Pajak Menurut
Syariat
Zaim Saidi ; Pimpinan Wakala Induk
Nusantara
|
REPUBLIKA,
18 Januari 2013
Keluarnya maklumat sejumlah tokoh
masyarakat yang menyerukan boikot pajak menjelang akhir 2012 lalu terlalu
penting untuk di lewatkan begitu saja. Fakta bahwa maklumat itu dikeluarkan
di Pondok Pesantren sekelas Tebu Ireng, Jombang, menambah dimensi dan
bobotnya. Meskipun begitu, KH Sholahudin Wahid, sebagai pimpinan Ponpes
Tebu Ireng, menyatakan maklumat itu tidak mewakili ponpesnya. Selain sejumlah
individu, seruan itu juga dikumandangkan oleh Asosiasi Pembayar Pajak
Indonesia (APPI).
Alasan utama seruan boikot itu adalah
karena uang pajak rakyat banyak dipakai untuk membayar bunga utang rekapitulasi
bank-bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Seharusnya,
bunga bank rekapitulasi ini dibayar para pemilik bank bermasalah tersebut,
bukan oleh pajak dari rakyat.
Dari perspektif Islam, pandangan
seperti ini sudah sangat tepat, bahkan seharusnya dipertajam sehingga posisi
penolakannya memiliki landasan yang lebih kuat dan syar'i. Dengan perspektif
syariah secara tajam, kita bisa memosisikan utang berbunga perbankan dan
pajak sebagai saudara kembar.
Meski sekilas tampak berasal dari sumber berbeda, yaitu perbankan swasta di
satu sisi dan pemerintah di lain sisi, keduanya berasal dari sumber yang
sama, yaitu riba. Allah SWT dan Rasulnya, dengan sangat tegas, mengharamkan
riba ini karena kezalimannya. Sebagaimana kita ketahui, pembiayaan
pengelolaan pemerintahan, dan bukan hanya kasus rekapitulasi BLBI itu, pada
dasarnya bersumber dari utang berbunga ini.
Pada gilirannya, pemerintah
menarik pajak, yang tak lain adalah perampasan hak milik rakyat yang
dilegalkan, dengan berdalih bahwa pajak diperlukan untuk membiayai
kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, gedung sekolah, selokan, dan
sebagainya. Tentu saja hal ini tidak sepenuhnya benar, sebab hampir seluruh
anggaran belanja pemerintah dibiayai dari utang yang utamanya berasal dari
rentenir asing itu. Pajak menyusul belakangan, harus ditarik dari setiap
warga untuk mencicil utang tersebut, beserta bunganya yang terus berlipat
ganda.
Republik Indonesia berdiri sebagai
negeri merdeka tanpa utang. Tetapi, karena dipaksa mengambil alih utang
kolonial, yang nilainya `hanya' empat miliar dolar AS, negeri ini sekarang
menanggung utang 202 miliar dolar AS atau hampir Rp 2.000 triliun. Penggelembungan
utang ini terutama akibat formula bunga berbunga, dan utang terus-menerus
yang diambil setiap tahunnya. Akibatnya, untuk membayar cicilan dan bunganya,
seluruh pajak yang ditarik itu masih juga tak mencukupi, dan harus ditambal
lagi dari utang baru.
Dari kacamata syariat Islam kita
rujuk perintah Allah SWT yang melarang perolehan harta seseorang kecuali atas
dasar `perdagangan sukarela' (An Nisa ayat 29). Pajak adalah pungutan paksa
yang dilakukan oleh satu pihak, yang merusak transaksi muamalat, dan menambah
harga dan biaya yang tidak ada imbal-baliknya. Dalam Surat Al A\'raf
ayat 86, secara lebih eksplisit Allah SWT melarang pemajakan, "Janganlah
kamu duduk di tepi jalan dengan mengancam dan menghalang-halangi orang
beriman di jalan Allah dan membelokkannya."
Para mufasir menjelaskan makna `mengancam dan manghalang-halangi'
sebagai pemajakan. Nilai pajak yang lazim dikenakan di jalanan pada waktu itu adalah 10 persen atau lebih.
Dulu para pemajak mengancam para
pedagang secara fisik, yang tentu saja dari syariat Islam merupakan perbuatan
kriminal. Kini, dalam sistem pemerintahan ribawi, yang terjadi adalah
sebaliknya: para pedagang (yang tak mau menyerahkan pajak) diancam hukuman
penjara, sedangkan para pemajaknya dilindungi undang-undang.
Lebih jauh Rasul SAW dengan tegas
juga menyatakan larangan atas pengenaan pajak perdagangan. Dalam hadis
riwayat Ahmad dan Abu Dawud Rasulullah SAW mengatakan, "Tidak akan masuk
surga orang yang memungut cukai". Dalam riwayat lain, ia mengatakan,
"Sungguh orang yang memungut cukai berada dalam neraka." Cukai
yang dirujuk dalam hadis ini adalah sejenis pajak pertambahan nilai, yang
disebut sebagai al-'Asyir, yang nilainya adalah 10 persen. Pada zaman kita
kini PPN umumnya juga dikenakan sebesar antara 10 persen-15 persen.
Pajak tidak dibenarkan dalam
Islam. Maka itu, dalam bahasa Arab murni bahkan tidak dikenal adanya istilah
pajak. Yang ada adalah kata dharibah yang makna aslinya adalah upeti yang
dikenakan oleh para majikan kepada budak sebagai imbalan atas izin bagi mereka
untuk bekerja dan mencari upah di luar. Dalam bahasa Arab modern, kata
dharibah digunakan untuk memberi pengertian pada konsep pajak ini, khususnya
pajak penghasilan (PPh).
Jelaslah, dalam perspektif syariat
Islam, negara modern, atau negara fiskal, tempat pembiayaannya berasal dari
utang berbunga di satu sisi, dan pemajakan paksa kepada warganya di sisi
lain, tidak lain adalah sistem perbudakan (modern) itu sendiri. Dan, sebagai
saudara kembar riba, pajak pun harus diharamkan dan dihentikan, bukan
diboikot. Satu-satunya pungutan wajib yang dibolehkan dalam syariat Islam
adalah zakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar