Senin, 02 September 2013

Dua Membaca Timur Tengah

Dua Membaca Timur Tengah
Novriantoni Kahar ;   Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah
KORAN TEMPO, 02 September 2013


Jika ingin membaca ke mana arah Musim Semi Arab setelah tumbangnya Muhammad Mursi di Mesir dan kian memprihatinkannya kondisi Suriah saat ini, ada baiknya Anda teroka lewat kacamata dua figur penting ini: Yusuf al-Qardlawi dan Tariq Ramadan. Al-Qardlawi adalah ulama Sunni paling ternama yang dianggap sebagai pemimpin spiritual Al-Ikhwan al-Muslimun (selanjutnya sebut saja Ikhwan) Mesir saat ini. Sedangkan Tariq Ramadan adalah cucu pendiri Ikhwan, Hassan al-Banna, yang kini mengajar studi Islam di Universitas Oxford, Inggris.
Pembacaan mereka atas Musim Semi Arab itu, sederhananya saya petakan menjadi dua: pembacaan yang optimistis naif dan pembacaan yang optimistis mawas. Al-Qardlawi mewakili simbol pembacaan yang optimistis naif, sementara Ramadan adalah simbol pembacaan yang optimistis mawas. Keduanya sama-sama punya latar belakang Islamisme yang kental dan terpaksa hidup di pengasingan karena latar belakang Ikhwan mereka. Keduanya juga telah mengabdikan diri untuk melakukan kritik internal terhadap Ikhwan. 
Buku Al-Qardlawi tentang fikih kenegaraan (Min Fiqh ad-Daulah fi al-Islam) dan pentingnya moderasi beragama (Al-Shahwah al-Islamiyyah baina al-Juhud wa al-Tatharruf), saya kira, telah ikut mendorong Ikhwan untuk menerima demokrasi dan menolak ekstremisme beragama ala kaum ultrakonservatif salafi. Sumbangsih pikiran dan aktivisme Ramadan pun tak kalah besarnya, terutama bagi kaum muslim diaspora Eropa dan Amerika. 
Yang relevan untuk kritik internal terhadap Ikhwan adalah tiga bukunya, Radical Reform: Islamic Ethic and Liberation; The Quest for Meaning: Developing the Philosophy of Pluralism; dan The Arab Awakening: Islam and The Middle East. Ulasan-ulasan Ramadan tentang perkembangan Musim Semi Arab pun sangat bernas dan mungkin saja dapat membuat Ikhwan cukup waspada kala berkuasa. Namun apa daya….
Di balik kesamaan itu, keduanya banyak pula berbeda. Terhadap Ikhwan, Al-Qardlawi tampak cenderung romantis dan lebih aktivis ketimbang Ramadan. Keduanya memang menaruh optimisme pada perubahan penting Timur Tengah, tapi Al-Qardlawi agak naif dan cenderung emosional, sementara Ramadan cenderung waspada dan lebih rasional. Hal ini terlihat dari sikap keduanya dalam merespons tumbangnya Husni Mubarak pada 25 Januari 2011. Sejurus setelah Mubarak tumbang, Al-Qardlawi segera pulang ke ibu pertiwi-nya di Mesir dan ikut tampil sebagai simbol kemenangan melawan Mubarak.
Ramadan mengambil sikap berbeda dan tidak larut dalam euforia. Dalam berbagai wawancara, dia menyatakan enggan segera kembali ke tanah leluhurnya, Mesir. Bagi Ramadan, sekalipun Mubarak telah tumbang dan Ikhwan mulai berkuasa, situasi Mesir tetap rawan untuk kembali jatuh ke jurang otoritarianisme. Dalam wawancara dengan Le Parisien (18 Agustus 2013), Ramadan menyatakan telah menyimpan optimisme yang mawas (cautious optimism) dalam menghadapi situasi perubahan Timur Tengah yang begitu dinamis. 
Berdasarkan bacaannya terhadap konstelasi global dan regional, Ramadan justru khawatir kalau-kalau pergolakan yang begitu dinamis itu justru lebih banyak mengganggu stabilitas kawasan daripada meratakan jalan bagi demokrasi. Bahkan secara satiris, Ramadan menyebut pergolakan Timur Tengah ini bukanlah pertanda musim semi telah tiba, melainkan tiada lebih kicau burung pembangun gairah di pagi buta. 
Manakah di antara kedua bacaan itu yang lebih akurat? Sejauh ini, jelas bacaan Ramadan tampak lebih valid ketimbang Al-Qardlawi. Hal ini terlihat dari pembalikan situasi di Mesir yang begitu cepat, beberapa kisruh di Tunisia, serta darah dan air mata yang terus tumpah di Suriah. Pertanyaannya, kenapa Ramadan bisa lebih cermat dibanding Al-Qardlawi? Bagi saya, ada beberapa penjelasan.
Pertama, jika mengunjungi website pribadi Al-Qardlawi, Anda segera tahu bahwa ulama besar ini masih terjebak dalam pembacaan teologis yang simplistis terhadap gelombang perubahan yang kini terjadi di Timur Tengah. Sedangkan Ramadan, bacaannya beranjak dari pengamatan yang mendalam dan utuh terhadap konstelasi kekuatan global dan regional Timur Tengah yang kini sedang bergulat. 
Kedua, selain mencermati berbagai kompleksitas transisi demokrasi di berbagai negara, Ramadan memahami persoalan Mesir secara mendalam. Ramadan tahu betul, naiknya Ikhwan ke tampuk kekuasaan lewat cara demokratis tidak serta-merta membuatnya mampu menguasai keadaan. Mereka harus ekstra-hati-hati berhadapan dengan lapisan serat-serat kenegaraan yang membentuk suatu struktur negara di dalam negara (deep state). Ketidakmampuan mengelola lapisan-lapisan itu (birokrasi, tentara, dan kepolisian) akan mampu membuat siapa pun tersandung kapan saja. Kini politik menjadi tragedi bagi Ikhwan: dari penguasa menjadi tertuduh perongrong negara.
Ketiga, dalam konteks Timur Tengah, rezim stabilitas status quo politik-ekonomi, bagi Ramadan, masih sangat dominan dan digdaya. Rezim stabilitas yang tajir, seperti Saudi dan negara-negara Teluk, sangat cemas serta waspada menghadapi pergolakan kawasan. Setelah menyaksikan otokrat Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman tumbang begitu hina, mereka siap mengorbankan apa saja untuk bertahan. Karena itu, dukungan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait terhadap kudeta atas Mursi di Mesir (3 Juli) lewat kucuran dana empat kali lipat lebih besar daripada bantuan Amerika dan Uni Eropa (US$ 12 miliar berbanding US$ 2,8 miliar) bisa dibaca sebagai pukulan balik rezim stabilitas terhadap tunas-tunas muda demokrasi. 
Strategi utama rezim stabilitas menghadapi Musim Semi Arab tunggal belaka: memperkuat stabilitas dalam negeri sembari mempertontonkan dan atau membantu kacaunya perubahan di luar negeri. Di negara-negara yang menapaki jalan demokrasi, seperti Tunisia, Mesir, dan Libya, rezim stabilitas membantu kalangan ultrakonservatif Islam menunjukkan betapa dangkalnya demokrasi dan betapa kacaunya percobaan hidup di alam terkutuk itu.
Muara dari semua ini tidak lain untuk menunjukkan kepada rakyat di negara masing-masing betapa kejamnya azab sengsara yang menimpa mereka-mereka yang menaruh aspirasi kebebasan dan keadilan. Strategi inilah yang ditangkap dan dicermati Ramadan serta luput dari bacaan Al-Qardlawi, yang justru ikut di dalam arus anti-Syiah dalam menyikapi perang saudara di Suriah. Ramadan sadar, sikap sektarian yang juga sempat diidap Mursi tatkala berkuasa tidak akan membawa Arab ke jantung peradaban, melainkan justru melenakan mereka dari aspirasi sentral mereka: perjuangan kebebasan dan keadilan.
Ringkasnya, aspirasi demokrasi yang dibawa angin Musim Semi Arab ini adalah monster yang sangat menakutkan bagi semua rezim stabilitas Timur Tengah. Mulus-suksesnya proses ini dapat menjadi preseden bagi upaya penumbangan rezim di negara lainnya. Karena itu, apa yang tampak sebagai dukungan Saudi terhadap stabilitas Mesir pasca-kudeta, pada hakikatnya, adalah upaya menghentikan aspirasi serupa di dalam negeri. Masih harus dilihat lagi, apakah percaturan ini telah dimenangi rezim stabilitas atau hanya merupakan tikungan-tikungan tajam Timur Tengah dalam menapaki jalan demokrasi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar