Rabu, 18 September 2013

2014, Catatan dan Sketsa DPR

2014, Catatan dan Sketsa DPR
Arya Budi  ;    Peneliti Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 18 September 2013


Publik harus sadar bahwa di antara 6.607 Daftar Calon Legislator Tetap yang diumumkan KPU untuk memulai kampanyenya per 25 Agustus 2013, sebanyak 9 partai parlemen dari total 12 partai peserta pemilu memasang hampir semua anggota Dewannya yang kini in power (DPR RI periode 2009-2014). 

Berdasarkan temuan Pol-Tracking Institute, sekitar 90 persen anggota Dewan yang dicalonkan kembali tersebut menduduki nomor urut satu dalam daftar caleg. Artinya, sekalipun Pemilu 2014 menggunakan suara terbanyak daftar terbuka, perilaku pemilih sering memilih gambar partai daripada caleg. Suara partai itu umumnya akan dilimpahkan ke nomor urut satu, lalu ke nomor urut selanjutnya. Singkat kata, DPR RI periode 2014-2019 ke depan berpotensi diisi oleh mayoritas orang-orang yang sama, atau lebih dari 50 persen kinerja DPR post-2014 kira-kira hampir mirip periode 2009-2014 saat ini. Mungkinkah catatan DPR periode ini menjadi dasar sketsa buram periode 2014-2019 ke depan?

Publik mungkin mafhum bahwa DPR periode 2009-2014 dipenuhi catatan politik buram dari kasus hukum seperti korupsi, perilaku amoral seperti skandal seks, soal kedisiplinan seperti rendahnya tingkat kehadiran, hingga pilihan sikap dan kebijakan anti-publik seperti rencana gedung baru atau kunjungan ke luar negeri. 

Berdasarkan data KPK, jika kita hitung sejak 2004 sampai per 30 Juni 2013, paling tidak ada 72 anggota Dewan yang ditangkap KPK sebagai tersangka. Tahun 2013 (per 30 Juni 2013) saja "tangkapan" KPK dari unsur anggota Dewan menempati urutan kedua terbesar setelah unsur swasta. Secara kuantitatif, wajah parlemen periode 2009-2014 ini sebenarnya diisi 70 persen pendatang baru, sehingga logika publik mungkin berasumsi bahwa parlemen kini bisa menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Namun ternyata, wajah DPR tetap dipenuhi oleh terseretnya banyak nama anggota Dewan dalam beragam kasus, seperti simulator kemudi, Hambalang, daging sapi impor, hingga korupsi Al-Quran. Narasi korupsi para anggota Dewan ini hanyalah satu catatan dari beberapa catatan lain di luar fungsi-fungsi DPR RI sebagai lembaga legislatif.

Pertama, fungsi legislasi DPR periode ini pun berjalan tak jauh beda dengan periode sebelumnya. Jika kita merujuk data Formappi, dari 30 rancangan undang-undang atau RUU yang disahkan pada 2012, sebanyak 20 RUU merupakan kumulatif terbuka yang bukan merupakan regulasi prioritas. Ada tiga jenis RUU kumulatif tersebut: pemekaran wilayah (12 RUU), ratifikasi konvensi internasional (lima RUU) dan APBN (tiga RUU). Pada 2011, RUU prioritas yang disahkan sebanyak 18 RUU atau 19,35 persen dari total RUU dalam Prolegnas. Sedangkan pada 2012, RUU prioritas yang disahkan sebanyak 10 RUU atau 15,25 persen dari total RUU dalam Prolegnas. Artinya, penurunan produktivitas legislasi RUU prioritas tersebut berkorelasi dengan kalender Pemilu 2014 yang semakin dekat. Sebab, jika kita jumlahkan RUU prioritas dan RUU kumulatif terbuka, produktivitas DPR pada 2012 meningkat bila dibanding pada 2011. 

Jelasnya, peningkatan ini terletak pada program legislasi terkait dengan pemekaran daerah. Tentu ada motif politik di balik kuantifikasi fungsi legislasi DPR ini: baik soal dugaan uang pelicin dari daerah maupun sebagai bentuk usaha menggalang suara di daerah menjelang pemilu.

Kedua, kita melihat terjadi paradoks fungsi penganggaran DPR terutama pada periode 2009-2014. DRP terlihat tidak terlalu mempermasalahkan pos anggaran yang diajukan pemerintah dalam APBN, kecuali isu-isu yang menarik atensi publik seperti kenaikan harga BBM, tapi pada saat yang sama DPR sangat kuat memperjuangkan pos anggaran bagi dirinya. Hal ini terlihat dari ide kontroversial pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,6 triliun, dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota (Rp 8,4 triliun), serta rumah aspirasi Rp 200 juta per anggota (Rp 112 miliar dan Rp 3,3 triliun untuk infrastruktur). Ada juga persoalan item bantuan dana negara yang diperuntukkan bagi korban lumpur Lapindo yang lekat dengan isu barter politik Golkar dengan PD dalam isu harga BBM. Terakhir, menjelang Pemilu 2014, dana reses anggota Dewan dinaikkan menjadi sekitar Rp 1 miliar. Hal ini belum termasuk kasus korupsi dan para mafia anggaran yang bekerja menggunakan jejaring proyek negara. Akhirnya, Badan Anggaran DPR sudah telanjur dibayangkan publik sebagai sentrum triangulasi korupsi: pemerintah, swasta, dan parlemen.

Ketiga, dalam hal pengawasan, anggota Dewan justru cenderung menjadikan parlemen sebagai panggung akrobat politik yang dipertontonkan di depan layar media. Sebagai misal, ketidakjelasan dan ketidaktuntasan kasus Bank Century menjadi potret paling terang dari ketidakseriusan DPR. Pun demikian dengan nasib hak angket mafia pajak. Jika bukan alasan pencitraan, fungsi pengawasan DPR dalam beberapa kasus bersifat reaksioner, seperti polemik hak interpelasi dalam kasus kongkalikong yang terkait dengan anggota Dewan dan jajaran pimpinan BUMN.

Lepas dari catatan buruk tersebut, tentu ada beberapa poin catatan yang bisa kita apresiasi, tapi poin itu tertutup oleh catatan-catatan buram kinerja Dewan. Dengan melihat komposisi yang ada dalam DCT di atas, sketsa DPR 2014-2019 berpotensi mempunyai potret yang mirip. Jika demikian, parlemen yang memegang fungsi representasi publik justru akan menciptakan public distrust yang akhirnya mengubah logika representasi publik menjadi representasi elite. Pada dasarnya, satu akar masalah yang penting terkait dengan efek destruktif perilaku anggota Dewan terhadap fungsi-fungsi parlemen adalah malfungsi partai politik.

Catatan buruk anggota Dewan ini terjadi karena beberapa bentuk malfungsi partai: kaderisasi partai dalam nalar kartel, sistem rekrutmen yang elektoralis, dan personalisasi partai politik oleh figur tunggal. Pertama, nalar kartel yang menjadi logika kaderisasi politik di dalam partai diwujudkan dalam bentuk transfer pengetahuan untuk mengamankan basis material organisasi partai dan individu di dalamnya. Akibatnya, siapa pun yang menang berpotensi membajak anggaran negara untuk menutup dana kampanye sebelumnya. 

Kedua, partai politik cenderung melakukan rekrutmen elektoralis dengan menggandeng siapa pun yang berpotensi dapat mengatrol perolehan suara dalam pemilu, baik berdasarkan basis popularitas maupun basis material orang. Akibatnya, rekrutmen elektoralis ini mempekerjakan anggota tak becus. Akibatnya, legislasi parlemen demikian lambat dan kadang mandul kajian.

Ketiga, penunggalan kuasa partai menyebabkan anggota Dewan melakukan representasi elite dengan mengikuti kehendak patron partai sekalipun bertolak belakang dengan nalar pemecahan masalah kebijakan publik ataupun aspirasi publik yang berkembang terkait dengan sebuah kebijakan. Namun kita tetap bisa berharap semoga catatan suram 2009-2014 tak menjadi sketsa buram periode 2014-2019. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar