Sabtu, 19 Januari 2013

Bung Karno dan Atribut Parpol



Bung Karno dan Atribut Parpol
Djoko Pitono ;  Jurnalis, Penulis buku Soekarno: Obor yang Tak Pernah Padam
SUARA MERDEKA, 18 Januari 2013


''SAYA tidak akan meniru jejak Soekarno jika terpilih sebagai presiden, yakni memberikan perhatian lebih atau mementingkan perempuan cantik''. Begitu media massa mengutip kata-kata Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam sebuah acara partai itu di Jakarta tahun lalu.

Entah apa latar belakang pernyataan itu hingga Ical menyampaikan pesan tersebut. Mungkin ia coba menyindir Partai Nasdem, pesaingnya, yang belakangan ini menggunakan gambar Soekarno dalam iklan dan atribut partai. Dalam beberapa waktu terakhir ini, tokoh pendiri Partai Nasdem Surya Paloh sering memuji-muji penggali Pancasila dan tokoh proklamator tersebut.  

Namun terlepas dari maksud Ical, pernyataan itu blunder besar bagi dirinya. Kata-katanya justru kontraproduktif dengan upaya diri untuk bersaing dalam Pilpres 2014. Ical tampaknya terlihat kurang menyadari betapa Soekarno masih tetap menjadi idola jutaan warga negeri ini, baik di Jawa maupun luar Jawa. 

Jangankan bagi banyak orang yang berusia di atas 50 tahun, tak sedikit anak muda yang tak pernah bertemu Soekarno pun mengidolakan. Mereka mengoleksi foto, aksesori bergambar Soekarno, ataupun buku tentang tokoh itu. Foto berbagai ukuran masih sering terpasang baik di tembok rumah perkotaan maupun dinding gedek warga pedesaan. Mural proklamator itu juga terlihat di tembok berbagai kota negeri ini. Dalam berbagai acara pun, kenangan atas Soekarno sering ditampilkan. 

Karena itu, masuk akal bila PDI Perjuangan selalu menggunakan gambar Bung Karno dalam iklan dan atribut partai. Selain faktor kesejarahan terkait dengan tokoh itu, keberadaan anak cucu Bung Karno dalam partai tersebut juga memberi semacam legitimasi klaim kedekatan. Perkembangan partai tersebut memang tak bisa dipisahkan dari doktrin yang dikaitkan dengan ajaran atau pandangan Bung Karno.

Tidak salah memang bila petinggi Partai Nasdem mengatakan, Bung Karno bukan milik kelompok tertentu, Bung Karno milik seluruh anak bangsa ini, apalagi secara resmi pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Bung Karno (dan Bung Hatta). Persoalannya, sejauh mana anggota dan pendukung Partai Nasdem mengetahui atau memahami pikiran dan perjuangan Soekarno? Jangankan Partai Nasdem, orang-orang PDI Perjuangan pun perlu dipertanyakan seberapa jauh pemahamannya tentang Soekarno.

Selama puluhan tahun sejak awal Orde Baru, berbagai upaya dilakukan untuk mengecilkan Soekarno. Buku-buku Si Bung dilarang beredar. Buku sejarah yang digunakan di sekolah tak memberi informasi jujur dan memadai tentang pendiri republik itu. Puluhan juta anak belajar Pancasila dan jutaan pegawai ditatar P4 tetapi nama Soekarno nyaris tak ada. Tak perlu heran bila hingga kini jutaan warga negeri ini, termasuk sarjana, tak pernah tahu teks pidato masterpiece Soekarno tentang Pancasila yang diucapkan pada 1 Juni 1945. Padahal, pidato itulah yang menjadi babon dasar negara.

Kita memang tak perlu terlalu menyesali ''kesalahan massal'' masa lalu yang sebenarnya ''sangat mengerikan'' itu. Tetapi kita bisa belajar dari kesalahan tersebut dan mendudukkan Soekarno pada tempat yang sepadan dengan jasa-jasanya. Pada saat kerinduan terhadap sosok presiden pertama itu makin meningkat, inilah waktu yang tepat untuk lebih mengetahui tokoh itu. 

Malu Korupsi

Penulis membayangkan, misalnya politikus mengenal dan memahami dengan baik pikiran dan perjuangan Bung Karno, pasti akan malu bila sampai korupsi. Kedekatan Soekarno dengan rakyat tak diragukan. Hal ini pernah ditulis menjadi laporan utama majalah Asiaweek terbitan Hong Kong edisi 23 Juni 1994. Saat itu masih kuatnya kekuasaan Orde Baru. 

Keith Loveard, wartawan majalah itu, mengawali laporannya dengan menunjukkan potret Bung Karno melekat di dashboard sebuah taksi. Saat sang sopir ditolehnya, ia tersenyum penuh arti. Loveard tak merasa heran mengapa sopir itu memasang potret itu, bukan tokoh lain.  

''Di seluruh wilayah Indonesia yang membentang 5.000 km, satu nama  sinonim dengan nasionalisme Indonesia: Soekarno, pendiri negara dan arsitek kemerdekaan,'' kata Loveard dalam laporan berjudul ''Sukarno, Where Does He Stand Today?'' 

Loveard juga menulis, kenangan atas Bung Karno adalah kenangan tentang nasionalisme, tentang wawasan kebangsaannya, tentang perjuangan fisik, pikirannya, tentang apresiasinya yang tinggi dalam seni dan lain-lain. Orang tidak akan lupa pada penderitaannya keluar masuk penjara selama bertahun-tahun. Orang tidak akan lupa pada semangatnya yang berkobar-kobar dalam menggugah bangsanya yang sedang terlelap tidur. 

Dari Bung Karno, anak-anak bangsa ini bisa belajar banyak hal, mulai keterampilan berbahasa, kejujuran, keberanian, kesederhanaan hidup, wawasan kebangsaan, keluasan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Sebagai pemimpin. Soekarno juga terkenal sederhana, tak pernah memikirkan harta. Jangan bandingkan dengan pejabat sekarang. Simak misalnya kata-katanya tentang harta yang dimilikinya setelah sekitar 20 tahun menjadi presiden.

''Ke mana aku pergi? Aku tak punya rumah untuk diriku sendiri. Tidak ada tanah, tidak ada simpanan. Bukan sekali dua kali aku tak mempunyai sisa uang untuk pengeluaran rumah tanggaku. Di satu negeri, seorang duta besar kami terpaksa membelikanku sepasang piyama. Satu-satunya, karena piyama presiden sudah sobek. Akulah satu-satunya presiden di dunia yang tidak punya rumah sendiri''. (Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Cindy Adams, 1966). 

Apakah ada pemahaman itu di balik gambar Soekarno dalam atribut parpol? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar