|
DI tengah turbulensi perekonomian dunia
yang tak kunjung berhenti, optimisme masih bersemayam di hati para elite
pemerintahan di negeri ini. Lihatlah apa yang disampaikan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sepulang mengikuti pertemuan G-20 di St Petersburg, Rusia,
Sabtu (7/9). Presiden mengajak seluruh masyarakat bekerja all-out dan tidak panik menghadapi tekanan ekonomi.
Presiden mengatakan krisis kali ini bukan hanya mengancam
Indonesia, melainkan juga sejumlah negara emerging market justru ketika
negaranegara di Eropa dan Amerika Serikat mulai bergerak menuju pemulihan (Media Indonesia, 8/9). Lalu, di tengah
ajakan untuk tidak panik tersebut, pemerintah `menyelipkan' optimisme bahwa
perekonomian Indonesia tetap bisa tumbuh minimal 5,8% tahun ini.
Angka tersebut sedikit mengalami koreksi daripada target
awal pertumbuhan di 6,1%. Optimisme itu terbangun dari keyakinan bahwa
fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, tangguh, kukuh dalam menghadapi
`badai krisis ekonomi global'.
Fundamental ekonomi yang diyakini kuat itu seperti
pertumbuhan ekonomi pada 2012, yakni 6,3%, lalu dilanjutkan inflasi yang
`hanya' 4,3%, realisasi suku bunga SPN 3,2%, dan juga indeks harga saham
gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia yang menembus 4.400 atau naik 13% selama
2012.
Keyakinan itu makin menjadi-jadi ketika sejumlah lembaga
pemeringkat internasional juga menabalkan angka biru untuk perekonomian
Indonesia saat ini, bahkan beberapa dekade ke depan. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pada
September 2012 menyatakan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan
stabil telah menjadi dasar untuk menyamakan skala ekonomi Indonesia dengan
negara-negara di Asia Pasifik.
Lalu, pada Oktober 2012, lembaga pemeringkat internasional
asal Jepang, Rating and Investment
Information, Inc (R&I), menaikkan
peringkat Indonesia ke level investment
grade. Sejumlah hal tersebut meletakkan Indonesia sebagai negara yang
diprediksi menjadi salah satu dari 10 negara dengan perekonomian terbesar pada
2025.
Jujur dan terbuka
Dalam beberapa hal, optimisme bisa menjadi modal amat
berharga. Sikap tersebut bahkan akan sangat mem bantu dalam menyelesaikan
berbagai persoalan. Secara psikologis, sikap optimistis dari seorang pucuk
pimpinan akan memberikan rasa tenang kepada mereka yang menjadi anggota
kelompok tersebut. Bagi sebuah negara, sikap optimistis kepala negara tentu
mendatangkan rasa nyaman bagi rakyatnya.
Namun, optimisme yang berlebihan jelas akan menjadi
bumerang. Alih-alih mendatangkan rasa tenang, sikap optimistis yang melebihi
dosis bisa memicu terjadinya distrust di kalangan masyarakat.
Ketidakpercayaan
muncul karena pernyataan bernada optimistis tersebut berlawanan secara
diametral dengan kenyataan di lapangan. Sikap tersebut boleh jadi akan dinilai
sebagai retorika menghibur diri atas ketidakyakinan mengatasi keadaan.
Maka, ketimbang menyebut bahwa Indonesia tidak sendirian
terkena tekanan ekonomi (ada Brasil, Rusia, India, China, juga Afrika Selatan
yang tergabung dalam BRICS yang terkena krisis, bahkan mata uang rupee India
terdepresiasi paling dalam), lebih berguna bila pemerintah memulainya dengan
kejujuran akan fakta di lapangan.
Jejak bahwa tekanan ekonomi akan menghantam Indonesia
sebenarnya sudah bisa terbaca pada awal tahun, atau di triwulan I 2013. Pada
rentang waktu tersebut neraca pembayaran Indonesia (NPI) sudah defisit US$6,6
miliar. Kendati pada triwulan II angka defisit mengecil menjadi US$2,5 miliar,
tren defisit NPI masih akan terjadi. Selain itu, defisit transaksi berjalan
juga terus membengkak. Pada triwulan I 2013, defisit transaksi berjalan
mencapai US$5,8 miliar, lalu membengkak menjadi US$9,8 miliar.
Neraca perdagangan kita yang terus menerus defisit karena
impor yang membengkak dan lebih cepat pertumbuhannya jika dibandingkan dengan
ekspor, kian tak terkendali pada Juli 2013. Bahkan pada bulan tersebut defisit
perdagangan mencapai US$2,31 miliar atau yang tertinggi sepanjang sejarah
Republik ini. Dalam kurun Januari-Juli 2013, nilai impor kita sudah mencapai
US$111,83 miliar, sedangkan ekspor hanya US$106,18 miliar. Artinya, neraca
dagang kita dalam tujuh bulan di 2013 sudah tekor US$5,65 miliar.
Ubah pendekatan
Fakta tersebut menggambarkan bahwa fundamental perekonomian
kita masih terus disokong oleh pertumbuhan konsumsi yang sejatinya ra puh.
Sektor manufaktur dan usaha kecil dan mene ngah (UKM) yang efektif menolong
ekonomi dari tekanan dahsyat tak ba nyak tumbuh. Bisa diartikan, sektor yang
banyak menyerap tenaga kerja dan mampu menjadi katup pengaman tersebut tak
banyak--kalau tidak boleh dikatakan tidak pernah--disentuh pemerintah. Ketika
tahun lalu negeri ini diingatkan akan munculnya krisis kedelai, misalnya,
pemerintah tak banyak bergerak. Mereka masih yakin bahwa itu bisa diatasi dalam
jangka menengah. Namun, setahun kemudian, kita menyaksikan harga kedelai impor yang
terus meroket hingga mencapai Rp10 ribu per kilogram memaksa produsen tempe dan
tahu menjerit.
Maka, masihkah kita harus beretorika bahwa fundamental
ekonomi kita cukup kuat untuk menahan badai yang paling dahsyat sekalipun?
Belum lagi jika rencana The Fed, bank sentral Amerika Serikat, untuk
mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus quantitative easing tampering
menjadi kenyataan. Sebab hal itu berakibat pada seretnya dolar di pasar dan
kian derasnya arus modal keluar dari pasar uang Indonesia.
Akankah optimisme pertumbuhan yang dibarengi ajakan tidak
panik menjadi kenyataan? Dalam satu semester ini saja, sudah lebih dari Rp100
triliun arus modal keluar dari pasar uang Indonesia.
Karena itu jelas, pemerintah harus mengubah pendekatan yang
selama ini mereka lakukan dari pendekatan retoris yang didominasi pencitraan
menuju ke kehadiran secara langsung di pasar. Jika pemerintah memekik bahwa
negara tidak boleh kalah dari spekulan dan mafia, bentuk ketidakkalahan itu
harus betul-betul nyata dan dirasakan masyarakat. Dengan begitu, masyarakat
percaya dan yakin betul bahwa pemerintah sudah bekerja memulihkan keadaan dan
mengatasi tekanan, bukan sekadar menghibur diri lalu menyalahkan keadaan. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar