Kejaksaan Vs Mafia Pajak
Ahmad Yani; Wakil Ketua F-PPP DPR RI, Anggota
Komisi III DPR RI
SUMBER : REPUBLIKA, 05 Mei 2012
Korps
Kejaksaan harus membuktikan mampu menghentikan sepak terjang mafia pajak. Ne
gara mengandalkan korps kejaksaan dalam upaya menyelamatkan dan mengamankan
potensi penerimaan dari sektor pajak.
Dengan
begitu, atas nama negara dan rakyat, Kejaksaan Agung bisa saja menempuh
kebijakan atau tindakan luar biasa untuk menekan tindak pidana perpajakan.
Merespons pidana perpajakan dengan tindakan luar biasa amat diperlukan karena
negara tidak boleh lagi minimalis menghadapi kejahatan yang satu ini.
Aksi
mafia pajak dengan segala eksesnya adalah persoalan riil. Perampokan oleh mafia
pajak menyebabkan negara menderita kerugian besar. Seperti halnya kejahatan di
sektor perbankan, kejahatan perpajakan melibatkan sekelompok orang yang ahli
dalam bidang perpajakan, baik orang dalam Ditjen Pajak maupun wajib pajak (WP)
nakal. Orang yang awam akan sulit menemukan muatan pidana perpajakan dari aksi
sekelompok orang itu.
Mengacu
pada rangkaian kasus penggelapan dan manipulasi restitusi pajak, publik pun
sudah berkesimpulan bahwa jaringan mafia pajak berada di balik maraknya kasus
penggelapan pajak. Sebuah perkiraan kasar menyodorkan jumlah lebih dari Rp 300
triliun pajak negara yang dicuri setiap tahunnya.
Jumlah yang sangat besar untuk bisa dikerjakan hanya oleh satu-dua oknum Ditjen
Pajak.
Dengan
begitu, negara, khususnya kejaksaan, harus all
out, tegas, dan militan memerangi pidana perpajakan yang dilakukan oknum
birokrasi negara. Kalau perlu, Kejaksaan Agung memosisikan kejahatan perpajakan
sederajat dengan kejahatan narkoba, mafia hukum, dan kejahatan korupsi.
Korps
kejaksaan dipastikan mampu menghadapi kejahatan perpajakan. Kemampuan itu
setidaknya sudah teruji dalam menangani kasus Gayus Halomoan Tambunan,
terpidana penggelapan pajak yang sudah dibui. Dalam menangani kasus ini, korps
kejaksaan bahkan mengungkap dan menindak langsung seorang jaksa senior yang
terbukti melakukan pelanggaran kode etik berupa tindakan jual beli rencana
tuntutan.
Langkah
itu menjadi bukti bahwa Korps Kejaksaan tegas dan militan dalam merespons aksi
mafia pajak. Memang, tantangannya sangat berat sebab yang dihadapi adalah
kelompok mafia berkekuatan besar dengan kemampuan finansial tak terbatas. Kalau
tidak tahan uji, kekuatan besar itu dengan mudah bisa merekayasa proses hukum
dan menciptakan peradilan sesat.
Shock Therapy
Penggelapan
pajak merupakan modus lain dari tindak pidana korupsi.
Seharusnya, KPK proaktif mendalami kejahatan luar biasa ini. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, terbentuk persepsi di benak publik bahwa tindak pidana pencurian kekayaan negara bermodus koruptif atau manipulasi hanya terjadi pada sisi belanja pemerintah atau pembiayaan proyek (pengeluaran).
Seharusnya, KPK proaktif mendalami kejahatan luar biasa ini. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, terbentuk persepsi di benak publik bahwa tindak pidana pencurian kekayaan negara bermodus koruptif atau manipulasi hanya terjadi pada sisi belanja pemerintah atau pembiayaan proyek (pengeluaran).
Kecenderungan ini menyebabkan publik dan juga KPK hanya fokus pada kasus
korupsi atau manipulasi anggaran belanja serta anggaran proyek. Padahal, tindak
pidana koruptif yang terjadi di sisi pendapatan atau penerimaan negara cukup
tinggi intensitasnya.
Contoh
kasus yang paling mudah dipahami adalah tindakan oknum bea cukai meloloskan
barang selundupan dengan menerima imbalan dari penyelundup. Pada kasus ini,
penerimaan negara dari bea masuk barang itu otomatis hilang. Di sektor pajak,
penerimaan negara tidak sesuai dengan potensi riil.
Modus
tindak pidana di sektor perpajakan cukup beragam. Dari modus diskon pajak,
modus manipulasi restitusi pajak, sampai modus memenangkan WP dan mengalahkan
negara di pengadilan pajak. Dari hasil pemeriksaannya, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) pun melihat modus lain, yakni oknum fiskus melakukan kesalahan yang patut
dicurigai sebagai kesengajaan.
Semua
modus ini sudah dipraktikkan sejak lama sehingga perilaku manipulatif para
oknum fiskus terpatri di benak komunitas WP. Maka, menjadi aneh jika pemerintah
sampai saat ini masih bersikap adem ayem menghadapi rangkaian fakta kasus
penggelapan pajak. Sosok seperti terpidana Gayus Halomoan Tambunan maupun
tersangka Dhana Widyatmika diyakini tidak bekerja sendiri.
Ketika
negara “harus dikalahkan“ dalam pertarungan melawan WP di forum pengadilan
pajak, tentu ada sejumlah pihak terlibat dalam proses seperti itu. Institusi
pengadilan pajak pun tidak bersih dari percaloan. Selalu ada penawaran untuk
membantu penyelesaian sengketa pajak dari pihak-pihak yang tak jelas statusnya.
Tak aneh bila dari semua kasus, hampir 90 persen negara dikalahkan WP.
Karena
itu, langkah kejaksaan Agung menetapkan mantan atasan Dhana Widyatmika, Firman,
sebagai tersangka patut diapresiasi. Publik berharap, penegak para jaksa terus
mendalami dan memperlebar penyelidikan kasus Dhana untuk menjerat siapa saja
yang terlibat dalam kasus ini. Langkah sigap Dirjen Pajak Fuad Rahmany yang
telah menghukum 263 pegawai Ditjen Pajak karena melanggar kode etik dan
disiplin pun patut dihargai.
Namun,
indikasi tentang Ditjen Pajak yang belum bersih-bersih amat-kendati sudah
menikmati remunerasi-tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Dari kecenderungan
tersebut, Dirjen Pajak tampaknya tak cukup hanya menghukum bawahannya yang
terbukti melanggar kode etik, tapi harus pula menyerahkan bawahannya untuk
diproses hukum. Dirjen Pajak perlu bekerja sama dengan Kejaksaan Agung. PPATK
sudah menyebutkan bahwa ada ratusan pegawai pajak yang diduga memiliki rekening
tak wajar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar