Kamis, 17 Januari 2013

Politik Fiskal Menjauhi Petani


Politik Fiskal Menjauhi Petani
Elfindri ;  Guru Besar Ekonomi SDM Universitas Andalas
SINDO, 17 Januari 2013


Laporan McKinsey Global Institute tahun 2012 menunjukkan bahwa Indonesia saat ini menjadi negara 16 terbesar penghasil GNP di dunia. Diperkirakan tahun 2030 akan menjadi satu dari 7 negara yang penghasil pendapatan nasional terbesar. 

Sebuah lompatan posisi ekonomi tentunya. Menurut laporan itu, perubahan posisi Indonesia terutama disebabkan oleh sumbangan empat faktor utama: (1) konsumsi domestik, (2) pertanian dan perikanan, (3) sumber daya energi, (4) modal manusia dan pendidikan. Dari keempat sumbangan utama, yang lebih menarik dari laporan itu adalah ditetapkannya kontribusi sumbangan sektor pertanian dan perikanan. 

Cukup masuk akal mengingat Indonesia memenuhi persyaratan menjadi negara pertanian yang kuat: tersedianya pencahayaan sepanjang tahun,ketersediaan tanah, dan kecukupan air.Demikian juga Indonesia memiliki sumber daya perikanan dan luas laut yang sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai refleksi sebuah negara kepulauan (an archipelago nation). 

Namun, apakah perkiraan dengan memunculkan peranan sektor pertanian dapat diterima akal sehat? Pertanyaan ini relevan khususnya jika dilihat dari rencana jangka panjang pemerintah terhadap masa depan pertanian, termasuk kesiapan sumber daya manusia petani dan infrastruktur pertanian. 

Faktor Mendasar 

Ketiga faktor di atas masih pada posisi lemah. Itu pun kalau ketiga akar masalahnya dijadikan fokus transformasi pembangunan pertanian pada masa yang akan datang. Pertama, hingga kini belum kelihatan keputusan akan cara pandang dan sikap mana di antara jenis subsektor pertanian yang dapat disepakati bersama yang kemudian dijadikan konsensus nasional.

Tentunya subsektor yang memiliki strategi dan masa depan daya saing jangka panjang pertanian. Jika kita ingin memilih, setidaknya beberapa komoditas pangan beras, jagung, gula, dan kedelai, disertai daging dan ikan adalah pilihan yang secara komparatif menguntungkan comparative advantage untuk menjadikan Indonesia kuat ketahanan pangannya di kemudian hari. Subsektor ini belum jelas apakah akan dijadikan benar-benar swasembada. 

Tahun 2005,secara nasional dari 7,7 juta hektare sawah, yang sudah dialiri irigasi mencapai 4,6 juta (59% dari total areal sawah).Tahun 2009 dari sekitar 8,0 juta hektare, yang mendapatkan irigasi meningkat menjadi 5 juta hektare (63% dari total areal sawah). Penyelesaian irigasi terutama terjadi pada daerah sawah di Jawa yang masih tersisa sekitar 15% dari sawah yang belum beririgasi, sementara untuk daerah luar Jawa masih lebih 50%-nya areal sawah yang masih tadah hujan (BPS 2012). 

Kedua, jika kita ingin menjadikan sektor pertanian dan perikanan tangguh, selain teknologi masih cukup sulit untuk menemukan farmer yang sesungguhnya. Kita punya banyak petani yang komposisinya sampai pada kisaran 54% dari total angkatan kerja. Namun petani kita baru 8% yang sanggup menamatkan pendidikan SMP ke atas dan hanya 1% mereka yang menamatkan pendidikan diploma ke atas.

Artinya, selain pendidikan jauh dari persyaratan dasar, petani kita masih menghadapi berbagai soal,belum memikirkan tiga hal dalam benak mereka sekaligus ketika bertani (produksi, pengolahan, dan pengembangan marketing), melainkan pada umumnya satu-satu. Ketiga, dari sisi teknologi, kondisi saat ini pertanian Indonesia masih jauh dibandingkan dengan Thailand,Vietnam, dan China.

Pada negara-negara tersebut, sekalipun cukup bervariasi penekanannya, penggunaan pupuk dan traktor relatif jauh dibandingkan dengan peranan faktor produksi itu untuk Indonesia. Bahkan dari catatan yang ada, produktivitas pertanian Indonesia jauh dibandingkan dengan petani Jepang dan Amerika Serikat. Rendahnya input dan teknologi juga terkendala skala ekonomi (economic of scale) dalam pengelolaan pertanian. 

Akhir-akhir ini diperkirakan petani kita tersisa 0,34 hektare per rumah tangga dalam mengusahakan areal pertanian. Jauh dari keperluan skala ekonomi. Anehnya dari skala ekonomi demikian belum ada rencana yang tegas apakah kita tetap mempertahankan pengusahaan pertanian dalam skala kecil atau bisa bergerak ke skala ekonomis dengan produktivitas yang lebih tinggi. 

Politik Fiskal 

Hingga masa akhir Orde Baru, laporan International for Food Research Institute (IFRI) menemukan bahwa komitmen pemerintah untuk mendukung pertanian relatif tinggi. Namun mulai Orde Reformasi dan saat desentralisasi pertanian, subsektor pertanian berada di persimpangan jalan. Setidaknya jika kita lihat dari politik fiskal. 

Tahun 2005 sampai 2010 misalnya politik fiskal Indonesia masih mengutamakan subsidi energi ketimbang memperkuat infrastruktur jalan (termasuk irigasi), pengembangan mutu pendidikan dan kesehatan, serta penguatan pertanian. Tahun 2005, pembiayaan untuk subsidi energi (BBM dan energi listrik) proporsinya sekitar 22% dari total belanja pemerintah. 

Saat itu subsidi untuk sektor pertanian hanya sebesar 1%-nya. Pengeluaran pemerintah 22 kali lebih dibandingkan dengan penguatan sektor pertanian. Banyak bukti empiris bahwa subsidi telah berjalan membuat ketidakadilan serta Indonesia dapat dianggap sebuah negara yang kehilangan momentum untuk memanfaatkan keberuntungan fiskal fiscal winfall. 

Sekalipun ada pergeseran pada 2010, subsidi pertanian masih pada kisaran 1,3% dari total pengeluaran pemerintah. Ketika kita ingin melihat bagaimana keputusan politik yang tecermin dari realisasi dari APBN tahunan, saat bersamaan cukup minim pemerintah daerah untuk menempatkan subsektor pertanian menjadi sumber utama dalam jangka panjang daerahnya.

Apalagi dari dana transfer ke daerah dan dana alokasi umum (DAU), sektor pertanian kebagian relatif hanya untuk membiayai pegawai negeri dan penyuluh yang menyerap sebagian besar dari pengeluaran tahunan dinas-dinas. Ketika harga BBM naik atau tarif dasar TDL naik, paling banter dilakukan program kompensasi untuk masyarakat miskin yang formatnya itu-itu saja dan dilakukan secara narsis. Memang kompensasi umumnya ditujukan kepada petani melalui penyediaan beras miskin dan bantuan langsung tunai. 

Namun ternyata raskin disediakan dari beras impor yang notabene memperkuat pertanian Vietnam dan Thailand serta menguntungkan bisnis pada rantai perdagangannya. Alangkah eloknya ketika persoalan kompensasi diberlakukan, beras yang dihasilkan petani Indonesia dibeli Bulog dengan harga di atas harga pasar. Diperkirakan subsidi harga beli jauh lebih baik dibandingkan dengan subsidi pupuk atau bibit. Juga alangkah besarnya efek jika penggunaan BLT untuk membeli pangan lokal ketimbang yang lain. 

Akhirnya kita kembali membenarkan apa yang diungkap Michael P Todaro dalam transformasi pertaniannya: dibutuhkan setidaknya tiga hal. Pertama, redistribusi tanah melalui land reform. Kedua, diperlukan kebijakan dan regulasi subsidi dan harga. Ketiga, diversifikasi usaha kecil pertanian. Ketiga garis kebijakan yang diajukan Todaro tampaknya belum diikuti politik fiskal Indonesia. 

Janji Politik 

Politik fiskal akan lahir dari rencana yang jelas dari pemerintah. Terlebih Bapak SBY adalah seorang yang berlatar belakang pertanian. Namun kondisi prasyarat itu diikuti oleh cara berpikir para legislatif mulai dari pusat sampai ke daerah yang tidak memihak pertanian.Kecuali ketika kampanye dekat, petani memperoleh janji-janji manis dari politikus. 

Apakah ada arah keberpihakan legislatif ke arah masa depan pertanian itu? Tampaknya hingga kini tidak ada bau telunjuk tangan mereka yang memperjuangkan balas jasa terhadap petani ini. Dalam perjuangan waktu yang panjang, memang balas jasa terhadap petani sangat sulit dalam ruang dan waktu ketika negara kita masih menguntungkan kaum kapitalis. 

Buktinya sektor pertanian lebih tumbuh pada subsektor perkebunan ketimbang yang berkaitan dengan keamanan pangan jangka panjang. Jika cara pandang ini tidak diubah, saya tidak yakin laporan McKinskey akan benar di kemudian hari hanya gara-gara politik fiskal yang melemah alias kabur dalam mendudukkan posisi penguatan pertanian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar