Rabu, 16 Januari 2013

Antisipasi Iklim Global


Antisipasi Iklim Global
Muhammad Fikruzzaman Rahawarin ;  Peneliti LPEM
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
REPUBLIKA, 15 Januari 2013



Dunia beberapa kali dibuat terkejut oleh fluktuasi cuaca yang ekstrem. Bahkan, belum lama ini cuaca ekstrem berturut-turut menghantam berbagai belahan dunia di awal tahun. Australia yang disambangi gelombang panas menjadi korban pertama dengan memakan kerugian puluhan ribu ekor ternak. Tak lama berselang, Yordania bersama semenanjung Timur Tengah dan Cina juga menghadapi gelombang dingin ekstrem. Terutama di Cina, suhu yang dicapai kemarin merupakan yang terburuk dalam 28 tahun terakhir dengan perkiraan kerugian ekonomi mencapai 110 juta dolar AS.

Menurut Nicholas Stern, pakar perubahan iklim dan lingkungan dari Grantham Research Institute di Inggris, kerugian ekonomi yang dihasilkan hanya oleh cuaca ekstrem berpotensi mencapai satu persen dari GDP dunia pada tahun 2050 mendatang. Sementara itu, estimasi kerugian akibat perubahan iklim (yang salah satu komponennya adalah cuaca ekstrem) diperkirakan mencapai 20 persen dari GDP dunia. 

Realita Dewasa Ini

Berbicara mengenai perubahan iklim tentunya tidak akan terlepas dari isu pemanasan global. Di mana salah satu elemen dari pemanasan global adalah emisi karbon yang meningkat ke atmosfer. Jika ditelisik dari aspek historis, peningkatan emisi karbon pertama kali mengalami peningkatan yang massif sejak era Revolusi Industri di Inggris pada pertengahan abad ke-18.

Saat itu, konsentrasi emisi karbon yang berada di atmosfer masih berada di kisaran 280 parts per million (ppm). Namun, seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dunia, kini konsentrasinya telah meningkat sebesar sepertiga dari konsentrasi emisi karbon pada periode sebelum Revolusi Industri. 

Berdasarkan laporan Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA)
per Desember 2012 lalu, konsentrasi emisi karbon telah mencapai angka 395 ppm dan diperkirakan akan terus meningkat. Tentunya hal ini nantinya akan mengakibatkan peningkatan suhu bumi di masa mendatang.

Sejauh ini, proyeksi yang dilakukan World Bank menunjukkan bahwa setiap tahunnya dunia mengalami kenaikan suhu dengan rata-rata sebesar 0,8 derajat celsius akibat peningkatan emisi karbon. Bahkan, proyeksi tersebut menunjukkan bahwa pada akhir abad ini suhu permukaan bumi akan naik hingga mencapai empat derajat celcius, dengan 20 persen kemungkinan untuk melebihi angka estimasi tersebut pada 2100. 
Apabila kondisi ini terus berlanjut, bukan hal yang mustahil apabila per- ubahan iklim dan cuaca ekstrem akan menjadi lebih ekstrem lagi di masa depan.

Dibutuhkan kerja sama antarnegara dalam menanggulanginya, terlebih karena isu perubahan iklim merupakan isu yang dihadapi bersama oleh dunia.
Sebenarnya, kerja sama dunia dalam upaya menanggulangi perubahan iklim sudah intensif dilakukan sejak lama. 

Pertama kali hal ini diinisiasi oleh PBB yang memprakarsai Konvensi Perubahan Iklim di Brasil pada 1992 silam. Konvensi tersebut kemudian melahirkan prinsip bahwa semua negara memiliki tanggung jawab bersama dalam mencegah perubahan iklim sesuai dengan kapasitas masing-masing yang berdasarkan prinsip berkeadilan, atau disebut juga dengan common but differentiated responsibilities and respected capabilities

Kemudian pada akhir 1997, komitmen dunia ini dilengkapi dengan perangkat dan aturan tata cara yang mengikat secara hukum, yang disebut juga dengan Protokol Kyoto. Protokol ini dimaksudkan untuk mengikat negara-negara industri maju (Annex 1) untuk mengurangi tingkat emisinya sebesar 5 persen dari tingkat emisi pada 1990 yang mesti tercapai pada periode 2008-2012.

Sayangnya, upaya ini terbilang gagal akibat beberapa kendala. Pertama, karena negara penghasil emisi karbon terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat, enggan meratifikasi perjanjian Protokol Kyoto. Kedua, beberapa negara maju yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian Protokol Kyoto gagal mencapai target yang ditentukan sebelumnya. 

Ketiga, negara-negara kaya di Eropa dan Amerika banyak yang memindahkan lokasi sebagian pabrik dan industrinya yang bersifat emission intensive ke negara berkembang. Dan ke empat, peran negara berkembang yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat seperti Cina, India, Brasil, Korea Selatan, Meksiko, Afrika Selatan, termasuk Indonesia yang sebagian besar disebabkan oleh penggunaan energi berbahan bakar fosil sebagai penopang proses ekonomi.

Terlepas dari kegagalan Protokol Kyoto, upaya internasional untuk mengurangi kadar emisi karbon masih terus ber lanjut. Sebelumnya, menyambut berakhirnya tempo pelaksanaan Protokol Kyoto pada 2012, inisiatif untuk mengurangi emisi karbon kembali dicetuskan beberapa negara pada Conference of Parties (COP) ke-15 yang dilaksanakan di Denmark pada 2009. Kesepakatan pada pertemuan tersebut--yang juga di kenal dengan sebutan Copenhagen Accord--di antaranya adalah penetapan batas peningkatan suhu global pada 2050 hanya sebesar dua derajat celcius dan penekanan kewajiban negara Annex 1 untuk menentukan target penurunan emisi sebelum 2020.

Negara maju memang memiliki peran besar dalam peningkatan emisi karbon--secara agregat--sejak era Revolusi Industri lampau. Namun, bukan berarti negara berkembang lantas tidak memberikan kontribusi apapun dalam komitmen mengurangi emisi karbon. Indonesia merupakan satu-satunya negara berkembang yang berani mengambil inisiatif dan berkomitmen untuk berkontribusi mengurangi tingkat emisi karbonnya.

Komitmen tersebut termanifestasikan dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang mencanangkan bahwa Indonesia akan mengurangi tingkat emisi karbon pada 2020 mendatang hingga mencapai 26 persen dari estimasi emisi karbon pada skenario tanpa adanya rencana aksi dengan usaha sendiri. Bahkan, komitmen tersebut memiliki opsi tambahan pengurangan tingkat emisi karbon sebesar 15 persen dengan bantuan negara lain.

Komitmen ini kemudian ditranslasikan dalam bentuk hukum yang diterbitkan dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Bisa jadi, political will yang selaras dengan pilar keempat pembangunan sosial ekonomi--yakni pro-environment--ini nantinya dapat menjadi pemicu dan pemacu upaya pengurangan emisi karbon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar