Sabtu, 07 September 2013

Mencegah Intervensi AS ke Suriah

Mencegah Intervensi AS ke Suriah
Jawahir Thontowi  ;   Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 07 September 2013


TINGGAL menanti hari, bagaimana drama Amerika Serikat (AS) menghukum Suriah dengan gempuran militer udara dan darat. Pengalaman buruk terjadi ketika AS dan sekutunya menggempur Irak 2003 menghantui rencana agresi tersebut. Suatu intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) yang diizinkan dalam hukum internasional, sepanjang mampu menghentikan kekerasan dan melindungi pihak korban, dan menegakkan perdamaian.

Namun, dalam praktiknya peperangan menjadi lebih panjang karena dendam kesumat antara anak-anak bangsa. Gelagat ke arah hukum rimba terlihat ketika pemerintah AS tidak mengutamakan langkah diplomasi. Intervensi kemanusiaan pada hakikatnya penggunaan kekerasan atau peperangan, sebagai langkah terakhir bagi suatu penyelesaian sengketa.

Hal tersebut diatur dalam Piagam PBB 1945, Konvensi Genewa 1949, dan Protokol Tambahan 1977, dan Hukum Kebiasaan Internasional. Misalnya, kasus AS, Inggris, Prancis, dan Australia menyerang Irak 2003 dan Dewan Keamanan PBB menggempur Afghanistan karena menyembunyikan Osama bin Laden, pemimpin Al-Qaeda.

Pertama, intervensi kemanusiaan dapat memenuhi nilai keadilan jika pembuatan keputusan mempertimbangkan berbagai rekomendasi dan pandangan dari organisasi multilateral. Maksudnya agar intervensi memperoleh legitimasi kuat dan sah secara hukum. Oleh karena intervensi kemanusiaan menggunakan caracara pemaksaan (coercive) dan penghukuman (punishment), negara-negara dan juga DK PBB wajib mematuhi prosedur dan mekanisme pengambilan putusan yang benar.

Kedua, dari intervensi kemanusiaan dapat digunakan jikalau benar-benar sebagai rasa tanggung jawab untuk melindungi (the responsibility to protect) warga negara dan para pihak. Sebab, tujuan utama dibolehkannya intervensi adalah mengakhiri kekerasan dan penyiksaan, serta pembunuhan massal massacre. Jadi, negara-negara yang ambil bagian dalam tugas perdamaian wajib mencegah terjadinya pembersihan etnik (ethnic cleansing), tindakan pembunuhan, pengusiran besar-besaran, tindakan teror atau pemerkosaan (CG Badescu, Humanitarian Intervention, 2011: 40).

Ketiga, intervensi kemanusiaan digunakan jika secara operasional mengacu pada prinsip keseimbangan (proportional principle), kepantasan (equity), keadilan (fairness), dan tingkat ketepatan (accuracy). Prinsip-prinsip tersebut wajib dipatuhi. Dari ketiga syarat tersebut tampak tidak mudah dipatuhi jika agresor memiliki motif politik tersendiri.

Konflik bersenjata noninternasional

Eksistensi Suriah sebagai negara berdaulat di Timur Tengah tidaklah sebanding dengan Irak, Iran, dan juga Libia. Tak pernah terdengar Suriah melakukan pembangkangan terhadap hukum internasional. Karena itu, logikanya tidak pantas untuk dijatuhi hukuman militer. Komposisi penduduk Suriah sekitar 21 juta, mayoritas muslim Sunni (sekitar 74%), muslim Syiah (16%), dan 10% Kristen. Kini dilanda perang saudara yang memilukan.

Aroma monarki konstitusional dalam tata kelola pemerintahannya terasa kental dan telah menjadi pemicu konflik. Presiden Suriah selama ini berganti dengan model turun-temurun. Sudah hampir tiga tahun berlalu gejolak dan bencana kemanusiaan berlangsung.

Terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) tak terhindarkan. Sekitar 100 ribu jiwa telah tewas dan ratusan ribu lainnya menderita luka-luka. Gelombang pengungsi sekitar 1,7 juta jiwa telah membuat negara-negara tetangga Suriah kelabakan.

Diklaim bahwa sekitar 1.300 orang telah tewas akibat bom kimia yang dijatuhkan rezim Assad. Situasi ini mendesak PBB untuk mengirimkan tim zat kimia ke Suriah (Media Indonesia, 22/8). Sementara itu, sumber intelijen AS telah mengidentifikasi bahwa beberapa jasad dan rambut korban mengandung zat kimia sarin. Senjata pemusnah massal, mass weapon distruction yang tengah menjadi isu sensitif di dunia.

Intervensi tanpa keadilan

Betulkah rencana agresi AS ke Suriah merupakan bentuk pertanggungjawaban atas tegaknya hukum internasional berkeadilan?

Pertama, intervensi AS ke Suriah tampak tidak didukung negara-negara koalisi (Inggris dan Prancis). Tindakan sepihak tanpa mendengarkan dan melibatkan pihak lain akan kehilangan daya kontrol. Kebijakan agresi militer AS terasa kental dengan aroma hukum masyarakat rimba (tribal law). Pemaknaan kontemporer watak AS, sebagaimana diperankan Rambo dalam berbagai episode film perang, selalu menampilkan kekerasan dan adu fi sik sehingga keganasan tidak beradab.

Konsep pre-emptive strike atau ‘serangan lebih dini’ atau serang duluan, begitu populer dalam serangan melawan terorisme global. Bush’s, Doctrine of Pre Emptive Strikes of Self Defence diadopsi masyarakat dan menjadi kaidah baru dalam hukum pidana internasional. Doktrin ini membolehkan membuat penyerangan dilakukan lebih dini untuk melakukan pembelaan diri lebih dini atas ancaman terorisme. Kasus penyerangan AS ke Irak dengan argumen kepemilikan senjata kimia mempermalukan Presiden George Bush dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Di kemudian hari terbukti bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal.

Kedua, intervensi AS ke Suriah akan bertolak belakang dengan keadilan, karena tipis kemungkinan tindakan sepihak AS mampu menghentikan peperangan saudara. Hingga kini hampir di seluruh negeri Suriah dijumpai peperangan yang menghancurkan lingkung an fi sik. Kebijakan AS atas penentuan 50 lokasi sebagai target militer diterapkan, maka Suriah akan hancur, dan tidak mustahil akan menjadi kota hantu (ghost town).

Tanda ke arah tersebut sudah terlihat. Berdasarkan siaran di TV Al Jazeera, Bashar Assad menyampaikan pernyataan dan tentunya akan melakukan perlawanan pada setiap serangan yang datang. Kekuatan tempur Suriah jumlahnya 450 ribu500 ribu siap melakukan perlawanan. Dipastikan jumlah korban tewas dan luka-luka akan berjumlah besar.

Ketiga, intervensi AS ke Suriah kecil kemungkinan rakyat Suriah dapat berunding dan memulihkan kondisi sebagaimana semula. Justru dendam kesumat akan timbul berkepanjangan. Bagaimanapun, Bashar al-Assad akan menjadi orang pertama untuk diminta pertanggungjawaban peperangan. Sebagian pendukung setianya akan rela menyerahkannya atau sebaliknya mereka bersedia berkorban sampai mati untuk sang Presiden.


Akhirnya, sebagai suara hati masyarakat pecinta damai, bahwa perang saudara di Suriah harus segera dihentikan. Iktikad baik AS melalui pengiriman pasukan secara sepihak tampaknya tidak diinginkan masyarakat internasional. Metode dan argumentasi yang digunakan AS ke Suriah tidak mengakomodasi peraturan hukum yang berkeadilan. Pengabaian terhadap prinsip perundingan, serang dahulu tanggung jawab kemudian operasi serangan yang lazim mengabaikan prinsip-prinsip hukum perang adalah jelas bukan solusi tepat penyelesaian perang saudara. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar