Rabu, 16 Januari 2013

Tucuxi dan Global Warming


Tucuxi dan Global Warming
Rokhmin Dahuri ;  Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 
REPUBLIKA, 16 Januari 2013



Kecelakaan mobil listrik Tucuxi milik Menteri BUMN Dahlan Iskan di Magetan pada 5 Januari tahun ini membuat banyak orang tercengang. Dahlan yang bercita-cita ingin membangun industri mobil listrik di Indonesia mungkin tak mengira kalau Tucuxi yang dikendarainya ternyata akan mengalami kecelakaan yang tragis karena remnya blong.

Sepintas, blongnya rem Tucuxi rancangan Danet Suryatama ini adalah peristiwa biasa saja. Tapi, kalau dilihat jauh ke depan, kecelakaan Tucuxi yang masih anyar ini seakan menyiratkan pesan: mobil listrik tidak aman. Dengan demikian, masyarakat akan merasa lebih aman memakai mobil yang memakai bahan bakar minyak (BBM). 
Jika kesan ini terus menempel di benak masyarakat maka masa depan mobil listrik akan suram. Suram dalam arti kurang disukai masyarakat, apalagi dengan pemberitaan kecelakaan Tucuxi yang terus-menerus di media massa cetak dan elektronik. Berita-berita tersebut- dengan ikon mobil listrik mahal dan menteri yang popular -akan menjadi "iklan" yang tidak produktif bagi pengembangan mobil listrik di Indonesia. 

Aman Bagi Lingkungan

Mengapa mobil listrik? Karena, mobil ini aman dari aspek lingkungan hidup.
Mobil listrik yang tidak menyumbangkan emisi gas karbondioksida (CO2) seperti halnya mobil yang menggunakan BBM akan memberi kontribusi pada pengurangan emisi gas karbon yang menjadi salah satu penyebab utama global warming (pemanasan global). 

Intergovermental Panel for Climate Change (IPCC, 2007) melaporkan bahwa dampak global warming ternyata lebih buruk dari yang diperkirakan. Kantor berita AFP pada 10 Desember 2012 menulis bahwa dampak global warming ternyata sangat luas. Di satu belahan dunia, misalnya, iklim panas makin menyengat sementara di bagian dunia yang lain iklim dingin sangat dahsyat.

Setidaknya ada lima dampak utama akibat perubahan iklim global yang dapat menghancurkan ekosistem bumi dan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia. Pertama, global warming akan memengaruhi suhu udara, cuaca, iklim, dan ketersediaan air bagi pertanian, industri, rumah tangga, khususnya di belahan bumi yang rawan air. Kekeringan di Sub Sahara akan meluas sebesar 60-90 juta hektare. 

Sementara, kawasan Amerika Latin, Asia Selatan, dan Asia Tenggara akan mengalami penurunan produksi pertanian yang pada gilirannya dapat menaikkan angka kemiskinan di pedesaan. Penurunan produksi pertanian di kawasan-kawasan tersebut akan menimbukan krisis pangan dan gizi terhadap 600 juta jiwa pada 2080. 

Kedua, pada 2080, sekitar 1,8 miliar manusia di Asia Tengah, Cina bagian utara, dan sebagian Asia Selatan akan dilanda banjir besar karena mencairnya lapisan es di Pegunungan Himalaya. Sistem irigasinya akan rusak akibat meluapnya sungai-sungai di kawasan tersebut. Pada saat sama, kawasan Timur Tengah akan mengalami defisit air yang parah. Sedangkan, di negara-negara tropis di kawasan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, termasuk Indonesia dan Filipina, akan mengalami banjir, longsor, dan kekurangan air bersih.

Ketiga, global warming mengakibatkan pencairan gunung-gunung es dan es abadi di Lautan Antartika (Kutub Selatan) dan Lautan Artik (Kutub Utara), serta glacier di Greenland yang pada akhirnya akan menaikkan permukaan laut.
Peningkatan suhu udara tiga sam pai empat derajat Celsius akan mengakibatkan banjir dan rob. Banjir dan rob ini bakal memaksa 330 juta manusia untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. Ribuan pulau kecil juga akan lenyap dari permukaan bumi karena tertelan laut. 

Keempat, keanekaragaman hayati pada level spesies, ekosistem, maupun genetik akan rusak, bahkan musnah. Separuh ekosistem terumbu karang, misalnya, akan mengalami kerusakan. Begitu pula berbagai ekosistem lain di dataran rendah, hutan, dan pegunungan. 

Kelima, perubahan iklim juga akan mengakibatkan gelombang panas, hujan badai, dan angin topan. Dalam satu dekade terakhir, badai raksasa telah menimbulkan ribuan korban tewas di Amerika, Filipina, Cina, dan Jepang.


Lima gambaran tentang bahaya global warming di atas memang mengerikan.
Tapi, sayangnya, respons manusia, khususnya para kepala negara dan pemerintahan serta CEO korporasi raksasa, terhadap isu global warming hingga saat ini hanya sebatas retorika. Buktinya, sampai sekarang belum ada satu pun negara industri maju maupun emerging economies (khususnya Cina dan India) yang telah mengurangi laju emisi gas-gas rumah kacanya. 

Boleh dibilang hanya Indonesia yang telah berkomitmen untuk mengurangi laju emisi karbonnya sebesar 26 persen. Isu global warming bukannya menumbuhkembangkan sikap yang saling peduli, saling menolong, saling berbagi, melainkan sebaliknya mempertebal individualisme, baik secara institusi (negara), sosial, maupun individual. 

Hampir semua negara dan perusahaan terus berlomba memacu pertumbuhan ekonomi dan keuntungannya meskipun konsekuensinya laju emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer semakin menggila. Bila perilaku cuek manusia semacam ini tidak segera dikoreksi maka bukan mustahil dampak negatif dari perubahan iklim global tidak akan dapat dijinakkan oleh kemampuan tekonologi.

Dari sudut pandang inilah, kita melihat betapa "dahsyat" kasus kegagalan uji coba Tucuxi yang dikemudikan Dahlan Iskan, terlepas apa penyebabnya.
Di negara-negara industri maju pun, perkembangan mobil listrik yang hemat energi dan aman lingkungan belum berhasil. Pertanyaannya, apakah hal itu terjadi karena tekonologi mobil listrik itu sulit atau sabotase mafia industri perusak lingkungan? Wallahu a'lam.

Yang jelas, jika Amerika mampu membuat pesawat ulang-alik ruang angkasa dan wahana antariksa yang super-canggih maka memproduksi mobil listrik yang lebih sederhana adalah sebuah keniscayaan. Sebab itu, kita berharap Pak Dahlan Iskan dan segenap teknolog Indonesia tidak patah semangat untuk melanjutkan produksi mobil listrik made in Indonesia berskala industrial sampai berhasil. 

Bagaimanapun, mobil listrik tidak membuang gas karbondioksida yang menyebabkan global warming. Itulah kelebihan mobil listrik ketimbang mobil yang menggunakan BBM. Jika mobil listrik menolong masa depan bumi, mobil minyak sebaliknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar