Minggu, 22 September 2013

Menyoal Mahalnya Pendidikan

Menyoal Mahalnya Pendidikan
Khoirul Anwar Afa  ;   Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran
(PTIQ) Jakarta dan pegiat di Al-Kitabah Pamulang, Tangsel
SUARA KARYA, 21 September 2013


Pendidikan sebagai fondasi utama mencerdaskan kehidupan bangsa semakin mendapat tantangan, tidak hanya dari luar negeri tetapi ironisnya tantangan besar berasal dari dalam negeri sendiri. Bahkan, andai dianalisa dengan seksama pendidikan tidak lagi menjadi kebutuhan sekunder, melainkan kebutuhan primer bagi setiap individu. Namun, negara seperti semakin jauh dari tanggungjawab pendidikan jika mengacu pada konstitusi meskipun sebenarnya tidak seperti itu.

Negara kita telah menjanjikan bahwa pendidikan merupakan hak dasar setiap warga. Kewajiban negara untuk mencerdaskan kehidupan rakyat diatur dalam pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, pemerintah tidak punya alasan untuk mengabaikan hak setiap warga negara mendapatkan layanan pendidikan.

Namun yang terjadi sekarang adalah, masih banyak masyarakat yang termarjinalkan dengan pendidikan. Bagi masyarakat tertentu sangat asing baginya arti pendidikan bagi kehidupannya. Padahal, sekarang ini sudah saatnya pendidikan menjadi kebutuhan pokok sebagai pelengkap hidup.

Ironis memang. Siapa yang disalahkan dalam hal ini tentunya menjadi hipotesa besar. Tujuan dibentuknya UUD 1945 tidak lain untuk melindungi semua warga Indonesia serta menjadikannya adil, makmur dan sentosa. Terlebih akan mencerdaskan seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang gender, suku dan strata.

Sekarang 68 tahun Indonesia telah merdeka. Dan, UUD tersebut jutaan kali dipelajari. Tetapi, pemerataan kecerdasan masih terasa sangat lambat. Bahkan, tidak ada peningkatan untuk menjadikan masyarakat Indonesia bisa jauh dari kebodohan. Karena kurang adanya perhatian serius dan kesadaran penuh terhadap pendidikan masyarakat.

Meskipun ada, pendidikan malah rentan disalahgunakan. Tidak sedikit formalitas pendidikan dijadikan sarana sebagai lahan bisnis semata. Mereka yang memiliki modal dengan berani mendirikan lembaga pendidikan sebagai ladang meraup profit atau keuntungan yang besar. Sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan pendidikan masih terkotakkan. Mereka yang tidak mampu membayar mahal tidak bisa duduk di bangku sekolah. Karena, sekolah yang harus ditebus dengan biaya tinggi (high cost). Hal itu bisa dikonsepsikan bahwa lembaga sekolah sekarang bagaikan komoditi.

Semakin mahalnya pendidikan di negeri ini membuat orang sangat gampang berpikir pragmatis untuk jauh dari pendidikan. Maka peran bijak pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan. Untuk itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus lebih selektif memberikan penilaian terhadap lembaga pendidikan yang bertebaran di tengah masyarakat. Terlebih dalam urusan biaya yang menjadi problem besar bagi siapa yang ingin menempuh pendidikan.

Inilah salah satu tugas nasional kita, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sampai sekarang, negara kita belum sanggup mewujudkannya. Sekitar 9 juta rakyat Indonesia masih buta huruf. Di daerah pedalaman, seperti diakui Kementerian Pembangunan Daerah tertinggal (PDT), angka melek huruf masih rata-rata 26 persen.

Begitu pula sangat rendahnya kemampuan rakyat Indonesia mengakses pendidikan. Angka partisipasi kasar (APK) tingkat SMP baru 70 persen. Sedangkan APK untuk tingkat SMU baru berkisar 60 persen. Mengacu pada data Kemendiknas, dari 3,7 juta lulusan SMP, yang melanjutkan ke SMA/SMK hanya sekitar 2,2 juta. Artinya, ada 1,5 juta lulusan SMP yang sudah tidak mampu lagi menikmati pendidikan.

Dengan mengacu pada fakta di atas, dapat disimpulkan bahwa negara masih gagal menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ironisnya, negara gagal bukan karena keterbatasan sumber daya, melainkan karena negara sendiri mengadopsi berbagai kebijakan yang merugikan pendidikan nasional.

Pertama, cara pandang negara, dalam hal ini pemerintahan berkuasa, dalam soal pendidikan sudah bergeser dari cita-cita proklamasi. Pendidikan tidak lagi dipandang sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan sebagai mediun untuk akumulasi keuntungan (profit).
Ini sudah menjadi realitas dalam pendidikan nasional kita saat ini. Para pengusaha berlomba-lomba menanamkan modalnya dalam "bisnis pendidikan". Biaya pendidikan pun melambung tinggi, khususnya di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak rakyat Indonesia tidak bisa mengakses pendidikan.

Oleh karena itu, semakin kentara tidak adanya peran serius dari pemerintah dalam meningkatkan SDM masyarakat Indonesia. Jika demikian yang terjadi, Indonesia akan abadi menjadi negara yang terbelakang meskipun hanya disandingkan dengan negara-negara ASEAN. Artinya, Indonesia tidak akan pernah mampu melawan SDM negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam.

Hal ini seharusnya menjadi bola panas bagi pemerintah untuk mempertegas peran pendidikan yang menjadi pantauannya. Selangkah lebih maju adalah slogan untuk membuktikan bahwa falsafah UUD 45 yang diwariskan pada kita adalah benar. Dan, merealisasikannya bahwa Indonesia sangat mampu mewujudkan masyarakat yang cerdas. Untuk itu, kunci utama adalah memberikan sinergi pada masyarakat bahwa pendidikan itu sangat penting.

Kemudian, menghapus adanya komersialisasi pendidikan. Langkah seperti ini semestinya menjadi perhatian serius oleh pemerintah demi mewujudkan kesetiaannya dalam mengakomodasi pendidikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar