Senin, 02 September 2013

Guru Progresif, Sekolah Transformatif

Guru Progresif, Sekolah Transformatif
Intan Indah Prathiwie ;   Pendidik. Kepala Sekolah TK Melati Agung
KORAN JAKARTA, 02 September 2013


Inti kurikulum baru 2013 yang sedang heboh belakangan ini adalah sifatnya yang tematik dan integratif. Dalam bahasa mudahnya, kurikulum baru ini berkeinginan agar setiap komponen ajar (tematik) disisipkan ke dalam semua mata pelajaran (integratif). Karena itu, jumlah mata pelajaran dirampingkan, dan mata ajar yang hilang dilebur ke dalam mata pelajaran lain. 

Tujuannya adalah menggeser peran guru dari pengajar yang mencekokkan pengetahuan kepada murid secara satu arah menjadi fasilitator yang ingin membangunkan potensi anak sebagai manusia pembelajar. Singkat kata, guru diharapkan berkarakter progresif. 

Sayangnya, secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia belum sesuai harapan. Data tahun 2012 dari Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan dari sisi kualifikasi pendidikan, baru sekitar 51 persen dari total 2,92 juta guru yang berpendidikan S-1 atau lebih, sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1.

Begitu pun dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5 persen guru yang memenuhi syarat sertifikasi. Adapun 861.67 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi, yakni sertifikat yang menunjukkan guru tersebut profesional. 

Selain jenjang pendidikan yang belum memadai, kompetensi guru masih bermasalah. Saat dilakukan tes terhadap guru semua bidang studi, rata-rata tak sampai 50 persen soal yang bisa dikerjakan. Tidak ada guru yang meraih nilai 80. Bahkan, ada guru yang meraih nilai terendah, 1.

Sungguh memiriskan hati! Namun, jika ditelaah lebih dalam, rendahnya kualitas guru sebenarnya terkait dengan paradigma pendidikan mereka yang konservatif. Oleh karena itu, diperlukan suatu antitesis bagi guru konservatif. Itulah guru progresif yang kritis dalam merespons situasi dan kondisi dunia pendidikan nasional dan lokal seraya aktif dalam berbagai program pemberdayaan masyarakat.

Akar Filosofis 

Konservatisme dalam wacana filsafat pendidikan serupa dengan perenialisme dan esensialisme (Ellis, Cogan, dan Howey, Introduction to Foundations of Education, 1991). Perenialisme adalah aliran filsafat yang menganggap guru sebagai panutan nilai dan ide, serta murid sebagai penyerap ide-ide tersebut, sementara esensialisme menganggap guru sebagai tokoh yang melakukan pendisiplinan mental dan sebagai pemimpin moral atau spiritual, dan murid sebagai penerima secara satu arah dari keahlian yang ditanamkan guru.

Di sisi lain, guru progresif seyogianya menganut progresivisme, yaitu paradigma yang menganggap guru sebagai challenger and inquiry leader (sebagai pengkritik dan pemandu penelitian). Dalam progresivisme, guru bertujuan mendidik murid untuk bisa memecahkan permasalahan yang selalu berubah di tengah tantangan zaman yang dinamis dan bertujuan mengenalkan murid terhadap beragam pengalaman sosial konkret supaya tidak terperangkap di menara gading. 

Menurut progresivisme pula, guru yang baik memandang murid sebagai pembelajar yang mampu berpikir mandiri dan mampu menelusuri minat dan kebutuhannya sendiri. Guru berperan sebagai pembimbing murid dalam kegiatan pemecahan masalah mereka. Juga, membantu murid dalam mendefinisikan masalah yang penting, mencari sumber data yang relevan, menafsirkan, dan menilai keakuratan data dan merumuskan kesimpulan. Selain itu, guru wajib memahami pada saat apa murid memerlukan petunjuk dalam penelitian mereka. 

Oleh karena itu, guru progresif haruslah sabar, fleksibel, berpikir interdisipliner, kreatif, dan cerdas. Jadi, guru transformatif tidak mencekoki murid secara satu arah dengan bahan ajarnya, melainkan merangsang diskusi, membuka ruang terhadap kritik, melakukan dialektika antara teori dan fakta atau idealitas dan realitas, menanamkan nilai-nilai humanis, serta mengundang partisipasi murid dalam kegiatan belajar-mengajar. 

Idealnya, guru progresif menyadari bahwa menjadi guru bukanlah pekerjaan biasa, tetapi juga memenuhi panggilan hati dan melakukan perjalanan spiritual. Merujuk Parker Parmer dalam the Courage to Teach (2007), seorang guru dalam menjalankan profesinya harus senantiasa mengaitkan tiga hal: diri sendiri dengan murid dan bidang pengetahuan/keterampilan yang diampunya. Dengan kata lain, guru harus mengenali dirinya sendiri untuk merumuskan gaya dan teknik mengajar terbaik bagi dirinya serta muridnya. Jadi, guru transformatif tak kenal lelah dalam melakukan dialog introspektif dan reflektif dengan dirinya sendiri.

Kemudian, guru progresif memiliki kecintaan pada apa yang diajarkan. Tak kalah penting, guru transformatif harus memiliki keyakinan bahwa apa yang diajarkan akan membawa perubahan dan kebaikan dalam kehidupan murid sebagaimana pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang terkandung dalam bidang yang diampu membawa kebaikan bagi sang guru.

Tak ketinggalan, guru progresif mesti menyapa tiap pribadi peserta didik, menyentuh hati, dan membebaskan murid untuk menemukan guru dari dalam diri sendiri (the teacher within). Terakhir, guru progresif memperlakukan kegiatan mengajar sebagai seni. Aspek paling penting dan utama menjadi guru adalah kecintaan dan semangat (passion) pada bidang pendidikan. Artinya, selalu ada keinginan untuk membuat siswa belajar dengan senang dan mencapai keberhasilan. Kecintaan pada pendidikan juga berarti tekad untuk belajar sepanjang hayat. Jadi, guru harus terus meningkatkan profesionalitasnya. Contoh paling mendesak adalah guru harus mengakrabkan diri dengan perkembangan teknologi informasi (TI). 

Sekolah Transformatif

Untuk mencari pelaksanaan konkret konsep guru progresif ini, kita bisa menengok sejumlah teladan sekolah transformatif, yaitu sekolah yang menjadi wahana bagi murid melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik sesuai potensi khas masing-masing.

Pertama, sekolah Summerhill di Inggris. Sebagaimana diceritakan pendiri sekolah, AS Neill, dalam Summerhill School (Serambi, 2006), sekolah ini memberikan kebebasan anak didiknya untuk menentukan jam pelajaran, mata pelajaran yang diambil, dan lama belajar. Summerhill juga mengajarkan keterampilan praktis (life skills) seperti bertukang dan berkebun. Sekolah ini bahkan memungkinkan siswa membatalkan kebijakan kepala sekolah melalui rapat siswa. Hasilnya, murid-murid Summerhill menjadi terampil, cerdas, percaya diri, pemberani, dan punya kemampuan untuk menjalani hidup.

Kedua, INS Kayutanam (INS-K) di Sumatra Barat yang diketuai oleh Tengku Sjafei. Sebagaimana dituturkan AA Navis dalam Autobiografi (Gramedia, 1995), guru-guru di sekolah ini memberikan pelajaran bertukang, berkebun, dan bermain alat musik kepada siswa. Singkat kata, INS-K meyakini prinsip belajar praktik. Potensi unik masing-masing pribadi anak didik juga mendapat perhatian karena setiap murid bebas mengambil kelas yang sesuai dengan bidang mereka. 

Ketiga, sekolah Tomoe di Jepang yang dikisahkan Tetsuko Kuroyanagi dalam Totto-Chan (Gramedia, 2006). Sekolah Tomoe begitu membebaskan dan mengajak berpikir kreatif. Kelasnya saja terdiri atas rangkaian gerbong kereta api listrik. Di sini, ada keharusan bercerita secara bergilir bagi anak-anak. Karena ceritanya boleh bertemakan apa saja, daya kreatif siswa dirangsang menyusun kisah menarik. Bahkan jika pelajaran dan tugas telah selesai, siswa diajak berjalan keluar menikmati alam, pepohonan, dan hewan sembari belajar banyak hal: ilmu alam, biologi, dan sebagainya. Buku-buku perpustakaan sekolah pun bebas dibaca untuk segala tingkatan. 

Akhir kata, sudah saatnya sistem pendidikan kita mulai menganut mazhab guru progresif yang mengajar di sekolah transformatif. Namun, di tengah segala tuntutan yang dibebankan pada guru untuk menjadi progresif, guru harus diberikan keamanan finansial yang cukup dan keamanan politis memadai. Guru juga memerlukan akses informasi dalam kancah global untuk memoles keterampilan mengajarnya melalui e-learning. Oleh karena itu, pemerintah harus menyejahterakan kehidupan kaum guru dan memberikan fasilitas training berkelanjutan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar