Kamis, 12 September 2013

Retorika Keyakinan di Pusaran Krisis

Retorika Keyakinan di Pusaran Krisis
Rahmat Pribadi  ;   Master of Public Administration Harvard University, AS
MEDIA INDONESIA, 12 September 2013


DI tengah turbulensi perekonomian dunia yang tak kunjung berhenti, optimisme masih bersemayam di hati para elite pemerintahan di negeri ini. Lihatlah apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepulang mengikuti pertemuan G-20 di St Petersburg, Rusia, Sabtu (7/9). Presiden mengajak seluruh masyarakat bekerja all-out dan tidak panik menghadapi tekanan ekonomi.
Presiden mengatakan krisis kali ini bukan hanya mengancam Indonesia, melainkan juga sejumlah negara emerging market justru ketika negaranegara di Eropa dan Amerika Serikat mulai bergerak menuju pemulihan (Media Indonesia, 8/9). Lalu, di tengah ajakan untuk tidak panik tersebut, pemerintah `menyelipkan' optimisme bahwa perekonomian Indonesia tetap bisa tumbuh minimal 5,8% tahun ini.
Angka tersebut sedikit mengalami koreksi daripada target awal pertumbuhan di 6,1%. Optimisme itu terbangun dari keyakinan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, tangguh, kukuh dalam menghadapi `badai krisis ekonomi global'.

Fundamental ekonomi yang diyakini kuat itu seperti pertumbuhan ekonomi pada 2012, yakni 6,3%, lalu dilanjutkan inflasi yang `hanya' 4,3%, realisasi suku bunga SPN 3,2%, dan juga indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia yang menembus 4.400 atau naik 13% selama 2012.

Keyakinan itu makin menjadi-jadi ketika sejumlah lembaga pemeringkat internasional juga menabalkan angka biru untuk perekonomian Indonesia saat ini, bahkan beberapa dekade ke depan. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada September 2012 menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan stabil telah menjadi dasar untuk menyamakan skala ekonomi Indonesia dengan negara-negara di Asia Pasifik.

Lalu, pada Oktober 2012, lembaga pemeringkat internasional asal Jepang, Rating and Investment Information, Inc (R&I), menaikkan peringkat Indonesia ke level investment grade. Sejumlah hal tersebut meletakkan Indonesia sebagai negara yang diprediksi menjadi salah satu dari 10 negara dengan perekonomian terbesar pada 2025.

Jujur dan terbuka

Dalam beberapa hal, optimisme bisa menjadi modal amat berharga. Sikap tersebut bahkan akan sangat mem bantu dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Secara psikologis, sikap optimistis dari seorang pucuk pimpinan akan memberikan rasa tenang kepada mereka yang menjadi anggota kelompok tersebut. Bagi sebuah negara, sikap optimistis kepala negara tentu mendatangkan rasa nyaman bagi rakyatnya.
Namun, optimisme yang berlebihan jelas akan menjadi bumerang. Alih-alih mendatangkan rasa tenang, sikap optimistis yang melebihi dosis bisa memicu terjadinya distrust di kalangan masyarakat. 

Ketidakpercayaan muncul karena pernyataan bernada optimistis tersebut berlawanan secara diametral dengan kenyataan di lapangan. Sikap tersebut boleh jadi akan dinilai sebagai retorika menghibur diri atas ketidakyakinan mengatasi keadaan.

Maka, ketimbang menyebut bahwa Indonesia tidak sendirian terkena tekanan ekonomi (ada Brasil, Rusia, India, China, juga Afrika Selatan yang tergabung dalam BRICS yang terkena krisis, bahkan mata uang rupee India terdepresiasi paling dalam), lebih berguna bila pemerintah memulainya dengan kejujuran akan fakta di lapangan.

Jejak bahwa tekanan ekonomi akan menghantam Indonesia sebenarnya sudah bisa terbaca pada awal tahun, atau di triwulan I 2013. Pada rentang waktu tersebut neraca pembayaran Indonesia (NPI) sudah defisit US$6,6 miliar. Kendati pada triwulan II angka defisit mengecil menjadi US$2,5 miliar, tren defisit NPI masih akan terjadi. Selain itu, defisit transaksi berjalan juga terus membengkak. Pada triwulan I 2013, defisit transaksi berjalan mencapai US$5,8 miliar, lalu membengkak menjadi US$9,8 miliar.

Neraca perdagangan kita yang terus menerus defisit karena impor yang membengkak dan lebih cepat pertumbuhannya jika dibandingkan dengan ekspor, kian tak terkendali pada Juli 2013. Bahkan pada bulan tersebut defisit perdagangan mencapai US$2,31 miliar atau yang tertinggi sepanjang sejarah Republik ini. Dalam kurun Januari-Juli 2013, nilai impor kita sudah mencapai US$111,83 miliar, sedangkan ekspor hanya US$106,18 miliar. Artinya, neraca dagang kita dalam tujuh bulan di 2013 sudah tekor US$5,65 miliar.

Ubah pendekatan

Fakta tersebut menggambarkan bahwa fundamental perekonomian kita masih terus disokong oleh pertumbuhan konsumsi yang sejatinya ra puh. Sektor manufaktur dan usaha kecil dan mene ngah (UKM) yang efektif menolong ekonomi dari tekanan dahsyat tak ba nyak tumbuh. Bisa diartikan, sektor yang banyak menyerap tenaga kerja dan mampu menjadi katup pengaman tersebut tak banyak--kalau tidak boleh dikatakan tidak pernah--disentuh pemerintah. Ketika tahun lalu negeri ini diingatkan akan munculnya krisis kedelai, misalnya, pemerintah tak banyak bergerak. Mereka masih yakin bahwa itu bisa diatasi dalam jangka menengah. Namun, setahun kemudian, kita menyaksikan harga kedelai impor yang terus meroket hingga mencapai Rp10 ribu per kilogram memaksa produsen tempe dan tahu menjerit.

Maka, masihkah kita harus beretorika bahwa fundamental ekonomi kita cukup kuat untuk menahan badai yang paling dahsyat sekalipun? Belum lagi jika rencana The Fed, bank sentral Amerika Serikat, untuk mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus quantitative easing tampering menjadi kenyataan. Sebab hal itu berakibat pada seretnya dolar di pasar dan kian derasnya arus modal keluar dari pasar uang Indonesia.

Akankah optimisme pertumbuhan yang dibarengi ajakan tidak panik menjadi kenyataan? Dalam satu semester ini saja, sudah lebih dari Rp100 triliun arus modal keluar dari pasar uang Indonesia.

Karena itu jelas, pemerintah harus mengubah pendekatan yang selama ini mereka lakukan dari pendekatan retoris yang didominasi pencitraan menuju ke kehadiran secara langsung di pasar. Jika pemerintah memekik bahwa negara tidak boleh kalah dari spekulan dan mafia, bentuk ketidakkalahan itu harus betul-betul nyata dan dirasakan masyarakat. Dengan begitu, masyarakat percaya dan yakin betul bahwa pemerintah sudah bekerja memulihkan keadaan dan mengatasi tekanan, bukan sekadar menghibur diri lalu menyalahkan keadaan. Semoga. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar