Jumat, 18 Januari 2013

Negeri Tanpa Visi Politik Ekologi


Negeri Tanpa Visi Politik Ekologi
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 18 Januari 2013



SETIAP kali musim hujan tiba, negeri ini tidak henti-hentinya diteror bencana ekologi. Hampir di setiap daerah terdengar alarm ekologi berdering keras. Sejumlah daerah telah menjadi langganan banjir, seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, atau di beberapa daerah di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Banjir tidak hanya merusak tanaman, menghanyutkan harta benda, dan menenggelamkan kawasan permukiman, sambil merangsek ribuan warga untuk mengungsi, tetapi juga memakan korban nyawa dan menghanyutkan harta benda.

Tragisnya, kawasan yang dilanda banjir bukan semakin berkurang oleh tindakan pencegahan yang penuh kesadaran warga, melainkan malah semakin meluas sehingga tingkat kerusakan dan ancaman bahaya banjir bagi penduduk semakin mengerikan. Fenomena banjir yang semakin mengerikan itu menyingkap persoalan kerusakan ekologi yang sudah mencapai taraf kritis. Pembabatan hutan dan eksploitasi ekologi yang berwatak serakah telah melahirkan monster ekologi pemangsa kehidupan. Akibatnya, kehidupan di alam kini sedang berada dalam ancaman serius kematian prematur.

Persoalannya kini ialah apakah ancaman serius kematian prematur akan terus dibiarkan tanpa upaya serius untuk mencegahnya? Pertanyaan itu sulit dijawab jika bangsa ini tidak memiliki visi politik ekologi ke depan untuk menata dan membangun lingkungan yang tidak mencederai dan merusak alam, sebab alam atau ekologi ini kian rusak dan tidak mustahil bangsa ini menuju kepada kepunahannya. Hal itu akan terjadi jika tidak segera dibangun alternatif penyelesaian berbagai krisis ekologi secara berkelanjutan dengan mengembangkan kelestarian lingkungan baru, yang memungkinkan kehidupan ekosistem atau alam tetap lestari.
Desekrasi Ekologi
Ancaman serius kematian prematur tersebut tidak bisa dianggap sepele. Jared Diamond dalam bukunya, Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005), Indonesia dikatakan tidak lebih sebagai sebuah negeri yang sedang menuju tanda kepunahan. Diamond mencontohkan kepunahan bangsa Viking Norse di Skandinavia gara-gara tidak sengaja menyebabkan erosi dan penggundulan hutan sehingga menghancurkan sumber daya mereka. Dalam penelitian Diamond, keruntuhan bangsa Maya, Kepulauan Easter, bangsa Zimbabwe, dan lembah Sungai Indus sebagai pelajaran penting bagaimana seharusnya bangsa-bangsa modern sekarang ini memperlakukan alam.
Indonesia, dari perspektif penelitian Diamond, tampak semakin terbukti pascakerusakan hutan dan lingkungan yang menyembulkan banjir yang semakin tidak terkendalikan ini. Bencana ekologi seperti banjir sudah semakin meluas di seluruh pelosok negeri dengan tingkat kerusakan yang semakin mengerikan akibat debit air semakin banyak. Jumlah debit air yang semakin besar itu tentu tidak disebabkan hujan yang semakin besar dengan durasi yang semakin lama, tetapi karena semakin berkurangnya daerah resapan air hujan dan semakin meluasnya daerah kerusakan hutan atau lingkungan.
Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2009) dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada 2009 atau setara dengan sekitar 46,3% dari luas total daratan Indonesia. Berkurangnya kawasan hutan tersebut disebabkan kebanyakan beralih fungsi menjadi permukiman dan industri serta pembalakan liar yang marak.

Bertambah luasnya daerah kerusakan lingkungan dan menipisnya jumlah areal hutan akibat penebangan itu tidak hanya menimbulkan bencana banjir, tetapi juga bencana kekeringan yang berujung pada kerusakan air bersih dan petani yang tidak lagi mengairi lahan pertanian. Dalam dua tahun terakhir terjadi 4.530 bencana alam yang melanda Indonesia dengan jumlah korban meninggal 2.973 orang dan 112.664 kerusakan parah. Bencana yang paling dominan adalah banjir, banjir bandang, tanah longsor, dan kekeringan.

Ironisnya, bangsa ini seperti kurang serius menanggapi isu dan realitas kerusakan ekologi tersebut. Para ahli ekologi juga sudah mendeteksi ekologi sebagai the suffering other baru dalam dunia ini. Kita pun sepertinya belum sadar juga bahwa pembabatan dus perusakan lingkungan besar-besaran itu melahirkan monster ekologi dengan daya destruktif sangat mengerikan yang mengancam kematian prematur untuk kehidupan masa kini dan yang akan datang.

Itulah mengapa kemudian Sallie McFaque dalam Life Abundant: Rethink ing Theo logy and Economy for a Planet in Peril menegaskan soal betapa perlunya komunitas dunia melakukan revolusi ekologi untuk menghentikan desekrasi ekologi. Karena eksploitasi-perusakan lingkungan sudah mencapai batas kemampuan ekologi untuk menanggungnya. Kondisi itu akan semakin parah jika manusia tidak mengubah cara pandang dan mampu mengendalikan perilaku eksploitatif terhadap alam.

Menurut Mc Faque, perilaku eksploitatif atau destruktif manusia terhadap ekologi itu bersumber pada pandangan mengenai ciptaan yang ditata dalam relasi dualistishierarkis dengan posisi alam sebagai objek yang dikuasai secara superior oleh manusia. Alam sekadar dipandang sebagai objek par-excellence-menyitir Mutiara Andalas (2006). Atau, alam menjadi the suffering other baru karena terus-menerus diperas secara rakus oleh manusia. Alam dipandang sebagai benda yang bisa dikuasai dan diperas daya-dayanya. Itulah yang berujung pada desekrasi alam yang semakin parah. Ekosistem dan seluruh kehidupan semesta terancam mengalami kematian prematur akibat luka-luka yang diderita sangat parah.
Visi Politik Ekologi
Sepanjang sejarah Indonesia, bangsa ini sering kali mengambil keputusan keliru terkait dengan ekologi. Keputusan kerap diambil hanya berlandaskan pada pertimbangan kepentingan dan keuntungan material dengan mengabaikan kelestarian dan kepentingan masa depan alam itu sendiri yang memiliki fungsi jangka panjang. Itu bisa dilihat dari pembe rian izin penguasaan hutan, maraknya kebi jakan alih fungsi hutan lindung, dan pembe rian keistimewaan bagi konglomerat kehutanan penguasaan hutan.

Memang, pemerintah kerap juga mengambil langkah reboisasi dan rehabilitasi hutan termasuk penanggulangan bencana, dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Namun sayang, realisasinya tidak maksimal dan dana pun bergulir tidak tepat sasaran, dikorupsi mafiamafia anggaran. Akibatnya, dengan kerusakan lingkungan yang parah, pemulihan, perbaikan, dan pelestarian ulang tidak bisa diharapkan. Jika sudah demikian, bagaimana bisa mengharapkan masa depan alam bisa lestari dan anak cucu bisa menikmati lagi kekayaan alam negeri ini?

Karena itu, visi politik ekologi yang jelas baik untuk kelestarian alam dan kebutuhan anak cucu bangsa ini harus dibangun secara serius, penuh kedisiplinan dan iktikad baik, serta political will yang baik pula. Untuk mendukung hal itu, perlu dikembangkan pemikiran ekologi lingkungan (ecosophy) berupa alternatif penyelesaian berbagai krisis ekologi secara berkelanjutan dengan mengembangkan ekologi lingkungan baru, yang tidak lagi berlandaskan pada spirit eksploitasi tanpa batas, megalomania-kapitalistis yang hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, melainkan pada keseimbangan kelestarian dan berkelanjutan.

Adalah suatu visi politik ekologi yang benar-benar berorientasi pada sikap pemahaman tentang perlunya memelihara dan merawat alam demi keberlanjutan kehidupan semesta, bukan melukai dan merusaknya--mutual understanding yang hanya mengedepankan aspek ekonomi semata. Singkatnya, pembangunan bangsa ini tidak bisa lagi berjalan tanpa visi politik ekologi yang jelas dan tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar