Sabtu, 05 Mei 2012

Tahan Miskin, Tak Kuat Kaya


Tahan Miskin, Tak Kuat Kaya
Moh Mahfud MD; Guru Besar Hukum Konstitusi
SUMBER : SINDO, 05 Mei 2012


”Sompret, memalukan, menjijikkan,” umpat seorang kawan melalui pesan pendek ke HP saya Kamis pagi dua hari yang lalu. Umpatan itu dilontarkan terkait dengan penayangan reportase secara bersambung tentang para pemimpin produk reformasi yang kini terjerat kasus korupsi.

”Korupsi sekarang jauh lebih gila daripada korupsi zaman Orde Baru yang dulu kita ganyang habis,” tulis teman itu dalam sambungan umpatannya. Ngrasani pemimpin-pemimpin korup produk reformasi yang memualkan ini kemudian berlanjut dan saling bersahut dengan celetukan-celetukan gemas melalui BlackBerry Messenger (BBM) sehingga melibatkan satu grup yang anggotanya puluhan orang.

Anggota-anggota grup BBM ini adalah eks teman-teman sealmamater, satu kampus saat kuliah tahun 1980-an di Yogya yang tergabung dalam jaringan UII Corner. Kami memang sangat gundah dan cemas menyaksikan banyaknya pemimpin kita sekarang ini yang tersandung masalah korupsi. Apalagi di antara mereka banyak tokoh yang dulunya, saat kami masih di kampus, sangat membanggakan dan menjanjikan harapan bagi perbaikan negeri tercinta sehingga kami mendukungnya, mengelu-elukannya, dan menggotongnya tinggi-tinggi saat terjadi reformasi pada akhir 1990-an.

Tapi, setelah menduduki jabatan penting dan bisa turut menentukan hitam-putihnya bangsa dan negara, kini mereka tersandung kasus korupsi. Mereka banyak yang terperosok ke kubangan politik yang jorok. Yang dulu berjuang di terik panas dan hujan untuk melawan korupsi sekarang menjadi pesakitan karena korupsi. Yang dulu banyak berpidato di berbagai seminar dan forum diskusi agar kita bergerak memperbaiki negeri dengan melawan korupsi kini ikut korupsi pula. Yang dulu berjalan kaki, naik angkot, bergelayutan di bus kota untuk berdemo melawan korupsi kini sudah punya beberapa rumah mentereng dan berbagai jenis mobil mewah yang asal usulnya sulit dijelaskan sehingga disinyalir korupsi.

Tak ada yang boleh melarang orang untuk meraih kekayaan dan tak ada yang diizinkan menghalangi orang mengejar kedudukan dan jabatan tinggi. Semua itu adalah hak yang tak boleh dirampas oleh siapa pun. Kita membentuk negara merdeka dan kemudian melakukan reformasi justru untuk membuka akses bagi setiap kita untuk menjadi orang kaya dan menjadi pejabat apapun yang diinginkan asalkan dilakukan dengan cara-cara halal, bermoral, dan etis. Tapi yang tampak di depan kita sekarang sungguh menyedihkan.

Orang yang tadinya pejuang antikorupsi justru menjadi koruptor baru. Yang tadinya kita harapkan dan elu-elukan untuk meluruskan perjalanan dan membersihkan negara dari tikus-tikus koruptor ternyata menjadi biangnya koruptor. Ada yang mengatakan bahwa kita telah membangun sebuah sistem yang salah dalam era Reformasi ini. Pada saat berhasil menumbangkan rezim yang dulu kita anggap korup, kita hanya menjatuhkan tokoh puncaknya tanpa membenahi sistem, tidak menyeleksi tokoh, dan tidak merombak berbagai prosedur yang secara sistemik kotor.

 Tapi pandangan itu dibantah oleh seorang teman.”Tidaklah, semua gagasan tentang sistem yang katanya baik sudah diadopsi semua di dalam peraturan perundang-undangan kita,” tulis teman itu. ”Betul. Coba, peraturan dan aparat jenis apa yang tak ada dalam sistem kita sekarang untuk memberantas korupsi? Sudah ada semua, kan? Ini soal moral dan mental, Kawan,” tulis yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa munculnya pemimpin-pemimpin seperti itu sebenarnya disebabkan tiadanya visi tentang reformasi di kalangan pemimpin-pemimpin baru itu.

Dulu, di zaman Orde Baru, mereka marah pada merajalelanya KKN bukan karena tak suka pada kemungkaran, melainkan karena tidak ikut kebagian korupsi. Maka begitu mendapat peluang berkuasa dan mengatur negara, mereka nikmati itu sebagai kesempatan mendapat giliran untuk melakukan korupsi dan bertindak sewenang-wenang. Jadi bagi mereka reformasi itu adalah pergantian para pelaku korupsi di level para pemimpin.

Hamid Basyaib menimpali bahwa para pemimpin muda yang korup nan memalukan itu sebenarnya karena mengalami gegar budaya yang dahsyat. Mereka begitu kaget dan kehilangan keseimbangan mental akibat kemendadakan peningkatan status/posisi dari orang kere menjadi orang berkuasa. Erwin menegaskan bahwa perubahan status bagi mereka itu membuka peluang membalas dendam pada kemiskinan yang disokong oleh merasuknya agama baru ke dalam jiwa para pemimpin itu, yaitu agama hedonisme.

”Wow, diskusi menarik,” timpal Ifdhal. Saya teringat pada apa yang pernah dikatakan Gus Dur bahwa pemimpin sekarang ini adalah orang-orang yang (dulunya) tahan miskin, tetapi (kemudian) tak kuat kaya. Pada saat miskin dan lemah mereka tabah dan tangguh berjuang untuk melawan korupsi dan menegakkan hukum demi bangsa dan negara, tetapi pada saat kaya dan berkuasa mereka tak tahan dan tak kuat untuk melawan dorongan korupsi dan kesewenang-wenangan demi diri sendiri atau keluarganya.

Kalau keadaan sudah seperti ini, negara ini sebenarnya ada di tepi jurang. Maka tak ada pilihan lain, negara harus tegas dan mau menjatuhkan hukuman yang mahaberat bagi para koruptor itu. Hukuman biasa tak lagi ditakuti, ejekan-ejekan tak lagi membuat malu, regenerasi koruptor terus bertumbuh subur. Apa tega kita membiarkan negara meluncur ke jurang kehancuran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar