Sabtu, 21 September 2013

Agama sebagai Sumber Kekuatan Moral

Agama sebagai Sumber Kekuatan Moral
Ahmad Ubaidillah ;  Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam UII Yogyakarta
SUARA KARYA, 20 September 2013


Fenomena rapuhnya moral di negeri ini kian menggelegak dan mengkhawatirkan. Media massa rasa-rasanya tidak pernah absen mendedahkan berita tentang banyaknya pejabat negara yang mencuri harta negara, pengusaha yang menyuap penguasa demi kemulusan bisnisnya, atau akademisi (misalnya rektor) yang menyelewengkan dana pendidikan dan terlibat perselingkuhan dengan bawahannya.

Di sinilah kita menyaksikan agama sebagai sumber kekuatan dan pertahanan moral terlihat begitu ringkih. Di sini pulalah kita melihat badai-badai nafsu rendah (korupsi, suap, perselingkuhan) telah merenggut nilai-nilai agama sehingga keluar dari ruang keluhurannya. Fungsi agama sebagai pembimbing dan pengarah tingkah laku manusia lenyap digulung oleh kerapuhan kesungguhan para penganutnya dalam menjalankan ajaran agamanya.

Dalam sejarah peradaban-peradaban dunia, baik peradaban Barat maupun Timur, kemunduran suatu peradaban bangsa seringkali dimulai dari kehancuran moral penghuni bangsa tersebut. Penguasa dan rakyat sudah tidak lagi mengindahkan persoalan batas antara baik-buruk, dan benar-salah. Mereka menganggap perbuatan yang melanggar demarkasi moral sebagai bentuk kewajaran. Melabrak moral yang seringkali mengganggu kepentingan masyarakat luas dianggap hal yang biasa dan lumrah.

Hukum yang tadinya dibuat sebagai pencegah dan penjera mereka yang bersalah sebagai manifestasi pelanggaran moral pun sudah tidak berfungsi lagi. Buktinya, masih saja ada penguasa atau masyarakat yang melakukan kejahatan yang mencerminkan kerapuhan moralnya.

Justru, yang terjadi adalah realitas hukum semakin dipermainkan oleh orang-orang yang bermodal besar, baik modal uang maupun modal kekuasaan. Akibatnya, hukum hanya tajam ke sisi bawah (rakyat jelata), namun tumpul ke sisi atas (penguasa).

Ketika hukum sudah manjadi bagian dari kehancuran moral manusia itu sendiri dan sudah tidak lagi mampu menjadi pengawal kekuatan moral, maka menanamkan kembali nilai-nilai agama ke diri kita masing-masing perlu segera dilakukan. Umat manusia perlu menghidupkan kembali (revitalisasi) ajaran-ajaran agama, karena agama mampu membuat manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan-perbuatan tercela.

Memang, hampir semua manusia Indonesia saat ini telah memeluk agama tertentu. Itu terlihat dari identitas yang dimiliki, misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, manusia tidak selamanya menjalankan ajaran agama yang dianut, sebagaimana yang tertulis di KTP tersebut. Artinya, manusia seringkali tidak menjadi dirinya sendiri. Ia terkadang menjadi makhluk yang biasanya diidentikkan dengan simbol kejahatan (baca: setan). Godaan setan inilah yang siap menjerumuskan manusia ke lubang kehinaan yang paling mendalam.

Secara naluriah, manusia sebenarnya berkencenderungan berbuat baik. Ketidaktenangan manusia setelah melakukan dosa dan kesalahan adalah bukti bahwa manusia sebetulnya menolak segala bentuk kejahatan. Ia sadar bahwa kejahatan akan selalu menyengsarakan dirinya, sahabat, keluarga, masyarakat, atau bahkan negara.

Ia paham bahwa setelah melakukan perbuatan-perbuatan buruk hatinya akan menyesal. Lagi-lagi godaan nafsu sesaat sangat tangkas menodai kebeningan hati dan kejernihan akal manusia.

Kita selalu membayangkan, andai saja kaum agamawan mau menggali dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang ada dalam agamanya masing-masing, barangkali kejahatan-kejahatan di dunia ini, terutama yang terjadi di Indonesia, tidak terjadi. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan kepada umatnya.
Semua ajaran agama mengajarkan kasih sayang, keadilan, kerukunan, dan kebaikan-kebaikan lainnya. Manusialah yang pongah menjalankan kebenaran, kebaikan, dan keindahan agama tersebut.

Kita sebagai manusia beragama selayaknya bertanya kepada diri kita masing-masing. Untuk apa bergama kalau kita masih suka berbuat korup, buat apa beragama kalau kita masih hobi menyuap untuk kelancaran keinginan kita, atau untuk apa bergama kalau kita masih senang melanggar komitmen dengan pasangan kita (berselingkuh), misalnya. Dan masih banyak pertanyaan yang perlu diajukan untuk menguji kualitas keberagaman kita. Apakah kita sudah benar-benar beragama atau hanya menjadikan agama sebagai simbol identitas belaka seperti yang tertera di KTP.

Orang-orang ateistis pun, misalnya Bertrand Russell atau Albert Einstein, tidak merasa perlu memasuki agama-agama formal (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, atau Buddha), Namun, mereka memiliki kepercayaan dan keharusan berbuat baik. Komitmen berbuat baik inilah yang mestinya diteladani orang-orang beragama. Karena itu, agama yang pada hakikatnya mengajarkan umatnya untuk selalu berbuat baik harus dijadikan senjata untuk melawan kejahatan-kejahatan.

Sebagai akhir tulisan ini, kita perlu mengajak diri kita sendiri untuk tidak "menelantarkan" ajaran-ajaran agama kita masing-masing. Kita harus senantiasa menghayati nilai-nilai luhur religius untuk direalisasikan ke dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan bangsa. Kita jangan sampai membiarkan tuntunan baik agama hanya tertulis di atas kertas tanpa pelaksanaan, sebagai bentuk tanggung jawab kita dalam beragama.


Kita musti ingat, meskipun agama memiliki kekuatan yang berpengaruh pada jiwa manusia, namun kekuatan ini bergantung pada tingkat komitmen penerimaannya terhadap agama itu dan bukan sekadar formalitas. Formalitas dalam beragama tanpa diikuti dengan tindakan baik hanya mendatangkan bencana bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar