Jumat, 13 September 2013

Teror dan Alter Ego Polri

Teror dan Alter Ego Polri
Muradi  ;   Dosen Sarjana & Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung dan Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Unpad
KORAN SINDO, 13 September 2013


Penyerangan terhadap anggota Polri dalam setahun terakhir cenderung berani dan meningkat. Bripka Sukardi, anggota Provos Polri yang tengah melakukan pengawalan dieksekusi di jalanan, depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 Sukardi menambah jumlah korban tewas dari Polri yang dijadikan sasaran penyerangan dan agresivitas. Selain personel Polri, sasaran agresivitas dan penyerangan juga merambah pada fasilitas yang dimiliki Polri. Peningkatan penyerangan personel dan fasilitas Polri dalam derajat tertentu telah melampai ambang batas respons negatif atas kinerja Polri yang dinilai buruk dan di luar ekspektasi publik. 

Dalam konteks ini, keberanian masyarakat menyerang balik personel dan merusak fasilitasnya dapat diinterpretasikan sebagai sikap frustrasi publik atas kinerja dan perilaku buruk oknum anggota Polri dalam penegakan hukum di Indonesia. Bisa saja penyerangan personel dan perusakan fasilitas Polri dilakukan bukan oleh masyarakat umum kebanyakan, melainkan oleh sejumlah kelompok masyarakat yang membaca sikap publik dan menginterpretasikannya dalam bentuk penyerangan balik atas personel dan fasilitas Polri. 

Subramaniam (2007) menggarisbawahi bahwa langkah berani masyarakat merespons kinerjakepolisiandibanyaknegara, secara harfiah dipahami sebagai bentuk pengadilan jalanan (street justice) negatif yang menjadikan personel dan fasilitas kepolisian sebagai target sasarannya. Situasi tersebut terjadi di negara di mana institusi kepolisiannya korupdan tidak lagi dapat dipercaya menjamin rasa aman masyarakatnya. 

Menegaskan apa yang Subramaniam, Uildriks (2010) memberikan catatan penting bahwa keberanian publik menyerang personel dan fasilitas kepolisian sebagai akibat ketidakmampuan kepolisian menjalankan peran dan fungsinya secara profesional ditopang dan didukung oleh kelompok masyarakat yang memiliki akses ekonomi dan persenjataan yang kuat.

 Dalam konteks Indonesia, penyerangan atas fasilitas Polri dan personelnya diindikasikan dilakukan oleh lima kelompok oknum, yakni kelompok terorisme, jejaring narkoba, kelompokpreman, gengmotor, danoknum TNI. Dari lima oknum masyarakat tersebut identik dengan apa yang Subramaniam dan Uildriks, yang mana oknum kelompok masyarakat tersebut disinyalir merespons negatif apa yang Polri lakukan selama ini; cenderung korup, tebang pilih kasus, memanfaatkan fasilitas kriminal, dan tidak profesional. 

Penyerangan personel dan perusakan fasilitas Polri adalah bagian dari skema baru gerakan terorisme dan kelompok fundamentalisme di Indonesia. Asumsi dan opini ini banyak dikembangkan dan dikemukakan oleh internal Polri serta pemerhati terorisme dengan beberapa indikator penguat, di antaranya sistematika dan pola penyerangan yang spesifik pada institusi Polri. Respons negatif datang dari organisasi preman dan kelompok masyarakat yang dijadikan sasaran dari operasional untuk mengerek citra baik Polri. 

Kelompok preman seperti John Kei dan Hercules, misalnya, merasakan benar operasi Polri yang hanya mengangkat citra Polri daripada bersungguh-sungguh memberantas jaringan preman tersebut. Sebaliknya, penyerangan dan perusakan tersebut merupakan bagian dari aksi balas dendam jejaring geng motor yang telah pula dijadikan bulanbulanan operasi Polri untuk mengangkat kinerja baik Polri. 

Adapun jejaring narkoba disinyalir mendukung dan atau melakukan ini menjadi salah satu yang dirugikan dari pola operasi Polri berkaitan dengan peredaran barang haram tersebut yang menyasar dan membatasi ruang geraknya. Dan terakhir, keterlibatan oknum TNI yang merasakan betul agresivitas Polri dalam menutup ruang gerak TNI setelah pemisahan. Penyerangan salah satu polres di Sumatera Selatan dan kasus Cebongan memperkuat asumsi tersebut. 

Lima kemungkinan oknum masyarakat sebagai pelaku dari penyerangan pada personel dan fasilitas Polri memiliki benang merah bahwa yang menjadi pemicu dari penyerangan personel dan fasilitas Polri berkaitan dengan kredibilitas Polri sebagai penegak hukum dan keamanan dalam negeri. Kredibilitas tersebut menyangkut konsistensi, komitmen dan kebersihan Polri sebagai institusi maupun personel yang ada di dalamnya. 

Ada alter ego Polri yang secara personal anggotanya maupun secara institusi melakukan aktivitas di luar yang seharusnya. Kondisi tersebut memperkuat asumsi dan opini publik bahwa keberadaan Polri belum sepenuhnya berlaku positif. Respons negatif dalam bentuk penyerangan fasilitas dan personel Polri harus dilihat sebagai pengingat bagi Polri untuk menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Sebagai salah satu aktor keamanan negara, Polri seharusnya tidak memiliki alter ego, sebab Polri adalah alat negara yang terpaku pada tugas dan fungsi yang ketat. 

Apalagi secara institusi dan personifikasi, alter ego cenderung menjauh dari kaidah umum dan aturan baku yang berlaku di institusi Polri. Oleh sebab itu dibutuhkan langkah-langkah konkret agar kinerja Polri membaik. Hal tersebut berkorelasi pada berkurangnya aksi penyerangan personel dan fasilitas Polri. Hal tersebut penting dilakukan guna memperkuat posisi dan kredibilitas Polri, setidaknya bila dikaitkan dengan bagaimana sulitnya Polri berlaku positif dalam menjalankan peran dan fungsinya disebabkan masih adanya ”keakuan lain” pada segenap oknum anggota Polri. 

Ada tiga hal yang harus diperhatikan oleh pimpinan Polri agar ”keakuan lain” atau alter ego tidak berkembang di internal Polri. Pertama, Polri harus memperbaiki pola dan cara pemanfaatan jejaring yang berpotensi memperburuk citra Polri. Komunikasi dan pemanfaatan jejaring yang selama ini dilakukan oleh Polri harus diposisikan proporsional dan terukur serta tidak larut. Kedua, dalam menjalankan peran dan fungsinya, terutama dalam kasus-kasus sensitif seperti terorisme, premanisme, geng motor dan narkoba, serta korupsi, Polri seyogianya melakukan proporsional dalam pendekatan dan penyelesaian kasus. 

Tebang pilih terkait dengan kasus serta pemanfaatan jejaring yang salah hanya akan memudarkan esensi peran dan fungsi Polri. Pada konteks ini, pengawasan efektif dari pimpinan akan memberikan stimulasi yang efektif bagi fokus penyelesaian setiap kasus yang ditangani. Ketiga, pendekatan komunikasi yang baik terkait dengan penyampaian apa yang menjadi concern Polri juga harus diperbaiki. Setidaknya ada dua efek positif yang akan didapat Polri, yakni dari publik; karena secara jelas dan tegas Polri dapat menyampaikan apa yang telah dan sedang dilakukan, sehingga unsur keterbukaan dapat direalisasikan. 

Sementara untuk personel secara sistematis dapat menjadi panduan bahwa institusinya berlaku adil dan terbuka dalam setiap menjalankan peran dan fungsinya. Dari tiga hal tersebut di atas, setidaknya Polri secara institusi dapat mengukur respons publik atas apa yang telah dan akan dilakukan. 

Dengan begitu, pertaruhan atas kredibilitas Polri dengan tetap fokus pada peran dan fungsinya selama ini dilakukan dapat dimenangkan. Alter ego, yang selama ini menjadi pembenar atas tindakan dan aktivitas menyimpang Polri dapat terminimalisasi secara sistematis. 

Karena itu, ukuran yang paling kentara adalah respons negatif publik atas penyerangan personel dan fasilitas Polri menjadi masif dan mengecam dan pembela Polri atas apa yang menimpa Polri sebagai institusi maupun secara personal. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar