Rabu, 16 Januari 2013

Konversi Kapital


Konversi Kapital
Dinna Wisnu ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
SINDO, 16 Januari 2013



Ketika Menteri Luar Negeri Dr Marty Natalegawa menegaskan bahwa salah satu fokus kebijakan luar negeri Indonesia pada 2013adalah menjadi bagian dari solusi bagi permasalahan-permasalahan di dunia dan menghadirkan perdamaian,terbetik pertanyaan.
Bagaimanacaranya? Apa saja ihwal yang bisa dilakukan Indonesia saat ini? Jika kita tengok di Asia Tenggara,dalam konteks ASEAN, ada cukup banyak “ladang pekerjaan” bagi Indonesia untuk tampil sebagai pendamai dan bagian dari solusi. Misalnya soal sengketa sumber daya alam dan batas teritori laut di Laut China Selatan, ketegangan antara Kamboja dan Thailand, tersingkirnya kelompok minoritas tertentu di Myanmar, dan jangan lupa,ketegangan antarsaudara serumpun Malaysia dan Indonesia. 

Semuanya cukup rumit untuk diselesaikan. Sebagian dari masalah tersebut adalah masalah-masalah lama yang sudah berpuluh-puluh tahun terpendam tanpa penyelesaian dan kini mencuat ke luar. Rumit karena sebenarnya akar masalahnya ada di dalam negeri masing-masing. Ada problem penerimaan terhadap kelompok etnik tertentu, pemerintah yang merasa tidak nyaman dengan partisipasi publik dalam politik, lemahnya penegakan hukum di dalam negeri, dan lain-lain masalah yang sebenarnya memang bukan urusan bagi negara lain. 

Masalah etnis Rohingya misalnya sebenarnya sulit bagi Indonesia untuk sungguh menjadi penengah karena masyarakat lokal dan pemerintah Myanmar cenderung tak mau ambil pusing. Sang tokoh pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi bahkan memilih untuk wait and see. Kenyataannya masyarakat di sekitar sana menolak kehadiran kelompok etnis tersebut dan mereka secara ekonomi memang sangat miskin. 

Bantuan-bantuan kemanusiaan semata akan menguap bila akar masalahnya tak terselesaikan dan disepakati oleh masyarakat setempat. Dalam suatu perbincangan terpisah dengan dua rekan asing sesama warga Asia Tenggara, di mana masing-masing relatif muda usia dan merupakan orang-orang kepercayaan pemimpin tertinggi di dua negara, jawaban dari pertanyaan tadi ternyata sangat jelas. Tidak ada keraguan, tidak ada kebimbangan. Di mata mereka, Indonesia dapat diandalkan oleh banyak negara di Asia untuk menciptakan perdamaian atas dasar kerja sama yang tulus.

Mereka juga yakin, Indonesia berpotensi menjadi penghadir pembaruan dalam dunia diplomasi dan hubungan internasional. Harapan tersebut sebenarnya harapan di dalam hati saya, namun mendengarnya dari orang lain tak ubahnya diberi angin segar kala udara terasa pengap.Tak mungkin Indonesia diberi kepercayaan yang demikian besar bila tidak ada potensi yang sungguhan, bukan? Mari kita cek. Indonesia memang negara yang sangat ingin dilekatkan dengan cita-cita perdamaian. 

Dalam pembukaan UUD 1945, negara ini diharapkan untuk bisa menghadirkan kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian ke seluruh pelosok bumi. Yang menarik di sini adalah perspektif penghadiran kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian dalam UUD 1945 tersebut yakni bukan dalam konteks Indonesia sebagai ratu adil bagi negara-negara lain, atau penyelamat dunia, melainkan sebagai penjaga,pengawal, pendukung, dan pendorong perdamaian. 

Kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian dianggap sebagai hak seluruh bangsa sehingga Indonesia sematamenghantarnegara- negara lain pada fitrahnya. Ini hal unik. Saya yakin di antara negara-negara berpenduduk terbesar di dunia, apalagi di antara negara yang pertumbuhan ekonominya tertinggi di dunia (pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini terpesat nomor dua di dunia setelah China), hanya Indonesia yang menekankan pada distribusi dan pemerataan kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian. 

Contohnya dalam pernyataan baru-baru ini, Indonesia akan memajukan satu tema tentang pentingnya membangun infrastruktur dalam pertemuan APEC tahun ini. Sungguh suatu keunikan yang patut diapresiasi. Ketika negara-negara lain menempatkan prioritas setinggi-tingginya pada akumulasi kekayaan dan kekuasaan, Indonesia justru menempatkan hal lain dalam prioritas politik internasionalnya. Naif? Saya pikir tidak juga karena negara tidak semua negara bisa punya status politik yang demikian dikenalnya oleh negara-negara lain. 

Indonesia tengah membangun sebuah capital symbolic, bila diizinkan menggunakan istilah Pierre Bourdieu (filsuf dan sosiolog Prancis) secara longgar. Sebuah negara akan mampu memimpin dunia tidak hanya dengan kapital ekonomi, tetapi juga perlu menguasai capital symbolic di mana legitimasi kepemimpinan diakui bukan karena tekanan, melainkan negara lain setuju dan sepakat dengan ide yang kita lontarkan. Agar bisa mendapatkan legitimasi sebagai negara pendamai, setidaknya ada empat faktor yang dibutuhkan. Pertama, reputasi. 

Dalam politik dunia, gerak-gerik tiap bangsa dianalisis berdasarkan catatan atas kepatuhan mereka terhadap perjanjian, norma, dan protokol-protokol yang disepakati di tataran regional dan multilateral. Jumlah konvensi internasional yang ditandatangani mungkin tidak berhubungan langsung dengan demokrasi. Namun, semakin banyak konvensi yang diadopsi menunjukkan keinginan untuk mengupayakan perdamaian. 

Ambil contoh dalam soal Konvensi Perburuhan di mana Indonesia adalah salah satu negara di ASEAN yang telah mengadopsi seluruh Core Labour Standard. Singapura sebagai negara yang ekonominya tinggi belum menandatangani Konvensi No 87 tentang Kebebasan Berserikat hingga saat ini,sementara kita sudah meratifikasinya sejak lama. Negara yang pendamai akan tetap setia pada nilainilai idealisme meskipun sulit dan besar tantangannya. 

Kepatuhan tersebut akan dengan mudah ditangkap oleh negaranegara lain. Kedua, konektivitas pada mereka yang menentukan keputusan-keputusan strategis di tingkat global. Tidak ada yang bisa menghadirkan perdamaian dan solusi sendirian, bukan? Pihak yang paling skeptis dan mengganggu pun harus bisa direngkuh supaya tidak destruktif. Untuk itu, trust alias rasa percaya dari berbagai pihak adalah modal penting untuk membangun kepercayaan dari berbagai pihak dan menjadi penghubung antara pihak yang satu dan yang lain.

Dalam kasus Myanmar, Indonesia dan negara anggota ASEAN berupaya tidak mengikuti aksi pemberian sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Eropa atau Amerika karena menyadari bahwa transisi demokrasi di Asia Tenggara harus dimulai inisiatifnya dari negara itu sendiri. Pengalaman kudeta berkali-kali memberikan pelajaran di mana pencangkokan sistem politik yang baru dan instan tidak akan membawa perubahan yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. 

Ketiga, kegigihan dan keberanian untuk secara terbuka melakukan pembaruan segera (jadi tidak semata menanamkan sesuatu yang setelah bertahun lagi baru terasakan manfaatnya). Hampir semua orang ingin hasil yang instan, apalagi karena perdamaian membutuhkan modal rasa percaya yang besar. Untuk itu, sinyal apa pun yang menegaskan kegigihan dan keberanian adalah pangkal berkembangnya kerja sama yang baik dari berbagai pihak. Indonesia dalam hal ini kerap dipuji karena kegiatan diplomasi tanpa henti yang sifatnya justru quiet alias diam-diam.

Rata-rata diplomat Indonesia paham betul bahwa banyak hal penting justru bisa ditembus tanpa gembar-gembor di media dan forum terbuka. Untuk inilah kita dipuji. Keempat, dukungan dari politik lokal.Tidak ada politik global maupun regional yang sukses bila pihak-pihak yang terlibat dalam politik lokal tidaklah sejalan dalam kata dan karsa. Profesor ilmu politik yang kebetulan juga dosen saya dulu, William Liddle, mengatakan bahwa seburuk-buruknya tampilan pengambilan kebijakan di Indonesia sebenarnya komunikasi politik di Indonesia telah mampu membawa konsolidasi demokrasi berjalan maju. 

Dalam banyak aspek Indonesia jauh lebih baik dalam menjaga nilai-nilai demokrasi dan kesadaran itu cukup meluas hingga ke kalangan masyarakat biasa. Empat hal di atas adalah modal minimal yang Indonesia telah miliki dan saya yakin masih banyak modal-modal lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Banyak modal yang dapat kita identifikasi,namun yang lebih penting adalah tugas untuk melakukan konversi terhadap modal-modal tersebut menjadi sesuatu yang lebih tinggi nilainya yaitu mendapatkan pengakuan yang lebih luas dari publik. 

Hal ini yang dilakukan negara-negara maju yang sekarang memimpin dunia. Mereka tidak hanya menguasai modal ekonomi, tetapi juga sosial dan budaya dengan kreativitas dan penemuan-penemuan. Kebebasan dan demokrasi adalah syarat modal-modal itu dapat dikonversi oleh seluruh warga negara dengan segala kreativitasnya. Bila negara tidak menjamin demokrasi dan kebebasan, niscaya modal-modal itu akan terinflasi oleh zaman dan kita akan selalu tertinggal dan terbelakang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar