|
TINGGAL
menanti hari, bagaimana drama Amerika Serikat (AS) menghukum Suriah dengan
gempuran militer udara dan darat. Pengalaman buruk terjadi ketika AS dan
sekutunya menggempur Irak 2003 menghantui rencana agresi tersebut. Suatu
intervensi kemanusiaan (humanitarian
intervention) yang diizinkan dalam hukum internasional, sepanjang mampu
menghentikan kekerasan dan melindungi pihak korban, dan menegakkan perdamaian.
Namun, dalam praktiknya peperangan
menjadi lebih panjang karena dendam kesumat antara anak-anak bangsa. Gelagat ke
arah hukum rimba terlihat ketika pemerintah AS tidak mengutamakan langkah
diplomasi. Intervensi kemanusiaan pada hakikatnya penggunaan kekerasan atau
peperangan, sebagai langkah terakhir bagi suatu penyelesaian sengketa.
Hal tersebut diatur dalam Piagam
PBB 1945, Konvensi Genewa 1949, dan Protokol Tambahan 1977, dan Hukum Kebiasaan
Internasional. Misalnya, kasus AS, Inggris, Prancis, dan Australia menyerang
Irak 2003 dan Dewan Keamanan PBB menggempur Afghanistan karena menyembunyikan Osama
bin Laden, pemimpin Al-Qaeda.
Pertama, intervensi kemanusiaan
dapat memenuhi nilai keadilan jika pembuatan keputusan mempertimbangkan
berbagai rekomendasi dan pandangan dari organisasi multilateral. Maksudnya agar
intervensi memperoleh legitimasi kuat dan sah secara hukum. Oleh karena
intervensi kemanusiaan menggunakan caracara pemaksaan (coercive) dan penghukuman (punishment),
negara-negara dan juga DK PBB wajib mematuhi prosedur dan mekanisme pengambilan
putusan yang benar.
Kedua, dari intervensi kemanusiaan
dapat digunakan jikalau benar-benar sebagai rasa tanggung jawab untuk
melindungi (the responsibility to protect)
warga negara dan para pihak. Sebab, tujuan utama dibolehkannya intervensi
adalah mengakhiri kekerasan dan penyiksaan, serta pembunuhan massal massacre. Jadi, negara-negara
yang ambil bagian dalam tugas perdamaian wajib mencegah terjadinya pembersihan
etnik (ethnic cleansing), tindakan
pembunuhan, pengusiran besar-besaran, tindakan teror atau pemerkosaan (CG Badescu, Humanitarian Intervention, 2011:
40).
Ketiga, intervensi kemanusiaan
digunakan jika secara operasional mengacu pada prinsip keseimbangan (proportional principle), kepantasan (equity), keadilan (fairness), dan tingkat ketepatan (accuracy). Prinsip-prinsip tersebut wajib dipatuhi. Dari ketiga
syarat tersebut tampak tidak mudah dipatuhi jika agresor memiliki motif politik
tersendiri.
Konflik bersenjata noninternasional
Eksistensi Suriah sebagai negara
berdaulat di Timur Tengah tidaklah sebanding dengan Irak, Iran, dan juga Libia.
Tak pernah terdengar Suriah melakukan pembangkangan terhadap hukum
internasional. Karena itu, logikanya tidak pantas untuk dijatuhi hukuman
militer. Komposisi penduduk Suriah sekitar 21 juta, mayoritas muslim Sunni
(sekitar 74%), muslim Syiah (16%), dan 10% Kristen. Kini dilanda perang saudara
yang memilukan.
Aroma monarki konstitusional dalam
tata kelola pemerintahannya terasa kental dan telah menjadi pemicu konflik.
Presiden Suriah selama ini berganti dengan model turun-temurun. Sudah hampir
tiga tahun berlalu gejolak dan bencana kemanusiaan berlangsung.
Terjadinya pelanggaran berat hak
asasi manusia (gross violation of human
rights) tak terhindarkan. Sekitar 100 ribu jiwa telah tewas dan ratusan
ribu lainnya menderita luka-luka. Gelombang pengungsi sekitar 1,7 juta jiwa
telah membuat negara-negara tetangga Suriah kelabakan.
Diklaim bahwa sekitar 1.300 orang
telah tewas akibat bom kimia yang dijatuhkan rezim Assad. Situasi ini mendesak
PBB untuk mengirimkan tim zat kimia ke Suriah (Media Indonesia, 22/8). Sementara itu, sumber intelijen AS telah
mengidentifikasi bahwa beberapa jasad dan rambut korban mengandung zat kimia
sarin. Senjata pemusnah massal, mass
weapon distruction yang tengah menjadi isu sensitif di dunia.
Intervensi tanpa keadilan
Betulkah rencana agresi AS ke
Suriah merupakan bentuk pertanggungjawaban atas tegaknya hukum internasional
berkeadilan?
Pertama, intervensi AS ke Suriah
tampak tidak didukung negara-negara koalisi (Inggris dan Prancis). Tindakan
sepihak tanpa mendengarkan dan melibatkan pihak lain akan kehilangan daya
kontrol. Kebijakan agresi militer AS terasa kental dengan aroma hukum
masyarakat rimba (tribal law).
Pemaknaan kontemporer watak AS, sebagaimana diperankan Rambo dalam berbagai
episode film perang, selalu menampilkan kekerasan dan adu fi sik sehingga
keganasan tidak beradab.
Konsep pre-emptive strike atau ‘serangan lebih dini’ atau serang duluan,
begitu populer dalam serangan melawan terorisme global. Bush’s, Doctrine of Pre
Emptive Strikes of Self Defence diadopsi masyarakat dan menjadi kaidah baru
dalam hukum pidana internasional. Doktrin ini membolehkan membuat penyerangan
dilakukan lebih dini untuk melakukan pembelaan diri lebih dini atas ancaman
terorisme. Kasus penyerangan AS ke Irak dengan argumen kepemilikan senjata
kimia mempermalukan Presiden George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony
Blair. Di kemudian hari terbukti bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah
massal.
Kedua, intervensi AS ke Suriah
akan bertolak belakang dengan keadilan, karena tipis kemungkinan tindakan
sepihak AS mampu menghentikan peperangan saudara. Hingga kini hampir di seluruh
negeri Suriah dijumpai peperangan yang menghancurkan lingkung an fi sik.
Kebijakan AS atas penentuan 50 lokasi sebagai target militer diterapkan, maka
Suriah akan hancur, dan tidak mustahil akan menjadi kota hantu (ghost town).
Tanda ke arah tersebut sudah
terlihat. Berdasarkan siaran di TV Al Jazeera, Bashar Assad menyampaikan
pernyataan dan tentunya akan melakukan perlawanan pada setiap serangan yang
datang. Kekuatan tempur Suriah jumlahnya 450 ribu500 ribu siap melakukan
perlawanan. Dipastikan jumlah korban tewas dan luka-luka akan berjumlah besar.
Ketiga, intervensi AS ke Suriah
kecil kemungkinan rakyat Suriah dapat berunding dan memulihkan kondisi
sebagaimana semula. Justru dendam kesumat akan timbul berkepanjangan.
Bagaimanapun, Bashar al-Assad akan menjadi orang pertama untuk diminta
pertanggungjawaban peperangan. Sebagian pendukung setianya akan rela
menyerahkannya atau sebaliknya mereka bersedia berkorban sampai mati untuk sang
Presiden.
Akhirnya, sebagai suara hati
masyarakat pecinta damai, bahwa perang saudara di Suriah harus segera
dihentikan. Iktikad baik AS melalui pengiriman pasukan secara sepihak tampaknya
tidak diinginkan masyarakat internasional. Metode dan argumentasi yang
digunakan AS ke Suriah tidak mengakomodasi peraturan hukum yang berkeadilan. Pengabaian
terhadap prinsip perundingan, serang dahulu tanggung jawab kemudian operasi
serangan yang lazim mengabaikan prinsip-prinsip hukum perang adalah jelas bukan
solusi tepat penyelesaian perang saudara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar