Sabtu, 05 Mei 2012

Funeral Organizer


Funeral Organizer
Abdul Mu’ti; Sekretaris PP Muhammadiyah Dosen IAIN Walisongo, Semarang
SUMBER : SINDO, 05 Mei 2012



Istilah funeral organizer mungkin terdengar asing bagi sebagian pembaca. Yang sudah sangat lazim adalah event organizer. Masyarakat kota—bahkan di desa sekalipun— meminta jasa untuk acara pernikahan, pertunangan, ulang tahun, seminar, dan event kebahagiaan lainnya.

Alasan utama pengguna jasa event organizer adalah praktis, hemat energi dan tidak “merepotkan” handai tolan. Biaya yang dikeluarkan mungkin saja lebih murah. Funeral organizer berarti penyelenggara pemakaman. Sebagaimana event organizer lainnya, funeral organizer menyediakan jasa yang berhubungan dengan tetek-bengek acara pemakaman. Jasa-jasa yang disediakan antara lain rias jenazah, peribadatan, pelayat (takziah), penyiapan dan prosesi pemakaman.

Pihak funeral organizer menyediakan jasa “pengerahan massa” pelayat. Jumlah dan tingkat “kesedihan” pelayat dapat dipesan sesuai dengan tarif. Semakin banyak jumlah pelayat dan tingkat “duka cita” berkorelasi dengan harga. Semakin banyak massa dan tingkat tangisannya, semakin mahal bayarannya. Fenomena ini memperkuat pameo: maju tak gentar membela yang bayar. Jika dalam dunia politik terkenal massa dan suara bayaran, maka dalam upacara kematian terdapat pelayat bayaran.

Sesungguhnya, fenomena ini bukan hal yang baru. Mungkin saja sudah dapat disebut tradisi. Masyarakat muslim tertentu memiliki tradisi membagi-bagi “uang wajib” yang diberikan kepada mereka yang turut mensalatkan jenazah. Jumlahnya tergantung tingkat ekonomi keluarga. Entah apa maksud dan tujuannya. Yang jelas, tradisi ini telah membuat ashab al-musibah menanggung beban spiritual, sosial dan ekonomi yang berlipat ganda terutama bagi keluarga miskin.

Selain pelayat bayaran juga terdapat fenomena pendoa bayaran. Pihak keluarga—biasanya yang ekonominya mampu— mendatangkan pendoa dari pesantren, majelis taklim, dan lembaga keagamaan lain. Keluarga terkemuka akan mengundang pendoa kondang dan santri pondok terkenal untuk mendoakan keluarga dan jenazah. Mereka berkeyakinan, doa orang saleh akan lebih terkabul. Tentu tidak ada tarif harga. Yang ada adalah jer basuki mawa bea, atau transpor seikhlasnya.

Semakin terpandang suatu keluarga, semakin banyak pendoanya. Sebagian pelayat dan pendoa melaksanakannya secara murni karena Allah. Sebagian lainnya, melayat lebih karena komitmen politik dan “setor muka”. Karena itu, tidak jarang, upacara kematian berubah menjadi “funeral party” (pesta kematian) layaknya “wedding party” (pesta pernikahan). Makanan lezat melimpah, karangan bunga meruah. Funeral organizer adalah bentuk “modern” dari tradisi pelayat dan pendoa bayaran. Perbedaannya, funeral organizer bersifat legal, formal, dan profesional. Pelayat dan pendoa bayaran bersifat tradisional dan suka rela.

Fenomena sosial ini memperkuat realitas kesenjangan sosial dan spiritual. Masyarakat miskin akan menanggung kesusahan semasa hidup dan ketika mati. Kaum miskin yang mati kesulitan menanggung biaya pemakaman dan mendapatkan lahan pemakaman. Mereka juga miskin pelayat dan pendoa terkemuka. Yang melayat dan mendoakan adalah ulama desa dan sesama orang miskin yang berdoa ala kadarnya. Orang kaya akan mampu membayar funeral organizer dan lahan permakaman luas dan makam yang mewah dan megah.

Di negeri ini kita tidak hanya menyaksikan kesenjangan hidup tetapi juga kesenjangan kematian. Orang kaya sudah memiliki lahan permakaman, tetapi tidak siap dengan kematian. Orang miskin, tidak tahu akan dimakamkan di mana, tetapi hidup mereka sangat dekat dan rentan dengan kematian. Demikianlah, masyarakat kita sudah berubah. Masyarakat paguyuban yang ditandai oleh kebersamaan, tolong menolong dan “suka direpotkan” secara perlahan mulai tersimpan di museum.

Kekerabatan dan keakraban sosial antarwarga semakin lemah tergerus oleh kesibukan kerja dan bisnis duniawi lain. Rumah keluarga kian kecil. Hal ini selain pertanda mahalnya harga tanah dan rumah juga perubahan sistem kekeluargaan extended family ke arah nuclear family. Keterikatan kemasyarakatan dan kemanusiaan terlihat memudar. Masyarakat hidup nafsi-nafsi; serba menyendiri. Senang sendiri, susah pun sendiri. Kurangnya empati dan simpati membuat masyarakat tidak terlalu terpanggil untuk turut merasakan suka dan duka.

Di tengah perubahan sosial itulah berbagai jasa organizer berkembang. Selain memanfaatkan peluang bisnis, juga mengisi kekosongan fitrah manusia yang tidak tergantikan oleh materi. Sesuai fitrahnya, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran dan perhatian sesamanya. Karena itu, diperlukan rekayasa dan gerakan sosial untuk memperkuat ikatan kewargaan dan kemanusiaan masyarakat.

Diperlukan berbagai sarana sosial yang memungkinkan masyarakat saling bertemu dan berinteraksi langsung. Selama ini interaksi personal di antara warga masyarakat jauh berkurang. Forum-forum kewargaan seperti RT dan RW lebih banyak memerankan fungsi administratif pemerintahan ketimbang sarana membangun kohesivitas sosial. Ruang publik seperti balai warga nyaris tidak ada.

Lembaga-lembaga keagamaan seperti masjid, musala dan majelis taklim lebih mementingkan kegiatan spiritual-ibadah. Fungsi sosial-kebudayaan masjid nyaris lumpuh. Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemerintah menyediakan pelayanan kematian bagi warga negara. Selama ini pelayanan kematian seakan diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat, khususnya lembaga-lembaga keagamaan.

Pelayanan kematian bukanlah domain keagamaan semata, melainkan domain politik-pemerintahan. Bagaimana pemerintah menyediakan lahan pemahaman bagi masyarakat. Selama ini banyak pengembang perumahan dan pemukiman baru yang tidak menyediakan fasilitas umum, khususnya makam. Ketegangan antara warga “asli” dengan pendatang di perumahan sebagian disebabkan oleh faktor ini.

Karena itu, pemerintah perlu mempersyaratkan ketersediaan fasilitas pemakaman sebagai salah satu syarat pemberian izin. Masyarakat kaya mampu membayar jasa funeral organizer untuk pemakaman keluarganya. Kewajiban pemerintah untuk menyediakan pelayanan funeral organizer bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin.

Pemerintah tidak boleh menyerahkan hal ini kepada proses alamiah masyarakat. Jika hal ini dibiarkan, negara kita tidak hanya mengalami masalah kehidupan, tetapi juga masalah kematian.

2 komentar:

  1. setahu saya Abd Mu'ti aktif di Muhammdiyah. Artikel sebelumnya juga tertulis atribusinya ketua peradin. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih atas koreksi Anda. Kesalahan tersebut karena copy paste dari "Quo Vadis Confidentiality Advokat-Klien"(Frans H Winarta).

      Hapus