Menakar
Ketidaktahuan
Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
18 Januari 2013
Ignorantia
legis excusat neminem. Demikian salah satu postulat dalam
ilmu hukum yang dapat diartikan bahwa ketidaktahuan akan undang-undang
(hukum) bukan merupakan alasan pemaaf. Mengapa demikian? Postulat tersebut
merupakan rangkaian dari postulat sebelumnya, nemo ius ignorare censetur atau iedereen wordt geacht de wet te
kennen, yang berarti setiap orang dianggap tahu akan undang-undang
(hukum).
Dalam
beberapa literatur, postulat ini sering disebut sebagai fiksi hukum. Dirujuk
kepada kedua postulat itu, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
saat memperingati Hari Antikorupsi Sedunia dan Hari Hak Asasi Manusia di
Istana Negara, Jakarta, Senin, 10 Desember 2012, menimbulkan kontroversi.
Lebih kurang SBY menyatakan bahwa pejabat yang tidak begitu memahami korupsi
kemudian terjerat kasus itu perlu ”diselamatkan”.
Secara
substansial pernyataan itu dalam konteks hukum pidana perlu dijelaskan secara
teoretis. Ini terkait dengan asas geen
straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan sebagai dasar dapat
dipertanggungjawabkan pelaku. Elemen terpenting dalam pertanggungjawaban
pidana adalah kesalahan, yang salah satu unsurnya ialah adanya sikap batin
antara pelaku dan perbuatan yang dilakukan. Sikap batin inilah yang kemudian
melahirkan bentuk kesalahan dalam hukum pidana berupa kesengajaan atau
kealpaan.
Dalam
konteks Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kita miliki
terdapat kurang lebih 30 perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi dengan bentuk kesalahan berupa kesengajaan, baik yang disebut
secara tegas maupun tidak. Jika elemen kesengajaan disebutkan secara tegas,
hal itu harus dibuktikan jaksa penuntut umum. Jika tidak disebutkan, elemen
kesengajaan tersebut dianggap telah terbukti jika semua unsur perbuatan itu
bisa dibuktikan. Syarat dari kesengajaan adalah mengetahui dan menghendaki
karena, dengan demikian, dolus malus atau niat jahat dari pelaku dapat
dibuktikan.
Akan
tetapi, membuktikan adanya dolus malus tidaklah mudah, terlebih jika
perbuatan tersebut dalam artian negatif atau tidak melakukan suatu perbuatan
yang seharusnya dilakukan alias pembiaran. Oleh karena itu, WPJ Pompe dalam
Handboek Van Het Nederlandse Strafrecht menyatakan bahwa untuk membuktikan
adanya dolus malus dalam suatu perbuatan, dapat digunakan teori kesengajaan
yang diobyektifkan berdasarkan kesesuaian fakta-fakta dengan bukti yang
valid.
Tidak
selamanya pula perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dapat dijatuhi pidana
jika terdapat kesesatan di dalamnya. Ada dua kesesatan yang tidak dapat
dijatuhi pidana, yakni feitelijke dwaling atau kesesatan fakta dan
rechtsdwaling atau kesesatan hukum.
Kesesatan
fakta berarti suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang
tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Sementara kesesatan hukum
berarti melakukan suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang
oleh undang-undang.
Rechtsdwaling
Persoalan
lebih lanjut dalam hukum pidana, apa parameternya untuk membuktikan bahwa
seseorang tidak mengetahui hakikat perbuatan yang dilakukannya? Paling tidak
ada dua ukuran untuk menentukannya. Pertama, kedudukan, jabatan, dan tingkat
pengetahuan orang tersebut. Kedua, kesesuaian antara fakta yang ada dan
berdasarkan kesengajaan yang diobyektifkan. Orang tersebut dianggap tahu
hakikat perbuatan yang dilakukannya.
Kembali
kepada substansi pidato SBY. Ada beberapa catatan.
Pertama,
SBY hendak menyatakan bahwa seorang pejabat yang tidak memahami apa itu
korupsi dan kemudian terjerat tindak pidana tersebut dapat dimasukkan ke
dalam kesesatan hukum sehingga tidak dapat dipidanakan.
Kedua,
jika pernyataan tersebut ditujukan kepada pejabat setingkat menteri, hal ini
bertentangan dengan persyaratan menteri yang digariskan SBY sendiri. Bukankah
ketika membentuk kabinet, persyaratan yang digariskan adalah memiliki
integritas, kapabilitas, dan kapasitas intelektual yang memadai? Artinya,
jika memiliki kapasitas intelektual yang memadai, seorang pejabat mestinya
memahami mana tindakan yang koruptif dan mana yang bukan.
Ketiga,
jika merujuk pada parameter ketidaktahuan sebagaimana diuraikan di atas,
sulit bagi kita menyatakan bahwa pejabat setingkat menteri tidak mengetahui
bahwa hakikat perbuatannya (apakah melakukan sesuatu ataukah tidak melakukan
sesuatu) adalah tindakan koruptif. Namun, semua itu harus ada kesesuaian
antara fakta sehingga berdasarkan kesengajaan yang diobyektifkan, menteri
tersebut dianggap tahu.
Keempat,
banyak yurisprudensi Mahkamah Agung yang menunjukkan ketidaktahuan seseorang
kemudian terbantahkan berdasarkan kesengajaan yang diobyektifkan sehingga
orang tersebut dianggap tahu dan dianggap ikut serta dalam melakukan tindak
pidana. Terlebih, yurisprudensi Mahkamah Agung menganut teori penyertaan
ekstensif.
Di
sini, twee of meer verenigde personen (dua atau lebih orang bersekutu) tidak
perlu mempunyai sifat dan karakter yang sama. Demikian pula motivasi dan
kehendak yang sama dalam mewujudkan suatu tindak pidana. Lihat Putusan
Mahkamah Agung dalam Forum Privilegiatum 23 Desember 1955 Nomor 1/1955/MA
Pid. Menteri Kehakiman saat itu Djodi Gondokusumo yang memberikan izin
tinggal kepada seorang warga negara asing yang telah dipersona-non-gratakan
dianggap mengetahui penyuapan antara warga negara asing tersebut dan dua
orang anak buah Djodi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar