Sabtu, 07 September 2013

Anomali Aset Negara

Anomali Aset Negara
Tasroh  ;   Anggota Tim Penataan Aset Daerah Banyumas,
Lulusan Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
KORAN JAKARTA, 07 September 2013


Pemerintah dan KPU harus memanfaatkan anggaran dan aset negara lebih efi sien, efektif, dan produktif. Dengan begitu, dana-dana pemilu dapat dialokasikan ke agenda yang jauh lebih substantif, baik dalam agenda pembangunan, pemerintahan, maupun perbaikan layanan publik lainnya.

Kementerian Dalam Negeri merilis penggunaan aset negara oleh KPU pusat hingga daerah (KPUD) tergolong boros. Rata-rata 500 miliar rupiah habis untuk sekali hajatan pilkada provinsi. Di tengah ekonomi rakyat yang kian sulit, hanya untuk memilih kepala daerah, setiap tahun pemerintah menganggarkan 43 triliun rupiah.

KPUD Jawa Timur, pada 29 Agustus lalu, menghabiskan 578 miliar rupiah untuk penyelenggaraan pemilihan gubernur/wakilnya. Ini belum termasuk aset-aset negara untuk penyelenggaraan pilkada kabupaten/kota yang rata-rata 50 miliar rupiah.

Penggunaan dana dan aset negara untuk pilkada memang merupakan mandat UU Pemilu, tetapi sebagai penyelenggara negara, aparat berkewajiban mengendalikannya, bukan justru menjadikannya proyek baru. Pesta demokrasi langsung memang butuh amat banyak uang karena hampir semua komponen tahapan dinilai dengan rupiah dari uang rakyat. Namun, perjalanan pesta demokrasi selama 10 tahun terakhir justru menghasilkan anomali pembiayaan, khususnya tren pemborosan aset negara, baik bergerak (uang anggaran) maupun tak bergerak berupa seluruh fasilitas untuk dan atas nama pilkada.

Anomali itu berawal dari kinerja KPU/D. Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan, Aan Anshori, menyebutkan KPUD tidak berhemat anggaran dan aset negara. Bukan hanya terkait dengan pemborosan yang dibiarkan tanpa kendali, tetapi juga anomali dari spirit warga sendiri terhadap kesadaran menggunakan hak pilihnya dalam pilkada.

Warga Jawa Timur yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) pada pilkada gubernur ternyata cukup tinggi. Ini merefleksikan anggaran KPUD Jatim jauh dari signifikan jika diparalelkan dengan partisipasi publik dalam Pilgub.

Di Kabupaten Jombang, misalnya, dari 1.001.953 pemilih, warga yang ke TPS hanya 567.711. Dengan demikian, golputlah yang menjadi pemenang dalam Pilgub Jatim di Jombang. Sebab pasangan KarSa yang menjadi juara di kota santri ini hanya meraih 248.079 suara, kalah dengan golput. Demikian juga dengan pasangan Khofifah-Herman yang menduduki peringkat kedua, hanya memperoleh 232.515 suara.

Angka tersebut menunjukkan pemenang dalam pilgub Jatim di Jombang tidak legitimate karena kalah dengan golput. Potret tersebut memprihatinkan sekaligus memalukan. Prihatin lantaran KPUD Jatim mengeklaim sudah melakukan langkah-langkah untuk membangun partisipasi warga agar menggunakan haknya, tetapi fakta menunjukkan partisipasi pemilih di bawah 60 persen.

Dalam hukum matematis, angka kesadaran di bawah 60 persen menunjukkan kegagalan pada tingkat fatal. Lebih fatal lagi, meskipun tak diakui KPUD Jatim, berbagai sengkarut pada hampir setiap tahapan terjadi, tak hanya lantaran keterbatasan sumber daya teknis terkait, tetapi juga kegemaran main mata anggota KPU/D dengan penguasa setempat.

Upaya menggagalkan pasangan Khofiffah-Herman pada masa uji administrasi yang kemudian digugat hingga ke MK beberapa waku lalu, diakui atau tidak, merusak citra dan kredibilitas KPUD Jatim sendiri dan memalukan. Kesan penjegalan berbau politik kotor justru disponsori KPUD Jatim.

Padahal dana dan aset negara untuk dan atas nama pendataan pemilih sekaligus sosialisasi pilgub Jatim, misalnya, mencapai 100 miliar lebih. Tetapi ini amat memalukan ketika terbukti tak mampu mendongkrak partisipasi warga. Potret partisipasi jeblok warga Jatim ini juga merefleksikan rendahnya minat dan kesadaran pemilih pada hampir setiap gelaran pilkada. Apa yang mesti dilakukan pemerintah, khususnya KPU/D, untuk menghemat anggaran dan aset negara dalam pilkada ke depan?

Pelihara Prasarana

Becermin pada pilkada Jatim, pemerintah (daerah) sebagai mitra KPUD sebenarnya sudah selayaknya mengevaluasi dan memberi umpan balik secara menyeluruh dan sistemik. Khususnya Kemendagri harus segera turun tangan mengaudit kinerja KPU Jatim.

KPU dinilai tidak maksimal meningkatkan keikutsertaan masyarakat. Hal itu terlihat dari agenda-agenda tahapan pemilu yang semata-mata demi terbangunnya kesadaran publik dalam pilkada tak berjalan baik. LSM Fitra (2013) menilik 70 persen agenda pilkada dijalankan ala kadarnya untuk menghabiskan anggaran.

Maka, pemerintah (daerah) dan KPUD bersama-sama berjuang menghemat penyelenggaraan pilkada. Misalnya, meniadakan model kampanye pengerahan massa di ruang terbuka. Ini tak hanya menghemat biaya operasional peserta pemilu secara pribadi, tetapi juga mendidik warga untuk menghentikan hura-hura.

Kampanye demikian bisa menimbulkan kekacauan sosial dan memboroskan BBM. KPU dan pemda mengendalikan biaya-biaya yang tak perlu. Sebagai gantinya, kampanye menggunakan media jejaring sosial berbasis website dan media massa. Langkah ini dilakukan Banyumas dan menghemat anggaran 10 miliar rupiah.

Karena kampanye lebih tertutup, tidak perlu anggaran keamanan dan ketertiban (yang biasanya dijadikan proyek tambahan penghasilan aparat dan lembaga keamanan seperti Polri dan TNI). Ini menghemat rata-rata 1 miliar lebih. Kemudian, memanfaatkan biaya "koordinasi” dengan menggantinya melalui website yang dapat menghemat tenaga, waktu, dan dana 2 miliar lebih.

Selanjutnya, memanfaatkan sarana dan fasilitas pemilu sebelumnya sehingga menghemat sekitar 15 miliar anggaran logistik. Hampir 90 persen sarana dan media pemilu selalu harus baru. Padahal banyak sarana sejenis yang kini menumpuk di gudang aset daerah, membusuk dimakan kecoa dan rayap.

Jika mereka dimanfaatkan dan dipelihara dengan baik, sarana tersebut akan bisa digunakan lagi pada pilkada kelak dan menghemat lebih dari 40 persen anggaran serta aset negara. Jika ini menjadi kebijakan nasional, rarusan miliar dana negara bisa diselamatkan sekaligus menjadi modal menggerakkan ekonomi rakyat.

Pemeliharaan peralatan harus menjadi gerakan nasional sehingga tidak selalu memproduksi baru karena boros. Namun, semua kembali pada mental dan perilaku penyelenggara pemilu sendiri dan pemda, apakah mereka mau menghemat atau ramai-ramai melahirkan proyek baru dalam setiap pilkada.

Agenda penghematan setiap kegiatan publik harus terus dikampanyekan, bukan sekadar demi kepentingan jangka pendek KPU/D dan pemda, tetapi jangka panjang mendidik warga. Pemerintah dan KPU harus memanfaatkan anggaran dan aset negara lebih efisien, efektif, dan produktif. Dengan begitu, dana-dana pemilu dapat dialokasikan ke agenda yang jauh lebih substantif, baik dalam agenda pembangunan, pemerintahan, maupun perbaikan layanan publik lainnya. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar