baru Indonesia yang menyejukkan atau sebaliknya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sepercik masalah yang menyangkut kepentingan golongan tertentu akan bisa mengobarkan gerakan-gerakan yang sulite dikendalikan seperti yang terjadi di beberapa tempat akhir-akhir ini.

Bertolak dari kondisi-kondisi tersebut, jelaslah bahwa hormat pada perbedaan, tetap merupakan perekat bangsa ini. Adalah benar, korupsi harus diberantas, disiplin nasional ditegakkan dan moral bangsa diperbaiki, tetapi tidak dapat kita alpakan, bahwa semua itu bisa terjadi, jika keadilan bisa ditegakkan tanpa harus memandang perbedaan.

Melihat dari pengalaman berbagai negara yang sedang maupun yang sudah terpecah-pecah, maka kita harus menyadari benar adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup negeri ini. Penghargaan terhadap perbedaanlah yang akan menyelamatkan kelangsungan hidup Indonesia dari bahaya kehancuran. Mengapa? Karena, penghargaan semacam ini tersirat di dalamnya suatu apresiasi terhadap kebebasan. Manusia secara utuh dalam kebebasannya. Hal ini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya tanpa butuh aturan-aturan, tetapi bebas di tengah-tengah kebebasan orang lain mana pun. Untuk itu, individu maupun golongan yang tidak menghormati eksistensi sesamanya, jelas akan menjadi sumber perpecahan.


Bagaimanapun juga tetap tegaknya negeri ini harus ditopang oleh keberagaman. Tanpa penopang keberagaman, Indonesia akan runtuh. Ini berarti, Indonesia bukan milik suatu golongan tetapi milik seluruh rakyat. Berdirinya negeri ini, hanya karena para pendiri negara menerima perbedaan sebagai fakta dan menghormatinya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar