|
KRISIS ekonomi
Indonesia pada 1998 lalu yang ditandai dengan jatuhnya mata uang rupiah
terhadap dolar begitu membekas. Itu menjadi alasan tersendiri saat nilai rupiah
terpuruk, semua mata pun mengingat ke belakang dan berharap agar krisis hebat
seperti itu tidak terulang.
Namun, di luar konteks analisis
makroekonomi mengenai keterpurukan rupiah akhirakhir ini, sebetulnya semua itu
menunjukkan negeri kita jauh dari sebutan sebagai negeri yang kukuh, baik dalam
fundamental ekonomi maupun sosial. Termasuk dalam hal ini ialah tata kelola
pemerintahan dan demokrasi politik.
Bekas dari krisis ekonomi dan politik di masa lalu belum hilang sepenuhnya,
bahkan kita belum layak mengatakan lolos dari jeratan berbagai potensi krisis
terlebih karena dalam kehidupan nyata justru masyarakat masih terus-menerus
mengalami kesulitan yang bertambah bobot kuantitas dan kualitasnya.
Kemandirian hanya mimpi?
Kenaikan harga-harga, semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan layak, dan
kemiskinan yang semakin berat dirasakan dalam hidup tiap individu merupakan
fenomena negeri ini masih jauh dari kemakmuran. Bahkan akibat penguasa yang
terlalu mudah menggadaikan aset-aset berharga negeri ini, kemandirian bangsa
pun semakin nyata hanya menjadi sebuah mimpi.
Tata keadaban politik makin suram
saat para penguasa dan pengusahanya dipenuhi lingkaran dusta. Tak berlebihan bila
dikatakan krisis bangsa ini lebih banyak akibat elite yang gagal membangun tata
nilai keadaban politik. Demokrasi politik dan ekonomi pun hanya menjadi isapan
jempol.
Politik dipenuhi dengan korupsi
dalam berbagai modus operandi. Kekuasaan pun cenderung merusak moralitas
publik, tidak memberikan pencerahan sebagai warga bangsa yang berkarakter.
Sebagai bangsa, kemandirian diri
kita sering tidak bisa kita tunjukkan. Apa yang menjadi prinsip-prinsip
kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau tidak, lebih banyak ditentukan
bukan oleh diri kita sendiri.
Kendati merdeka sudah berpuluh
tahun, kita hanya merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa merdeka,
kita justru lebih banyak melahirkan manusia dengan jiwa terpenjara. Manusia
yang terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa sendiri
maupun bangsa lain.
Faktanya ialah sebagian besar
rakyat kecil masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan oleh elite
politik, penguasa, dan pemodal.
Alam yang seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan
untuk kemakmuran sebagian sangat kecil orang.
Sebagian kecil orang itu mungkin
sudah merasa merde ka, tetapi sebagian sangat besar masyarakat belum merasakan
kemerdekaan dalam arti demikian. Sumber alam bukan untuk kepentingan mereka,
melainkan demi kepentingan para pemilik modal.
Orientasi kemandirian
Bangsa ini semakin lama semakin
kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian dalam
menentukan hari depannya. Hari depan kita semakin suram karena rakyat miskin
semakin miskin. Realitas itu tidak membuat kita sebagai bangsa tergugah.
Reformasi yang selama ini
diharapkan memberi ruang bagi ekspresi kebebasan rakyat dari eksploitasi
penjajahan--baik secara politik, sosial, maupun ekonomi--realitasnya belum
sepenuhnya demikian. Realitasnya selama ini kita merdeka masih dalam keadaan
dibelenggu elite-elite kita sendiri dan kekuatan modal.
Kenyataan itu yang membuat bangsa
ini semakin tak berdaya menghadapi tata dunia yang tidak lagi mengenal belas
kasih terhadap manusia miskin. Jumlah kaum miskin di negeri kita terus
meningkat karena proses pemiskinan itu terjadi melalui polapola yang halus dan
sistematis. Salah satu cara utamanya ialah dengan menciptakan ketergantungan
kepada sistem ekonomi global.
Kita tak beranjak menunjukkan
diri sebagai bangsa berkarakter. Bangsa yang berkarakter ialah bangsa yang
berani mengambil risiko terhadap pilihan alternatif dalam mengembangkan jati
diri kebang saannya. Jati diri kita memang telah dirumuskan dengan baik dalam
tujuan kemerdekaan, yakni untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan kebodohan.
Na mun, kenyata annya, justru sebaliknya yang ter jadi.
Namun, jati diri itu terkubur karena
elite politik lebih suka kompromi dengan para pemilik modal besar jika
dibandingkan dengan rakyat. Itulah yang membuat orientasi dasar kemanusiaan dan
keadilan tidak berkembang karena pendidikan hanya untuk menciptakan manusia
pragmatis.
Akibatnya ruang publik kita hanya
diisi kaum petualang yang menggunakan gelar hebat, tapi tidak isinya. Polemik
terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media. Namun,
realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah
ketidak cipta untuk mengubah ketidak berdayaan menjadi keber dayaan. Itu
terjadi karena kita, sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta.
Semakin hari negeri ini pun mulai
kehilangan politikus yang cinta bangsa dan rakyatnya, elite yang setia
mendampingi masyarakatnya, agamawan yang bijak pada umatnya. Negeri ini
kehilangan semangat para pahlawan yang setia berkorban untuk menegakkan
kemandirian bangsa.
Pemimpin alternatif
Masa reformasi Indonesia belum
menghasilkan pemimpin autentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju
gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup empati secara
mendalam dengan kemauan rakyatnya. Indonesia membutuhkan pemimpin yang
sungguh-sungguh berperan sebagai leader, bukan dealer.
Pemimpin yang memiliki karakter
transformasional daripada melulu transaksional. Masih terlalu sedikit contoh
untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak
ialah mereka yang memimpin dengan kecenderungan dealer layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik
dan ekonomi justru seringkali melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan.
Tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan
daripada kepentingan kemakmuran rakyat semesta.
Pola bekerja para pemimpin kita
lebih cenderung pada upaya pengamanan kursi kekuasaan daripada menggunakan
kekuasaan sebagai alat untuk memajukan negeri. Para pemimpin tidak menegakkan
harga diri bangsa dalam tindakan-tindakan kepemimpinannya. Justru kita semakin
kehilangan kepercayaan diri sebagai bangsa.
Bila itu terjadi terusmenerus,
hantaman krisis sekecil apa pun akan membuat bangsa ini goyah dan panik.
Menjadi bangsa yang memilih fondasi ekonomi kukuh pun hanya mimpi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar