Jumat, 11 Januari 2013

Membangun Kejujuran


Membangun Kejujuran
Said Aqil Siradj ;  Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
SINDO,  11 Januari 2013



Kejujuran ternyata masih sesuatu yang mahal di negeri kita. Orang yang jujur faktanya akan tertimpa banyak petaka, seperti cibiran dan bahkan pengusiran warga. Beberapa waktu lalu kita dikejutkan oleh kasus seorang ibu yang mengungkap kecurangan ujian nasional di sebuah SD di Surabaya.
Untung kita masih bisa menepuk dada, baru saja berselang ada seorang office boy di sebuah bank di Jakarta yang menemukan uang Rp 100 juta kemudian dikembalikan ke bank. Kejujuran ini perlu mendapat penghargaan yang mumpuni. Namun, masih banyak kasus ketidakjujuran yang menyesaki kehidupan bangsa kita. Kita sudah sumpek dengan berbagai aksi ketidakjujuran seperti korupsi dan penyalahgunaan wewenang di tingkat elite yang terus menghiasi wajah negeri ini. 

Nyatanya, masyarakat sudah terkena “virus” ketidakjujuran. Masyarakat akan gampang “marah” bila kepentingan massalnya terkoyak termasuk akibat aksi kejujuran. Bila ada maling motor tertangkap, masyarakat akan tersulut untuk main hakim sendiri dengan cara membuat bonyok maling atau bahkan membakarnya hidup-hidup. Bila warga suatu kampung dicelakai oleh warga kampung lain, akan mudah terjadi tawuran massal.

Ya, terjadilah semacam “ritual kekerasan”. Beruntunnya fakta ini makin pula membongkar adanya “ritual ketidakjujuran”. Lalu ada yang bilang bahwa kita hidup dalam masyarakat yang hipokrit. Ini yang kemudian melontarkan kegelisahan, apa yang salah di negeri kita? Bukankah pengajaran dan pendidikan keagamaan telah diberlakukan selama ini di sekolah-sekolah? 

Soal budi pekerti pun rasanya sudah sedemikian “membumi” sehingga secara jargonis kerap digemborkan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang santun, mudah bersahabat, dan terbuka. Di sebelah lainnya, kita pun tiba-tiba jadi tergagap-gagap oleh, katakanlah, situasi “absurd” tersebut. 

Petunjuk Islam 

Sering muncul gumamgumam dalam masyarakat bahwa mencari orang pintar di negeri ini sungguh banyak, tetapi mencari orang yang jujur dan lurus menjadi hal yang teramat langka dan sulit. Sekali lagi, ini menunjukkan ada yang tak beres di negeri kita atau juga ada sesuatu yang paradoks atau kontradiktif dengan bangsa kita yang konon dikabarkan sebagai bangsa yang agamais. 

Dalam Islam,sifat jujur dan adil merupakan inti ajaran Islam. Kejujuran menempati kedudukan istimewa dalam ajaran Islam, sebab ia merupakan penopang atau penyangga jalan kebaikan bagi manusia. Menurut Imam Al-Qusyairi, kejujuran menempati kedudukan setingkat di bawah kenabian, sebagaimana firman Allah SWT,’’Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul- Nya,maka mereka itu akan bersama- sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,yaitu para nabi dan orangorang yang menetapi kebenaran.’’ (QS An-Nisa: 69). 

Alquran memuji orangorang yang jujur lebih dari lima puluh kali. Salah satunya yang termaktub dalam Surat Al- Ahzab ayat 24, ’’Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.’’ Salah satu ciri kejujuran dalam ajaran Islam adalah jika batin seseorang serasi dengan perbuatan lahirnya. 

Umar bin Khatthab pernah melarang umat Islam menilai dan melihat puasa atau salat seseorang, tetapi hendaknya melihat kejujuran ucapan seseorang jika dia berbicara, amanatnya jika dia diberi tanggung jawab dan kemampuannya meninggalkan apa pun yang meragukan jika mendapat kenikmatan dunia. Inti kejujuran adalah jika seseorang berkata benar dalam situasi-situasi di mana hanya dusta yang bisa menyelamatkannya. 

Pernyataan senada juga diutarakan Imam Thabari dengan menekankan pentingnya seseorang berkata dan berbuat jujur dalam kehidupan sehari-hari, walaupun kejujuran itu akan membunuh atau membinasakannya. Dalam Tafsir Al-Tabarani, diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ibnu Abbas, “Bahwa salah seorang dari golongan Anshar yang berperang bersama Rasulullah SAW kehilangan baju besi. Seorang laki-laki dari Anshar tertuduh mencuri baju besi tersebut.

Pemilik baju-baju itu menghadap Rasulullah dan mengatakan bahwa Tu’mah bin Ubairik yang mencuri baju besi itu dan meletakkannya di rumah seorang laki-laki Yahudi yang tidak bersalah.Kemudian kerabat Tu’mah pergi dan menghadap Rasulullah pada suatu malam dan berkata kepada Beliau, ’Sesungguhnya, saudara kami Tu’mah bersih dari tuduhan itu,sesungguhnya pencuri baju besi itu si Fulan, dan kami benar-benar mengetahui tentang itu,maka bebaskanlah sudara kami dari segala tuduhan di hadapan khalayak dan belalah dia.’ 

Berdirilah Rasulullah membersihkan Tu’mah dari segala tuduhan dan mengumumkan hal itu di hadapan khalayak ramai. Maka turunlah ayat 113 Surat An-Nisa’, “Sekiranya bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu. Tetapi mereka tidak menyesatkan, melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikit pun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” 

Indonesia Beradab 

Seorang filsuf muslim, Al- Farabi, pernah mengandaingandai lahirnya sebuah negara sejahtera nan damai yang disebutnya “al-madinatul fadhilah”. Dalam andaiannya, di negeri antah berantah itu semua orang hidup bahagia. Tidak ada kecurangan, kejahatan, kekerasan, kesewenang-wenangan, dan penderitaan. Semua orang berkecukupan, damai, jujur, optimis dan sentosa. Islam adalah manhajul hayah (jalan hidup nyata), bukan din al-maut (agama kematian). 

Dalam nomenklatur fikih disebut al-mashalih al-’ammah (kemaslahatan bersama). Artinya, dalam merespons dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan-kemasyarakatan, Islam selalu berpijak pada pendasaran hukum.Sifat manusia yang berpotensi merusak (ifsad fi al-ardhi wa safkud- dima’) perlu dikendalikan. 

Di sinilah, pentingnya mengedepankan penataan mentalitas melalui penguatan sikap kejujuran anak bangsa. Ini merupakan upaya preventif (ihtiyath) lewat pembangunan spiritual dan mentalitas, di samping pembangunan material di negara kita. Sudah seharusnya pembangunan mental sekukuh hasrat dalam pembangunan material demi terwujudnya pembangunan manusia seutuhnya. 

Keprihatinan kita atas kondisi ketidakjujuran dan juga kekerasan sesungguhnya kepedulian kita terhadap kondisi bangsa ini. Tak ada jalan lain, kecuali kita semestinya menguatkan mentalitas bangsa kita.

Perlu pula diingat bahwa pembentukan mentalitas dengan memperkukuh rasa kebersamaan, persaudaraan dan kejujuran, perlu ditopang melalui penegakan hukum secara tegas. Langkah ini demi membangun negeri kita yang lebih beradab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar