Kasus Putra
Hatta Rajasa
Tjipta Lesmana ; Mantan Asisten Ombudsman Nasional
|
SINAR
HARAPAN, 07 Januari 2013
Ling
Gu (23), putra Ling Jinhua, orang ke-4 dalam jajaran Biro Politik Partai
Komunis China (PKC) pada 18 Maret dini hari mengalami kecelakaan maut di Ring
Road ke-4 wilayah Utara Beijing. Ketika itu Ling Gu sedang melarikan Ferrari
458 berwarna hitam dengan kecepatan tinggi.
Tampaknya,
ia dalam keadaan mabuk ketika mengebut dengan Ferrari-nya. Ling Gu tewas
seketika; dua wanita muda – satu telanjang bulat, satu lagi setengah
telanjang – menderita luka-luka. Ada dugaan tiga sejoli itu sedang pesta seks
di mobil yang dilarikan cepat oleh Ling Gu.
Hampir
enam bulan lamanya insiden maut di Ring Road ke-4 Utara Beijing berhasil
dirahasiakan. Bahkan, polisi setempat berusaha memalsukan identitas Ling Gu.
Maklum, Ling Jinhua, sang ayah, adalah teman dekat Presiden Hu Jintao yang
juga anggota Biro Politik, lembaga paling berkuasa di China.
Baru
menjelang Kongres PKC pada September lalu berita ini mengemuka di beberapa
koran terbitan Hong Kong. Rupanya, ada pihak tertentu yang sengaja
membocorkan berita ini dalam upaya menyingkirkan Ling Jinhua dari tampuk
kekuasaan PKC.
Setelah
berita yang menghebohkan ini beredar luas di media China, Ling Jinhua pun
dicopot sebagai anggota Biro Politik. Tidak ada pengumuman resmi apa sebab
Jinhua kehilangan kursinya yang sangat powerful itu. Itulah cara elite
politik China membersihkan politikus yang dinilai telah melakukan kesalahan
fatal.
Ling
Jinhua dinilai harus bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa nyawa
putranya sendiri. Di mata para penguasa China, insiden maut putra Ling Jinhua
telah mencoreng integritas partai. Pertama, Ling ternyata kaya raya, sehingga
bisa membelikan putranya mobil senilai lebih dari Rp 15 miliar. Kedua, Ling
Gu berperilaku amat tercela; mengebut di pagi buta, cermin dari anak
berandal. Ketiga, Jinhua dituding tidak mampu menjadi orang tua panutan di
dalam keluarganya.
Kemajuan
pesat perekonomian China antara lain telah melahirkan orang-orang superkaya;
tidak sedikit petinggi pemerintah pun hidup mewah. Berbagai mobil supermewah,
seperti Ferrari dan Jaguar, berseliweran di jalan-jalan Beijing dan Shanghai.
Kecelakaan
maut di jalan raya yang menimpa anak pejabat sebelumnya terjadi pada Oktober
2010. Li Qiming (22), anak petinggi kepolisian di Provinsi Hebei di utara
China, Li Gang, telah menabrak-lari dua pejalan kaki.
Seorang
mahasiswa tewas dalam kecelakaan maut itu; seorang lagi menderita luka-luka
serius. Di depan kamera televisi, Li Gang meminta maaf kepada penduduk Hebei
seraya meneteskan air mata. Ia berjanji segera memproses hukum putranya.
Dalam
kasus Ling Gu, aparat berusaha keras melakukan cover-up, mungkin atas perintah bapaknya yang takut kehilangan
kekuasaan di Biro Politik China. Dalam kasus Li Qiming, putra petinggi polisi
di Provinsi Hebei, sang ayah spontan meminta maaf kepada masyarakat. Li
Qiming pun diproses secara hukum dan diganjar hukuman.
Bagaimana
dengan kasus tabrakan maut di Tol Jagorawi yang dilakoni Rasyid Rajasa, putra
Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Perekonomian yang kebetulan juga besan
Presiden Republik Indonesia?
Polisi
Tutup Mulut
Mobil
BMW tipe X-5 dilarikan Rasyid Amrullah Rajasa pada 1 Januari dini hari di
Jalan Tol Jagorawi dengan (perkiraan) kecepatan 140 km/jam. Tampaknya, ia dan
kawan-kawannya habis pesta tutup tahun di kawasan Dago, Bandung.
Usai
pesta, Rasyid kembali ke Jakarta dengan mobilnya seharga Rp 1,5 miliar. Di
Jagorawi ia menabrak mobil jenis Daihatsu dan menewaskan dua orang, satu di
antaranya baru berusia 1,5 tahun.
Dugaan
sementara, mengantuk menjadi penyebab pokok kecelakaan. Rasyid sendiri sejak
Selasa hingga Jumat kemarin masih “dirawat” di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Enggak jelas, apanya yang perlu dirawat, kecuali masih mengalami guncangan
kejiwaan akibat kecelakaan maut.
Sejak
awal pihak kepolisian jelas melakukan gerakan “tutup mulut”, kecuali satu
pernyataan resmi bahwa Rasyid sudah ditetapkan sebagai tersangka. Tapi,
bagaimana sesungguhnya kejadian di Jagorawi dini hari Selasa lalu, publik
dibuat gelap.
Sikap
polisi ini amat kontras dibandingkan dengan kasus tabrakan maut yang menelan
sembilan nyawa manusia di dekat Tugu Tani, Menteng Raya, sekitar 1,5 tahun yang
lalu. Ketika itu polisi bekerja cekatan, dan dengan amat sigap menjelaskan
kepada masyarakat informasi atau data rinci tentang kecelakaan. Si penabrak
pun langsung dijebloskan ke dalam tahanan setelah ditetapkan sebagai
tersangka.
Misalnya,
berapa kecepatan BMW X-5 ketika tabrakan terjadi? Data kecepatan mobil
sebetulnya dengan mudah bisa dilihat dari memori komputer yang terpasang di
mobil mewah itu. Sayang, polisi melarang wartawan melihat data itu.
Keanehan
lain, pihak keluarga begitu cepat menyatakan bersedia menyelesaikan kasus ini
secara damai. Lha, duduk perkaranya saja belum jelas, kok sudah bicara
tentang perdamaian? Menantu korban bernama Ifan, banyak kejanggalan dalam
pengurusan jenazah mertuanya, Harun. Tiba-tiba banyak personel polisi yang hendak
mengambil jenazah Harun.
Pihak
Indonesian Police Watch (IPW)
mendesak Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya segera memperjelas status
tersangka M Rasyid Rajasa. Apakah penetapannya sebagai tersangka dibarengi
dengan permohonan pencekalan ke Imigrasi atau tidak. Ini karena menurut S
Pane, Koordinator IPW, Rasyid dikabarkan minggu kedua Januari 2012 sudah
harus kembali ke London untuk kembali bersekolah.
Apakah
Polri mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk menutupi kasus ini terkait
kedudukan ayah Rasyid? Kalau ya, jelas ini langkah yang amat keliru di pihak
keluarga Hatta Rajasa. Jangan lupa, Hatta sudah lama dikabarkan bakal jadi
calon presiden Partai Amanat Nasional. Cover-up
kasus yang menimpa putranya akan menjadi “senjata pamungkas” bagi lawan
politiknya di kemudian hari.
Di
sisi lain, nama Polri pun akan semakin terpuruk jika menerima order – entah
dari pihak mana – untuk menutupi kasus ini. Ingat, kejahatan sudah terjadi.
Dua nyawa manusia sudah melayang. Polri bukanlah alat kekuasaan, melainkan
alat negara yang “bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum” sesuai bunyi Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945.
Demi
kepentingan semua pihak, khususnya keluarga Hatta Rajasa, kasus tabrakan
maut
yang menimpa Rasyid Rajasa harus segera dibuka kepada publik serta diproses
secara hukum. Ingat amanat Pasal 27 Ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar