Jumat, 18 Januari 2013

Penuaan Dini Partai Politik


Penuaan Dini Partai Politik
Arya Budi ;  Manajer Riset Pol-Tracking Institute
KORAN TEMPO, 18 Januari 2013



Kini, Partai Demokrat berada dalam perang dingin antara SBY sebagai founder patron dan Anas Urbaningrum sebagai penguasa struktur eksekutif partai di tengah gelombang korupsi. Partai NasDem, sebagai satu-satunya partai baru peserta pemilu 2014, pun mengalami perang dingin antara Surya Paloh sebagai founder patron dan Harry Tanoesoedibjo sebagai pemegang kuasa kapital di tengah pengeroposan organ sayap pemudanya (Gerakan Pemuda NasDem). 
Partai-partai ini menderita progeria politik atau penuaan dini secara politik. Anatomi kelahiran dua partai ini hampir sama: belum lama lahir, tetapi mengalami akselerasi pematangan organisasi yang demikian cepat, seperti merapatnya banyak tokoh dan politikus, terbangunnya infrastruktur organisasi di daerah, tetapi juga terakselerasinya gejala partai yang patologis. 
Regularitas pemilu menciptakan kondisi di mana selalu ada partai yang lahir sebagai kontestan baru secara kelembagaan, namun juga bisa dikatakan sebagai kontestan lama secara politik. Dalam teori kelahiran partai, ada dua kategori besar terbentuknya partai politik. Pertama adalah partai yang lahir karena aspirasi dari bawah. Dan kedua adalah partai yang hadir akibat turbulensi politik elite di atas, sehingga existing elites (lapisan elite) menciptakan magnet politik hingga kerumunan politikus dan simpatisan masuk dalam agenda pelembagaan partai.
Hal penting yang perlu kita sadari bukan lagi pertanyaan "kenapa" partai lahir dan berkembang, melainkan bagaimana nasib partai dalam konteks politik saat ini? Partai yang lahir akibat tarikan existing elites di atas akan cenderung mempunyai basis massa yang cair. Tentu ini akan membingungkan publik sebagai pemilih.
Apalagi identifikasi kesertaan di Indonesia lemah dalam dua ujung logika perilaku memilih saat ini. Pertama, pemilih dalam mengambil keputusan politik pada aktivitas elektoral tidak mengidentifikasi dirinya sebagai anggota partai politik. Kedua, ketika figur partai berhasil menjabat kepala daerah atau pemimpin eksekutif, publik lantas tidak melihat secara kongruen dari partai yang mengusung figur tersebut. Iklim sistem multipartai sangat mendukung skema politik seperti ini. Sebab, pengaruh politik tidak terdiferensiasi secara khusus, melainkan hanya pembedaan-pembedaan simbolis dan formal yang melekat dalam setiap partai politik. Partai agama semakin pudar merepresentasikan preferensi agama, sementara partai nasional semakin transaksional. 
Dalam jagat ilmu politik, model perilaku partai dikenal dalam tiga bentuk: partai yang hadir untuk memperoleh suara (vote-seeking party); partai dengan ambisi jabatan politik, baik eksekutif maupun legislatif (office-seeking party); dan partai yang dibentuk untuk mengintervensi dan mengendalikan kebijakan (policy-seeking party). Namun Kaare Strom, dalam A Behavioral Theory of Competitive Political Party (1990), menyatakan bahwa perilaku tersebut muncul dalam kondisi-kondisi khusus kelembagaan dan pengelolaan organisasi partai. Artinya, jika iklim kepartaian yang berlangsung tidak kompetitif, atau terperangkap dalam logika penjara dilema koalisi, hanya akan ada satu perilaku partai: office-seeking party. Adalah keniscayaan politik bahwa partai dibentuk untuk memperoleh suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu dan, jika kalah suara, iklim multipartai di Indonesia mengkondisikan perilaku partai untuk bertransaksi dalam koalisi demi jabatan politik. 
Sementara itu, Richard Katz dan Peter Mair dalam Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party (1995) menegaskan bahwa model perilaku partai yang muncul kemudian adalah model partai kartel, yaitu partai kolusif yang menjadi agen negara untuk menjarah sumber daya negara demi kebutuhan kolektif mereka sendiri (collective survival). Partai hadir untuk dirinya sendiri. Di sisi lain, tesis Katz dan Mair belum sepenuhnya benar untuk Indonesia, karena jelas di dalam partai ada mekanisme staffing yang membutuhkan sumber daya, di mana apa yang disebut collective survival juga melibatkan orang-orang di luar struktur elite partai. Alhasil, kekhawatiran munculnya partai pada setiap pemilu di Indonesia adalah, partai hadir untuk memenuhi kebutuhan kolektif elite yang membentuknya.
Namun partai ini terancam akan mengalami progeria politik jika terjadi salah perlakuan (mistreatment) dalam pengorganisasiannya. Progeria adalah istilah medis untuk menjelaskan penyakit penuaan dini pada seseorang. Artinya, sekalipun usianya masih sangat muda, fisiknya sudah menyerupai orang tua dengan segenap gejala patologis dan penampakan yang ada. Dengan demikian, penuaan dalam hal ini berbeda dengan kedewasaan dan kematangan, karena hal ini berkaitan dengan rapuhnya organisasi partai. 
Dalam organisasi kepartaian, ada tiga ciri patologis dari partai yang sudah mengalami penuaan secara organisasional. Pertama, adanya konflik antara kepengurusan pusat dan daerah yang sering terjadi dalam proses kandidasi elite di tingkat daerah. Hal tersebut terjadi karena tidak sejalannya kebijakan pusat dan aspirasi dari bawah. Kedua, terjadinya faksionalisasi yang begitu jelas, sehingga berakibat pada berpisahnya gerbong faksi dari struktur kepengurusan partai atau melepas keanggotaannya dan berakhir sebagai partai baru. Ciri patologis kedua ini sering terjadi dalam sirkulasi pucuk pimpinan dalam struktur partai atau proses kandidasi kursi eksekutif. 
Ketiga, keluar dan berpindahnya politikus atau elite partai secara sporadis ke partai lain tanpa adanya korelasi ideologis, karakter massa, dan relevansi platform. Dengan kata lain, partai yang mengalami progeria politik adalah partai yang baru saja mengikuti pemilu untuk pertama kalinya tapi sudah terserang tiga ciri patologis penuaan di atas secara bertahap. 
Progeria politik di tubuh partai akan berbahaya bagi proses konsolidasi demokrasi Indonesia karena tiga alasan. Pertama, partai politik yang hadir memberikan alternatif hanya ketika pemilu diselenggarakan. Setelahnya, kerja partai adalah untuk partai itu sendiri, karena relasi resiprokal elite-partai. Kedua, kompetisi partai dalam sistem politik yang ada tidak berada dalam ruang ideologi, gagasan, dan platform, melainkan perebutan empati sosial yang justru menciptakan antipati elektoral. Ketiga, akhirnya rakyat pemilih akan mengalami ketidakpercayaan massal atau massive distrust terhadap institusi politik karena mulai memahami bahwa perilaku partai adalah untuk dirinya sendiri (collectively survival elite). Dengan demikian, partai politik memerlukan tindakan pencegahan (preventive action) untuk menghindari progeria politik di tubuh organisasinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar