Jumat, 06 September 2013

Mimpi Menjadi Bangsa Mandiri

Mimpi Menjadi Bangsa Mandiri
Benny Susetyo ;  Pemerhati Sosial
MEDIA INDONESIA, 06 September 2013


KRISIS ekonomi Indonesia pada 1998 lalu yang ditandai dengan jatuhnya mata uang rupiah terhadap dolar begitu membekas. Itu menjadi alasan tersendiri saat nilai rupiah terpuruk, semua mata pun mengingat ke belakang dan berharap agar krisis hebat seperti itu tidak terulang.

Namun, di luar konteks analisis makroekonomi mengenai keterpurukan rupiah akhirakhir ini, sebetulnya semua itu menunjukkan negeri kita jauh dari sebutan sebagai negeri yang kukuh, baik dalam fundamental ekonomi maupun sosial. Termasuk dalam hal ini ialah tata kelola pemerintahan dan demokrasi politik.
Bekas dari krisis ekonomi dan politik di masa lalu belum hilang sepenuhnya, bahkan kita belum layak mengatakan lolos dari jeratan berbagai potensi krisis terlebih karena dalam kehidupan nyata justru masyarakat masih terus-menerus mengalami kesulitan yang bertambah bobot kuantitas dan kualitasnya.

Kemandirian hanya mimpi?
Kenaikan harga-harga, semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan layak, dan kemiskinan yang semakin berat dirasakan dalam hidup tiap individu merupakan fenomena negeri ini masih jauh dari kemakmuran. Bahkan akibat penguasa yang terlalu mudah menggadaikan aset-aset berharga negeri ini, kemandirian bangsa pun semakin nyata hanya menjadi sebuah mimpi.

Tata keadaban politik makin suram saat para penguasa dan pengusahanya dipenuhi lingkaran dusta. Tak berlebihan bila dikatakan krisis bangsa ini lebih banyak akibat elite yang gagal membangun tata nilai keadaban politik. Demokrasi politik dan ekonomi pun hanya menjadi isapan jempol.

Politik dipenuhi dengan korupsi dalam berbagai modus operandi. Kekuasaan pun cenderung merusak moralitas publik, tidak memberikan pencerahan sebagai warga bangsa yang berkarakter.

Sebagai bangsa, kemandirian diri kita sering tidak bisa kita tunjukkan. Apa yang menjadi prinsip-prinsip kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau tidak, lebih banyak ditentukan bukan oleh diri kita sendiri.

Kendati merdeka sudah berpuluh tahun, kita hanya merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa merdeka, kita justru lebih banyak melahirkan manusia dengan jiwa terpenjara. Manusia yang terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa sendiri maupun bangsa lain.

Faktanya ialah sebagian besar rakyat kecil masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan oleh elite politik, penguasa, dan pemodal.
Alam yang seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian sangat kecil orang.

Sebagian kecil orang itu mungkin sudah merasa merde ka, tetapi sebagian sangat besar masyarakat belum merasakan kemerdekaan dalam arti demikian. Sumber alam bukan untuk kepentingan mereka, melainkan demi kepentingan para pemilik modal.

Orientasi kemandirian

Bangsa ini semakin lama semakin kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian dalam menentukan hari depannya. Hari depan kita semakin suram karena rakyat miskin semakin miskin. Realitas itu tidak membuat kita sebagai bangsa tergugah.

Reformasi yang selama ini diharapkan memberi ruang bagi ekspresi kebebasan rakyat dari eksploitasi penjajahan--baik secara politik, sosial, maupun ekonomi--realitasnya belum sepenuhnya demikian. Realitasnya selama ini kita merdeka masih dalam keadaan dibelenggu elite-elite kita sendiri dan kekuatan modal.

Kenyataan itu yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi tata dunia yang tidak lagi mengenal belas kasih terhadap manusia miskin. Jumlah kaum miskin di negeri kita terus meningkat karena proses pemiskinan itu terjadi melalui polapola yang halus dan sistematis. Salah satu cara utamanya ialah dengan menciptakan ketergantungan kepada sistem ekonomi global.

Kita tak beranjak menunjukkan diri sebagai bangsa berkarakter. Bangsa yang berkarakter ialah bangsa yang berani mengambil risiko terhadap pilihan alternatif dalam mengembangkan jati diri kebang saannya. Jati diri kita memang telah dirumuskan dengan baik dalam tujuan kemerdekaan, yakni untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan kebodohan. Na mun, kenyata annya, justru sebaliknya yang ter jadi.

Namun, jati diri itu terkubur karena elite politik lebih suka kompromi dengan para pemilik modal besar jika dibandingkan dengan rakyat. Itulah yang membuat orientasi dasar kemanusiaan dan keadilan tidak berkembang karena pendidikan hanya untuk menciptakan manusia pragmatis.

Akibatnya ruang publik kita hanya diisi kaum petualang yang menggunakan gelar hebat, tapi tidak isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. Namun, realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidak cipta untuk mengubah ketidak berdayaan menjadi keber dayaan. Itu terjadi karena kita, sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta.

Semakin hari negeri ini pun mulai kehilangan politikus yang cinta bangsa dan rakyatnya, elite yang setia mendampingi masyarakatnya, agamawan yang bijak pada umatnya. Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia berkorban untuk menegakkan kemandirian bangsa.

Pemimpin alternatif

Masa reformasi Indonesia belum menghasilkan pemimpin autentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup empati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya. Indonesia membutuhkan pemimpin yang sungguh-sungguh berperan sebagai leader, bukan dealer.

Pemimpin yang memiliki karakter transformasional daripada melulu transaksional. Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak ialah mereka yang memimpin dengan kecenderungan dealer layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru seringkali melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan daripada kepentingan kemakmuran rakyat semesta.

Pola bekerja para pemimpin kita lebih cenderung pada upaya pengamanan kursi kekuasaan daripada menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk memajukan negeri. Para pemimpin tidak menegakkan harga diri bangsa dalam tindakan-tindakan kepemimpinannya. Justru kita semakin kehilangan kepercayaan diri sebagai bangsa.


Bila itu terjadi terusmenerus, hantaman krisis sekecil apa pun akan membuat bangsa ini goyah dan panik. Menjadi bangsa yang memilih fondasi ekonomi kukuh pun hanya mimpi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar