Senin, 23 September 2013

Jungkir Balik

Jungkir Balik
Kristi Poerwandari ;   Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 22 September 2013


Seorang gadis kecil usia 12 tahun (sebut saja T) diajak ibunya berkunjung ke tempat kerja saya. Orangtuanya gundah karena sejak adanya berita tentang kekerasan, penembakan, dan pembunuhan, ia terus-menerus cemas. Ia mudah menangis, tiap sepuluh menit sekali menelepon ibu dan bapaknya yang sedang bekerja, minta tidur bersama orangtua. Ia tidak mau ditinggal kalau sedang bersama, ke kamar kecil pun harus diantar, dan mendesak ibunya untuk mencari pekerjaan yang lebih dekat dengan rumah saja.

Ketika ditanya mengapa, ia bilang khawatir kehilangan ayah-ibunya, takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada orangtua. Ia membombardir ibunya dengan pertanyaan balik ”mengapa”: ”Mengapa ada ibu dan anak kena peluru nyasar, mengapa perempuan dibunuh, mengapa polisi ditembak sampai meninggal? Itu, kan, ada keluarga dan anak-anaknya.” Setelah ada anak kecil menyetir yang membunuh enam nyawa, ia terguncang lagi dan bertanya: ”Mengapa orang naik mobil sembarangan, mengapa anak kecil dibiarkan nyetir dan mengebut, bikin orang lain cacat dan meninggal.”

Duduk di sampingnya yang menangis tersedu-sedu, saya seperti menyaksikan diri sendiri di depan mata, ia seolah cermin bagi banyak dari kita. Banyak sekali chaos dalam masyarakat, yang menjungkirbalikkan semua tatanan dan mengacaukan akal sehat kita. Lapas diserang, narkoba diproduksi di lapas, anak usia 13 tahun diajar bangga untuk menyetir mobil oleh orangtuanya, guru mencabuli murid dan muridnya yang dipersalahkan oleh lingkungan, polisi ditembak, pejabat membawa uang dalam kardus, dosen tertangkap tangan menerima suap, dan sebut saja apalagi lainnya.

Hal di atas mengacaukan rasa aman dalam masyarakat meski direspons secara berbeda-beda oleh kita. Orang-orang dewasa mencoba sekuat mungkin bertahan karena harus menghidupi keluarga dan anak-anaknya. Maka, ada yang tidak lagi mau membaca koran atau menonton liputan berita di TV. Yang lain malah sibuk mendiskusikan berbagai penjelasan dan teori konspirasi, sekadar untuk dapat memperoleh ”jawaban sementara” yang lebih diyakini agar ”dapat merasa seimbang lagi” dan terus bertahan. Yang lain lagi tidak mau memikirkan apa pun di luar dirinya, sibuk kerja mengejar ambisi. Ada pula yang bereaksi ”kalau mau bertahan dalam lingkungan yang gila ya harus ikut bertindak gila”. Maka, makin jungkir baliklah masyarakat kita.

Saya tercenung waktu Ibu T dengan harap cemas bertanya: ”Jadi bagaimana Mbak, harus diapakan anak saya?” Hampir tidak menemukan jawaban karena saya pun terguncang oleh bombardir berita mengejutkan itu. Merasa marah, tidak berdaya, dan tidak mengerti harus berbuat apa untuk melindungi anak-anak yang harus dibukakan mengenai nilai-nilai baik kehidupan dan optimisme menjalani hidup. Untuk memastikan agar anak-anak dapat difasilitasi dan memiliki contoh untuk berpengalaman baik, berpikir baik, berperasaan baik, dan melakukan perbuatan baik.

Menenangkan diri

Tiba-tiba saya ingat pernah mengalami stuck yang sama saat menghadapi seorang ibu yang terbelit masalah parah akibat utang-utang suami ratusan juta rupiah, sambil harus menghadapi dua anak remajanya yang sangat sulit dikelola karena sedang mencari jati diri. Ia harus menafkahi keluarga, mengurus rumah, sambil pula mencari cara membayar utang suami. Singkat kata, lengkaplah kekacauan hidupnya.

Ia mengaku dekat dengan Tuhan, selalu shalat lima waktu. Dalam kegamangan, saya tidak mengerti harus berbuat apa, saya memberinya beberapa lembar kertas kosong dan bilang: ”Bagaimana bila sekarang Ibu mencoba menulis sebuah doa yang menurut Ibu paling lengkap dan paling bagus, yang akan paling menenangkan? Tuliskan sekonkret mungkin persoalan yang ingin disampaikan pada-Nya, tuliskan sekonkret mungkin apa yang Ibu harapkan.”

Kami membaca doanya bersama-sama. Saya bertanya apakah benar doa sudah lengkap, apakah ada hal yang terlupa, apakah ada yang perlu ditambahkan agar si ibu sungguh merasa lebih aman. Akhirnya dengan beberapa perubahan dan penambahan kecil, ibu itu merasa doa itu sempurna. Ia tersenyum bahagia dan sangat lega, berulang-ulang menyatakan terima kasih dan keyakinannya bahwa ia akan mampu menemukan jalan mengatasi persoalan hidupnya.

Si gadis cilik ternyata juga senang mengerjakan tugas membuat doa. Saya bilang, doanya ”yang kamu anggap paling lengkap, paling membuat kamu merasa aman”. Saya sama sekali tidak yakin apa yang saya lakukan, dan bilang pada ibunya, ”Ya sudah kita lihat saja beberapa hari ini, kalau masalahnya masih terus ada, nanti kita pikirkan lagi harus bagaimana.” Besoknya si gadis menitipkan surat melalui ibunya, ia menulis, ”Terima kasih Tante, aku sudah lebih tenang. Aku masih kadang merasa takut, tapi kalau takut, aku akan membaca doa itu dan jadi lebih tenang.”

Kita harus berhati-hati dan saya tidak menganjurkan cara di atas untuk dilakukan tergesa-gesa, apalagi pada mereka yang meragukan keberadaan Tuhan, atau sedang merasa berkonflik dengan agamanya. Tuhan juga harus dimaknai universal, dengan sebutan yang paling dirasa nyaman, entah itu ”Sang Hidup”, ”Pemilik Hidup” atau sebutan lain.

Sebenarnya saya hanya ingin berbagi sesuatu yang sederhana. Melalui pengalaman di atas saya diyakinkan, teori psikologi yang rasional dan ilmu pengetahuan apa pun memiliki keterbatasannya. Ketika hidup sudah jungkir balik tidak dapat dijelaskan melalui akal sehat, ilmu tidak dapat tuntas menjawab. Bagaimana pun banyak dari kita akan mencoba terus berjalan dengan keyakinan ada kekuatan jauh lebih besar daripada kekuatan kita di jagat raya. Semoga kekuatan itu mengarahkan kita ke jalan yang baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar